Tampilkan postingan dengan label Ragil Nugroho. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ragil Nugroho. Tampilkan semua postingan

Kamis, 19 Mei 2016

Tata Cara Membantai Orang-orang Komunis

Dalam menghidangkan makanan perlu dipersiapkan dengan baik agar tak membunuh selera makan. Pun, dengan sebuah pembantaian.

Kira-kira umur saya baru 12 tahun. Ibu saya sering bercerita kalau dirinya membenci Banser—sayap pemuda Ansor yang beralifiasi dengan Nahdathul Ulama [NU]. Penggambaran ibu saya terhadap Banser tak simpatik: berambut gondrong, memakai peci dan selalu membawa kelewang, parang dan linggis ke mana-mana. Kala itu saya belum tahu apa yang terjadi. Saat umur saya bertambah, baru mendapatkan cerita yang utuh.

Seperti ini peristiwanya: Suatu malam di bulan Desember 1965, adik ibu saya, Suroso—Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat [Lekra] Kabupaten Blitar—dicokok oleh segerombolan anggota Banser di rumah kami di sebuah desa di Blitar. Konon Suroso dibawa ke Koramil, tak jauh dari kantor kecamatan. Dan, sejak saat itu tak kembali sampai sekarang.

Seingat saya, sampai bertahun-tahun orang-orang yang senasib dengan ibu saya, setiap malam Jumat meletakkan bunga sesajian pada mangkok daun pisang di perempatan kampung kami. Mereka adalah orang-orang yang kehilangan suami, istri, anak, orangtua maupun saudara yang terjadi dalam epik pengejaran orang-orang Komunis di Indonesia tahun 1965.

Paman saya yang lain, Sihono, juga mempunyai kebencian yang sama terhadap Ansor. Ia punya pengalaman sendiri sehingga rasa tak suka itu muncul. Ketika balik ke kampung untuk liburan dari tugas mengajar di Jember menjelang peristiwa 1965, paman saya didatangi kawannya. Maksud kedatangan sang kawan untuk meminjam uang. Peristiwa itu berlangsung biasa-biasa saja. Sampai akhirnya awal tahun 1966 paman saya dijemput tentara. Ia dibawa ke kantor Koramil, diintrograsi, dihajar dan dijebloskan ke penjara. Apa masalahnya? Padahal paman saya tak ada sangkut pautnya dengan PKI. Usut punya usut, paman saya ditangkap karena meminjami uang kawannya yang ternyata anggota BTI [Barisan Tani Indonesia]. Dan yang melaporkan adalah tetangganya sendiri, seorang anggota Ansor. Sejak saat itu paman saya keluar masuk penjara; tiga bulan di penjara, dilepaskan, diambil lagi, begitu seturusnya sampai tahun 1970. Dan dipecat dari tugasnya sebagai guru. Baca Selanjutnya

Rabu, 18 Mei 2016

Lenin, Parlemen dan Realitas Obyektif: Kritik atas Ragil Nugroho dan Martin Suryajaya

Menarik, tulisan Ragil Nugroho, PKS dan Lenin, yang memberi kesimpulan kasar atas pola pengorganisiran revolusioner yang dilakukan oleh Lenin di Rusia, dan menyejajarkannya dengan pola pengorganisiran suatu partai Islam borjuistik (baca: PKS), diapresiasi oleh Martin Suryajaya dengan penalaran filosofis yang berbelit-belit. Dalam tulisannya, Lenin, PKS dan Realisme, Martin terlihat sedang mencari pembenaran dari buku Lenin – Materialism and Empirio-Criticismuntuk memberi sentuhan filsafat pada tulisan Ragil yang kasar; untuk membangun opini pembaca bahwa kritik Ted Sprague atas Ragil adalah keliru; dan juga untuk mencari pengakuan bahwa Ragil adalah seorang realis, atau – meskipun bukan orang yang betul-betul memahami ide-ide Lenin – setidaknya, orang yang mampu mempraktikkan realisme Lenin di lereng Merapi.

