Beberapa teman mengeluhkan pertemanannya putus, bahkan hubungan antar-anggota keluarga merenggang karena tajamnya perdebatan dan silang pendapat di grup-grup WhatsApp, Telegram, Facebook, dan media sosial lainnya terkait isu-isu seputar Ahok dan Aleppo.
Bukan perbedaan yang dikeluhkannya, tapi kecenderungan intoleransi orang-orang yang memilih pola hidup modern dan bebas, bahkan sebagian tidak religius. Ini cukup mengejutkan. Aneh! Ini bisa diungkap dalam kalimat satir: “Mendadak religius secara fanatik, padahal resleting belum ditarik ke atas.”
Gejala apakah ini?
Terlepas dari tema dan isu yang disengketakan, mendukung atau menolak, sekarang ada semacam tren religiusitas simbolik yang menjanjikan peleburan dosa secara instan hanya dengan mendukung aksi-aksi intoleran, meski kehidupan sehari-hari tidak religius. Ini melanda kelas menengah dan urban yang mulai cemas dan galau terhadap efek siklus pergaulan modern yang mengusik kehidupan personal mereka.
Mengapa ini terjadi?
Teman-teman yang mengeluhkan itu mengaku tidak habis pikir dan bertanya-tanya, strata pendidikannya tinggi dan gaya hidupnya modern bahkan sebagian hedonis, tapi memahami dan menafsirkan agama serta sikap beragama secara kaku dan tidak logis.
Positivisme yang menjadi induk peradaban modern dan fondasi pengetahuan serta paradigma pola pikir telah berhasil (a) memisahkan logika dari agama atau yang lazim disebut iman (faith), (b) membatasi logika pada pengetahuan empiris. Akibatnya, terbentuk mindset bahwa (1) logika hanya berlaku dalam sains dengan objek fisikal, (2) agama adalah keyakinan yang tidak tunduk kepada logika. Baca Selanjutnya
Serentak, dari Layanan Akomodasi Hingga MCH, Seleksi Petugas Haji Tingkat
Pusat Segera Dibuka Hingga 6 Desember
-
Islami.co (Jakarta) — Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag
membuka pendaftaran seleksi Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab
Saudi t...
3 jam yang lalu