Hari itu, Kamis, 9 Januari 1997, seperti biasa pada jam istirahat saya menerima Harian
Republika,
Kompas dan
Media Indonesia dari tukang koran langganan di sekolah. Sewaktu duduk di sekolah menengah dulu, saya memang termasuk bergelimang “kemewahan”, karena bisa berlangganan tetap dua surat kabar (
Republika dan
Kompas) dan sejumlah tabloid sekaligus (
Aksi, Adil, Paron, dan sebuah tabloid pengganti
Detik [sebelum terbit
Tabloid Detak pada 1998]). Ini masih ditambah surat kabar lain yang dibeli secara tidak tetap, seperti
Media Indonesia, Merdeka (sebelum koran B.M. Diah ini dibajak oleh Jawa Pos) dan
Pikiran Rakyat. Bukan apa-apa, pada tahun-tahun itu saya tinggal di tempat saudara yang tempat tinggalnya satu blok dengan saudara-saudara yang lain. Karena saya dianggap “anak baik”, saya mendapat uang saku dari semuanya. Jika disatukan dengan kiriman dari kampung, jumlahnya lumayan juga.