Ragil benar-benar tidak memahami maksud Lenin, dan tepat sekali jika Ted Sprague memberinya cap sebagai sang pencolek ide yang kasar dan vulgar. Di dalam tulisannya yang dipublikasikan oleh sebuah jurnal online, Indoprogress, Ragil menulis:

“Bagi yang alergi kekuasaan, ada karya Lenin yang ditulis setelah revolusi Oktober 1917: Komunisme ‘Sayap Kiri’: Suatu Penyakit Kekanak-kanakan. Risah ini ditulis untuk mengatasi jalan buntu ketika situasi tak revolusioner. Saat gelombang revolusi menerjang, dengan mudah orang akan mengangkat tangan kiri. Bila situasi sebaliknya, satu persatu akan meninggalkan perjamuan. Tapi bukan berarti tak terpecahkan. Dalam situasi yang biasa-biasa saja, Lenin menekankan pentingnya partai komunis mengambil strategi bekerjasama dengan kekuatan lain. Dan, bila memungkinkan ikut ambil bagian dalam pemerintahan yang berbasis luas. Artinya, tinggalkan molotov dan batu, untuk kemudian ambil bagian dalam kekuasaan.”

Pada kalimat tengah, “... Dalam situasi yang biasa-biasa saja, Lenin menekankan pentingnya partai komunis mengambil strategi bekerjasama dengan kekuatan lain....”, telah menunjukkan ketidaktahuannya akan maksud Lenin. Baca Selanjutnya

Lenin, PKS dan Realisme

Kritik atas Kritik Ted Sprague atas Ragil Nugroho

DALAM tulisannya, PKS dan Lenin, Ragil Nugroho mengangkat sebuah wacana yang mengagetkan bagi sebagian aktivis-pemikir Marxis. Ia menunjukkan bagaimana, pada periode pasca-Reformasi, kemerosotan gerakan Kiri yang berbanding terbalik dengan penguatan gerakan Kanan, justru disebabkan karena metode analisis politik Leninis telah ditinggalkan oleh gerakan Kiri dan diadopsi dengan sukses oleh gerakan Kanan. Inti dari metode tersebut adalah, seperti ditulis Ragil, ‘bekerja pada alam nyata’: berangkat dari asumsi yang sesuai dengan kenyataan yang ada, betapapun kenyataan tersebut terkesan remeh-temeh dan ‘tidak revolusioner’ di mata kader. Metode analisis politik Leninis inilah yang ditinggalkan oleh gerakan Kiri dan justru terwujud dalam strategi PKS. Ini nampak seperti dalam pernyataan kader PKS yang dikutip Ragil: ‘Mari kita perbaiki jalanan berlubang dan sediakan sanitasi yang bagus sebelum berpikir memaksakan perempuan berkerudung.

Tulisan itu menuai kritik dari Ted Sprague yang mengecamnya, dalam PKS Bukan Lenin, sebagai ‘Reformis’ dan bahkan—lagi-lagi—‘Stalinis.’ Bagi Ted, kritik Ragil atas gerakan Kiri, yang dianggap telah melupakan Lenin, justru berakibat ‘memerosokkan banyak orang’ ke dalam Ekonomisme. Karena Ragil menekankan pentingnya politik Kiri yang membumi pada persoalan sehari-hari, Ted menganggapnya membawa kecenderungan oportunis yang membuat gerakan terhenti pada isu-isu ekonomis (seperti persoalan upah, jaminan keamanan kerja, dll) dan abai pada dimensi politisnya, yakni pentingnya menanamkan kesadaran komunis pada massa. Dengan berbekal montase kutipan dari Lenin, Ted mau memperlihatkan adanya kecenderungan kontra-revolusioner dalam tulisan Ragil, yaitu bahaya terjatuh ke dalam reformisme yang menegasi potensi revolusi. Akhirnya, Ted mengindikasikan bahwa implikasi lanjutan dari posisi Ragil adalah jatuhnya gerakan pada politik pengambil-alihan negara dan tidak mendestruksi bentuk-negara itu sendiri. Padahal apa yang seharusnya diperjuangkan oleh kelas proletar adalah, dalam ungkapan Ted, “membentuk sebuah pemerintahan buruh yang baru dan sungguh berbeda.’ Dengan kata lain, Ragil seperti Stalin: melanggengkan bentuk-negara itu sendiri. Tepatnya, seperti ‘kaum Stalinis yang zig-zag, yang banting stir ke kiri dan kanan.’ Baca Selanjutnya

Razia Agustus Sukiman: Sebuah Catatan Ringan Buat PKS

Usaha untuk menjegal PKI tak pernah putus-putusnya. Setelah “teror putih” Madiun 1948 yang dilakukan oleh kabinet Hatta, PKI kembali dihadapkan pada usaha kabinet Sukiman untuk “menggangu” konsolidasi partai. Kabinet Sukiman-Suwiro [terkenal dengan sebutan kabinet Su-Su] menandatanggani perjanjian pertahanan dengan Amerika Serikat. Perjanjian itu berkaitan dengan Perang Korea yang sedang memanas. Pada saat itu Amerika mendukung Korea Selatan.

Perang Korea tidak bisa dilepaskan dari situasi Perang Dingin yang melibatkan AS dan Uni Soviet. Sebagai bentuk kesetian pada AS, agar terlihat anti kiri kabinet Su-Su melakukan penangkapan secara membabi buta terhadap orang-orang komunis. Penangkapan tersebut didasarkan pada tuduhan palsu, yakni aksi penyerbuan sekelompok pemuda berkaos “Palu-Arit” ke kantor polisi di Tanjung Periuk. Atas tuduhan rekayasa tersebut orang-orang PKI ditangkap secara liar. Kurang lebih 2.000 orang yang dianggap komunis ditangkap dan dijebloskan ke penjara.

Tak mengejutkan memang. Dalam operasi gadungan tersebut banyak sekali terjadi kesalahan dalam penangkapan. Peringkusan atas diri Abdulah Aidit—ayah DN AIdit—merupakan kekeliruan paling menggelikan dan konyol. Abdullah Aidit merupakan anggota DPR dari fraksi Masyumi [satu partai dengan Sukiman sendiri]. Hanya karena sama-sama ada kata “Aidit” di namanya, ia ditangkap. Sutan Syahrir [musuh politik PKI], Ang Yan Gwan pendiri Suratkabar Sin Po dan Siauw Giok Tjhan, juga ditangkap padahal tidak ada hubungannya dengan PKI. Mereka ikut disapu bersih hanya karena disangkutpautkan dengan PKI.

Mengapa di muka disebut “tuduhan palsu” terhadap PKI? Ketika digelar pengadilan secara terbuka terhadap tokoh-tokoh yang ditangkap, tuduhan bahwa PKI menjadi dalang dalam “aksi Tanjung Priok” tak pernah terbukti. Bahkan ketika Kabinet Su-Su akhirnya jatuh, terkuak bahwa “Razia Agustus” dilakukan sebagai balas budi terhadap Amerika atas bantuan yang diberikan, dan “aksi Tanjung Priok” hanya buatan mereka sendiri. Sebuah rekayasa yang memang digunakan untuk menghancurkan PKI yang tengah membangun organisasinya. Baca Selanjutnya

Rabu, 11 Mei 2016

PKS Bukan Lenin

Sudah terlalu sering kita temui mereka-mereka yang mencolek Marxisme dan Leninisme untuk menambal pemikiran mereka yang bolong-bolong, dengan harapan kalau kilau Marxisme-Leninisme bisa membuat pemikiran mereka yang dangkal dan membosankan semakin menarik, atau justru menyilaukan mata kita dari buruknya gagasan mereka. Eduard Bernstein, bapak Sosial Demokrasi dan Reformisme, adalah satu figur yang begitu pandainya bermain-main dengan Marxisme untuk membenarkan Reformismenya. Tidak berani secara terus terang mengedepankan gagasan Reformismenya, ia meminjam ujar Marx dan Engels.

Ragil Nugroho dalam “PKS dan Lenin”nya melakukan hal yang serupa, tetapi akan tidak adil bagi Bernstein bila kita menyandingkannya dengan Nugroho. Colekan Nugroho kasar dan vulgar, yang di lain pihak membuat tugas saya menjawabnya begitu mudah. Namun tidak akan saya anggap sepele tulisannya, karena di dalamnya terkandung banyak pelintiran dan jebakan yang bisa memerosokkan banyak orang yang belum pernah membaca – atau hanya membaca setengah-setengah – karya Marx, Engels, dan Lenin.

Apakah masalahnya begitu sepele seperti yang dikemukakan oleh Ragil? Bahwa ini hanya masalah antara mana yang bertahan dan mana yang tersungkur? Bila demikian, Marxisme telah tersungkur berkali-kali, dan bahkan mengalami kekalahan telak yang membuat tidak sedikit para pejuang rakyat menyerah dan menerima keabadian kapitalisme. Kita memegang teguh Marxisme dan perjuangannya bukan karena ia telah bertahan dan menang, tetapi justru karena pemahaman akan gerak sejarah. Ketika Uni Soviet jaya, tidak sedikit orang-orang yang menjunjung tinggi Marxisme setelah fakta kemenangannya, tetapi beramai-ramai meninggalkannya ketika Uni Soviet tersungkur. Mereka-mereka inilah yang menjadi tulang punggung kaum birokrasi Uni Soviet, yang sebelum Revolusi Oktober skeptis terhadap – dan bahkan menentang – revolusi sosialis, dan setelah kemenangan Revolusi Oktober membanjiri Partai Bolsheviknya Lenin dan negara buruh Uni Soviet. Dengan pemahaman dangkal mereka, yang hanya pintar menerima fakta setelah ia terjadi, Marxisme hanya jadi alat pembenaran prasangka-prasangka mereka dan bukan sebagai metode analisa gerak sejarah. Kebijakan kaum Stalinis yang zig-zag, yang banting stir ke kiri dan kanan, adalah hasil dari empirisisme vulgar mereka, yang menerima fakta hanya setelah ia terjadi, tanpa bisa menjelaskan apa-apa. Baca Selanjutnya

PKS Dan Lenin

PERSOALAN yang sepele: mana bertahan dan mana tersungkur.

Sedikit nostalgia. Tahun 1999, dua partai dari ideologi berbeda bertarung dalam Pemilu. Partai Rakyat Demokratik (PRD) berada di kiri. Di seberangnya, Partai Keadilan (PK) memilih posisi kanan. PRD mampu membangun tak kurang dari 14 cabang di tingkat provinsi dan 150-an cabang di level kabupaten. Hasilnya, sekitar 78.000 orang memberikan suara pada partai bernomor punggung 16 ini. Prestasi yang bagus.

Tapi, dari hari ke hari PRD semakin lingsir. Hingga pada satu titik: kita akan kesulitan menemukan di mana kuburannya karena tak ada batu nisan di atasnya. Sebaliknya, dengan modal tujuh kursi di Pemilu 1999, PKS tambah moncer.

Tentu ada racikan yang diramu PKS sehingga mereka bisa menjadi empat besar dalam Pemilu 2009—posisi yang sama dengan PKI dalam Pemilu 1955.

Tahun 1902 merupakan masa yang sulit bagi Lenin. Represi kekuasaan luar biasa. Ibaratnya, daun yang luruh dari tangkainya bisa dicurigai melawan kekuasaan. Ruang gerak sumpek. Mengatasi situasi ini, Lenin menulis risalah: What is to be Done?—Apa yang Harus Dilakukan?

Saat ini, di kalangan gerakan kiri Indonesia, risalah Lenin tersebut telah berdebu karena jarang dibuka. Disimpan rapi di rak keramat sebagai kitab suci. Tapi tak perlu trenyuh, risalah itu akan menemukan pembacanya di tempat lain.

Apa yang Harus Dilakukan? tak rumit. Hanya panduan ringan tentang membangun organisasi politik yang tak amatiran. Karena situasi tak bebas bernapas, maka organisasi harus ketat dengan disiplin yang tinggi. Tujuannya, agar penguasa tak mudah memukul. Ada sel-sel yang saling mengunci. Baca Selanjutnya

Jumat, 29 April 2016

Jongos + Babu

Tak tahu persis apakah penyakit Omar, tokoh dalam novel Naguib Mahfouz, The Beggar (Pengemis), juga menimpa mantan aktivis kiri Indonesia?

Omar terlibat dalam revolusi Mesir 1952. Paska revolusi, ia menjadi pengacara sukses. Hidup kaya. Kecukupan dan sejahtera. Tapi ia resah. Jiwanya gundah. Merasa ada yang tak beras dalam dirinya. Entah penyakit atau perasaan dikejar-kejar sesuatu yang tak pernah dimengertinya, yang membuatnya selalu galau.

Datanglah ia pada Hamid, seorang dokter yang juga terlibat dalam revolusi, kawan seperjuangannya.
Setelah diperiska sana-sini, Hamid tak menemukan penyakit apapun. Dengan nada menyindir, Hamid berujar: “Engkau mendapat penyakit borjuis.” Apa penyakit borjuis itu? Hamid menyambung: Engkau benar-benar sudah lupa bagaimana caranya berjalan. Kau melahap makanan terbaik, minum anggur yang bagus….”

Mungkin di situlah kelebihan sastrawan peraih Nobel sastra asal Mesir itu, bisa menohok tanpa menghujam. Kalimatnya sederhana: sudah lupa bagaimana caranya berjalan. Ada selaksa makna di dalamnya.

Kita tak perlu mengulas mantan aktivis kiri—sekarang nyaleg—yang harga tato di tubuhnya bisa digunakan untuk makan keluarga jembel berbulan-bulan. Atau, mantan aktivis kiri yang menjadi staf menteri yang bisa membangun rumah seharga 800 juta—sekarang nyaleg juga. Atau, aktivis kiri yang sekarang menjadi anggota dewan terhormat dengan kebiasan menghisap cerutu di café-café kelas satu Jakarta. Tanpa diulas pun, sudah banyak yang tahu. Tokoh-tokoh dalam novel Mahfouz ada semua dalam diri mantan-mantan aktivis kiri Indonesia: melahap makanan terbaik, minum anggur yang bagus. Etalase itu begitu bening sehingga kita bisa melihatnya tanpa terhalang seleret kotoran pun.

Sebaiknya kita mengulas saja: lupa bagaimana caranya berjalan. Kalau kita berangkat dari sastra, ada banyak alegori di sana. Jalan bisa berarti ikhtiar. Ketika berada dalam ideologi kiri, jalan merupakan ikhtiar untuk mewujudkan sosialisme sebagai pengganti kapitalisme. Ikhtiar itu bisa bermacam-macam. Lewat revolusi seperti di Soviet, China atau Kuba. Bisa juga lewat pemilu seperti Chile atau Venezuela. Karena siang ini tak ada revolusi, dan yang ramai dikicaukan adalah pemilu, maka yang terakhir saja yang dikorek. Baca Selanjutnya

Selasa, 12 April 2016

Ode untuk Trotsky

Banting stir ke kiri, banting stir ke kanan; inilah karakter utama dari Stalin dan para pengikut dan pemujanya. Tidak terkecuali Pablo Neruda, tidak terkecuali Ragil Nugroho. Pada masa kejayaan Stalin, Neruda menghamba-hamba pada Stalin. Setelah Krushchev mengutuk Stalin, ia pun segera berayun ke mana angin menghembus. Ia campakkan fanatismenya terhadap Stalin, dan dengan menyesal mengatakan bahwa ia juga telah memainkan peran dalam membangun kultus individu Stalin.

Tetapi berbahagialah Stalin di liang kuburnya ketika, jauh dari Kremlin, di Lereng Merapi ada seorang yang sampai hari ini masih menjunjungnya begitu tinggi. Tahun 2012 ditutupnya dengan persembahan untuk Stalin: “Ode untuk Stalin”.

Aksi perampokan bank Stalin digambarkan oleh Ragil sebagai peran besarnya dalam Bolshevik, dan dipertentangkan dengan “Trotsky [yang] masih berkutat dengan teori-teorinya yang mandul itu.” Tidakkah Ragil tahu bahwa dua tahun sebelum perampokan bank oleh Stalin itu, yakni pada 1905, meledak sebuah Revolusi penting dimana Trotsky dipilih menjadi Presiden Soviet pertama oleh buruh-buruh St. Petersburg, yakni batalion utama proletar Rusia? Sedangkal itulah pemahaman Ragil mengenai revolusi, yang membatasi pertempuran revolusi pada perampokan bank oleh segelintir orang, sementara Trotsky dengan “teori-teorinya yang mandul itu” memimpin Soviet pertama dalam sejarah Rusia lewat pertempuran aksi massa buruh. Fakta penting yang belakangan ini luput dari perhatian Ragil, karena pada akhirnya Ragil sudah tidak tertarik lagi pada masalah revolusi tetapi tampaknya hanya tertarik pada penyerangan membabi-buta terhadap Trotsky dan pemikirannya. Baca Selanjutnya

Ode untuk Stalin

Rabu pagi: 26 Juni 1907

Udara menyengat. Jarum jam menunjuk angka 10.30. Alun-alun Tiflis ramai. Tanpa diketahui banyak orang, beberapa pemuda buruh bersenjata revolver siaga di sudut-sudut jalan. Di lantai bawah kedai Tilipuchuri para gengster menunggu tanda. Di atap yang tersembunyi, para pengintai berusaha tak memincingkan mata. Sebuah peristiwa penting sedang berjalan. Sebuah operasi rahasia yang disusun oleh Josef Djugasvili selama berbulan-bulan. Semua dikerjakan dengan kehati-hatian tingkat tinggi. Celah kegagalan sebesar rambut pun berusaha ditutup, kalau memang ada.

Akhirnya Bachua memberikan tanda: melemparkan koran yang dibacanya ke samping. Apel—sebutan untuk granat—meledak: empat jumlahnya. Kekacauan menjalar di alun-alun. Seekor kuda terburai isi perutnya. Tubuh yang terkena ledakan terpotong kecil-kecil. Sesaat setelah itu suara tembakan pecah. Polisi tak menduga ada serangan kejutan. Dan dalam waktu kurang dari 15 menit uang milik bank yang dibawa oleh kasir dan dikawal tentara, lenyap.

Itu bukan kisah dalam film laga. Kejadian itu nyata. Dicatat oleh Simon Sebag Montefiore dalam bukunya, Young Stalin. Perompokan uang bank di alun-alun Tifilis itu telah melambungkan pelaku utamanya: Josep Djugasvili—yang kelak dikenal dengan nama Stalin. Baca Selanjutnya

Minggu, 27 Maret 2016

Uang sebagai Sertifikat Kreativitas

Catatan Aisyah Baradja di dindingnya mengenai kurs tribal telah mengingatkan saya kembali pada almarhum Hidajat Nataatmadja. Pada 2006, dalam usia 75 tahun, ekonom gaek yang juga bekas dosen fisika di IPB itu masih bersikeras untuk menyelesaikan tiga jilid bukunya, "Al Ghazali Guruku", "Einstein Guruku", dan "Melampaui Mitos & Logos: Pemikiran ke Arah Ekonomi-Baru", yang disebutnya sebagai laporan akhir dari kerja kesarjanaannya. Diabetes, yang kemudian merembet ke livernya, telah membuat kemampuan fisiknya anjlok hingga lima puluh persen, yang memaksanya harus tidur selama sepuluh jam sehari. Di sela-sela ketakberdayaan itu, toh ia masih bisa menyelesaikan tiga jilid buku tadi. Sebelumnya, pada tahun yang sama, bukunya, "The General Theory (of the Light) of Science", telah mendahului terbit.

Minggu, 30 Agustus 2015

Marxisme dan Ngencuk [Bagian II]

Dalam sebuah kongkow-kongkow tidak resmi, ZA pernah bercerita, kalau “burung” milik DI bengkok. Karena itulah DI bangga. Menurutnya, dengan “burung” yang bengkok itu bisa mematuk dengan cara yang berbeda. Dampaknya, setiap ngencuk bisa memuaskan lawan mainnya. Masih menurut pengakuan DI kepada ZA, burung yang bengkok inilah yang membuat aktivis-aktivis perempuan Kiri kesengsem pengin ngencuk dengannya. Guna membahkan efek revolusioner, sebab musab “burung” milik DI bengkok, katanya karena pernah disetrum tentara. Entah cerita ini benar atau cuma bualan, hanya ZA yang pernah merasakan yang tahu. Lihat Selengkapnya

Sabtu, 22 Agustus 2015

Marxisme dan Ngencuk (Bagian 1)

Tersebutlah kisah cinta segitiga antara DI, ZA, dan SR. DI pacaran dengan SR [anak di bawah umur]. Keduanya sudah pernah ngencuk. Di balik punggung SR, DI ngencuk dengan ZA, kekasih lamanya. Kebongkar. SR naik pitam. Ia menuntut digelar pengadilan internal di organisasi mereka. Keputusan diambil, tapi tak memuaskan pihak yang berseturu. Akibat selanjutnya ternyata gawat: organisasi retak. Bagaimana Marxisme menyelesaikan problem ngencuk segitiga ini? Karena ketiganya aktivis Kiri, mau tidak mau Marxisme harus ambil bagian. Contoh ngencuk yang lain. BW pengin ngencuk, tapi tidak tahu harus dengan siapa. Karena sudah tidak tahan, ketika melihat S tidur telentang, BW langsung menindihnya. Untung- untungan pikir BW, siapa tahu S mau juga. Tapi ternyata S tak mau. BW kena tampar. Kasus ini dimajukan ke makamah partai. Bagaimana Marxisme menyelesaikan problem ngencuk yang bertepuk sebelah tangan ini? Karena keduanya aktivis Kiri, mau tidak mau Marxisme harus ambil bagian. Lihat Selengkapnya

Kamis, 20 Agustus 2015

Pasal Penghinaan

Saya punya teman, namanya Ignas Kleruk Mao. Asalnya dari Flores. Dulu masih kurus kerempeng, sekarang sudah seperti Mike Tyson. Tapi tentu bukan tentang tubuhnya yang ingin saya tuliskan, melainkan tentang pengalamannya dikrangkeng karena dianggap menghina presiden. Sebagai anggota LMND [Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi] DIY, Ignas mendapat tugas membantu pengorganisiran buruh dan mahasiswa di Surabaya. Berangkatlah dia ke Surabaya bersama aktivis mahasiswa Yogya lainnya. Saat itu bertepatan dengan kebijakan Rezim Mega menaikkan BBM/TDL. Sikap LMND dan PRD dengan tegas menolak. Maka digelar demonstrasi diberbagai kota. Lihat Selengkapnya

Kamis, 18 Juni 2015

Beda Ala Stalin & Kebohongan Para Bigot Trotskis

Cerita tentang kebaikan Stalin tak selalu mengenakkan. Kalau Puan dan Tuan mengehendaki kisah kisah kekejaman Stalin atau semacamnya–seperti propaganda buku buku sejarah zaman Orba–silakan tak melanjutkan membaca tulisan ini: tak akan menggembirakan. Pembaca yang Budiman, kalau kita membuka lembaran awal Faust karya Johann Wolfgang von Goethe (sering disebut Goethe saja), akan segera bersitatap dengan Mephistopheles. Ia sosok Iblis dalam karya tersebut. Pada dasarnya setiap Iblis selalu kurang ajar dan urakan. Pun, dengan Mephistopheles. Bagaimana tak urakan, ia menatang Tuhan taruhan. Nah, sosok Mephistopheles inilah yang dilekatkan pada diri Stalin. Siapa yang melekatkan? Lihat Selengkapnya

Senin, 08 Juni 2015

Noktah Merah PRD [Bagian 5]

Putus dengan Caturwangi membuat Panjul Baidowi terpukul seperti dihantam palu godam milik Thor putera Zeus. Bukan soal putusnya yang membuat Panjul merana tujuh hari tujuh mana, tapi masalah satu lubang dibagi dua. Dengan kata lain, lubang Caturwangi dibagi dengan orang lain. Inilah yang membuat puyeng. Saking puyengya ia mengitari lapangan bola di Pejaten sebanyak 16 kali [sesuai nomor PRD di Pemilu]. Sebelum mengudar lebih jauh kisah ini, saya akan mundur sejenak ke Pemilu 1999. Seperti terpaparkan pada episode sebelumnya, PRD kalah dalam pertarungan di Pemilu. Tak ada satupun wakilnya di parlemen. Ini sebetulnya bisa diduga. PRD diisi oleh generasi KPRP yang sudah liberal dalam pikiran dan selangkangan. Lihat Selengkapnya

Minggu, 07 Juni 2015

Noktah Merah PRD [Bagian 4]

Caturwangi mulai ngartis ketika di Filsafat UGM ada mogok makan, sekitar akhir 1997. Mogok makan ini merupakan ide dari Sahanudin Hamzah atau populer dengan panggilan Hamcrut, aktivis Jaker, yang setelah 27 Juli 1996 porak poranda juga organisasinya, dan Manik Wijil Sadmoko atau sering dipanggil Ngademo, mantan aktivis SMID. Mogok makan dilakukan untuk memprotes rezim yang semakin represif. Awalnya diikuti dua orang, lama kelamaan bertambah 8-10 orang. Kampus Filsafat pun kembali bergeliat. Ramai seperti pasar malam. Para desertir-desertir SMID/PRD mulai muncul satu persatu. Mereka yang sebagian besar pulang ke rumah mamanya karena takut dikejar-kejar tentara, mulai muncul satu persatu. Salah satu di antarnya adalah Caturwangi. Sebagaimana yang lain, ia penganut ideologi liberal. Lihat Selengkapnya

Jumat, 05 Juni 2015

Noktah Merah PRD [Bagian 3]

Sebelum melanjutkan perjalanan pada kisah asmara Panjul Ridowi dengan Teresia Ningrum, ada baiknya saya tuliskan dulu tentang dua heboh di tahun 90-an. Heboh pertama adalah perkara jilbab. Sekitar 10 siswi dikeluarkan dari sebuah SMA di Jakarta. Pasalnya mereka mengenakan jilbab di sekolah. Sesuatu yang dianggap melanggar aturan tentang seragam. Tentu kejadian itu mendapatkan protes dari masyarakat Muslim. Heboh kedua menyangkut polling di tabloid Monitor. Hasil polling majalah tersebut menempatkan Nabi Muhammad di urutan 11, berada di bawah tokoh-tokoh seperti Suharto, BJ Habibie, Tri Sutrisno. Bahkan di bawah Iwan Fals dan Rhoma Irama. Tentu saja hal ini menimbulkan reaksi keras. Akhirnya, tabloid itu dibredel dan pimpinan redaksinya, Arswendo Atmowiloto dikrangkeng selama 5 tahun. Lihat Selengkapnya

Minggu, 31 Mei 2015

Noktah Merah PRD [Bagian 2]

Kamera sementara di pindahkan ke Yogyakarta. Sebelum menempati bangunan yang sekarang, Fakultas Filsafat UGM berada di salah satu ruangan di Gedung Pusat UGM. Kalau saudara saudari pernah nonton film “Cintaku di Kampus Biru”, ada ruangan perkuliahan yang ditampilkan, itulah Gedung Pusat UGM. Konon, gedung ini diarsiteki oleh Sukarno. Dulu di halamannya ada pohon cemara berjumlah tujuh, entah sekarang. Di ruang Fakultus Filsafat itulah bersarang mahasiswa-mahasiswa generasi Arjuna. Mereka rata-rata berasal dari kelas menengah. Awalnya berpakaian perlente, tapi karena sumpek dengan kondisi sosial kampus, mereka berubah hidup bohemian. Mungkin terinspirasi gerakan hippies di Amrik, mereka memilih hidup menggelandang. Pakaian mereka yang awalnya bagus-bagus, dibiarkan jadi lusuh dan kucel, tak pernah diganti selama berbulan-bulan. Celana jean dibiarkan robek-robek. Mereka tak pernah mandi. Tubuh dibiarkan penuh panu. Rambut gondrong, mata merah kurang tidur. Siang malam dihabiskan untuk mabuk-mabukan. Jarang masuk kuliah. Kalaupun masuk kuliah memakai pakaian yang aneh-aneh: pakai sarung, wajah lusuh belum terbilas air, kaos oblong, dan rambut gimbal. Lihat Selengkapnya

Sabtu, 30 Mei 2015

Noktah Merah PRD

Selama ini, narasi yang muncul tentang sejarah PRD lebih banyak sekadar mastrubasi kejayaan masa lalu. Sejarah dicetak tidak berlandaskan pada dinamika kader, tapi mendompleng pada sejarah besar: penggulingan Suharto, pemilu, pergantian kekuasaan dan narasi-narasi besar lainnya. Sehingga, kalaupun ada kritik oto kritik hasilnya mengawang, tidak menjangkar pada bumi. Peranan kader ditenggelamkan dalam bombastis megalomania kejayaan. Kader dianggap ada sebatas ia dipenjara dan diculik. Di luar itu, kader hanya angka. Padahal pengalaman kader yang bertumbuh dengan partai pelopor sangat kaya. Kisah mereka adalah kisah partai. Tentu saja termasuk kisah asmaranya. Sebagai suatu contoh, kisah asmara Panjul Ridowi dengan Sukaisih, bisa dipakai untuk melihat sejarah awal PRD lebih utuh. Lihat Selengkapnya

Kamis, 28 Mei 2015

Republik Congyang

Agus Jabo, ketua PRD, merupakan pemabuk yang tangguh. Ia bisa menghabiskan bir berbotol botol dalam sekali perjamuan minum. Segala jenis minuman yang memabukkan, mulai dari cap tikus sampai congyang, pernah ia tenggak. Paskah kalau dia mimimpin PRD sebagai partai elektoral untuk bertarung dengan partai lain pada tahun 2014? Dalam tradisi kiri, banyak pimpinan partai yang gemar menenggak minuman keras. Mao dan Stalin bisa dijadikan contoh. Toh, walaupun pemabuk, mereka berhasil memimpin revolusi. Tapi itu di Tiongkok dan Soviet. Indonesia tentu beda. Setiap tanah punya karakter masing masing. Tiongkok cocok ditananami shorgum -sejinis gandum– tapi tidak di Indonesia. Lihat Selengkapnya
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Cobalah Tengok

Dartar Isi