Selasa, 20 Desember 2016

Kemenangan Trump dan Fenomena Pasca-Kebenaran

Dunia internasional pada tahun 2016 adalah periode gemilang bagi politisi yang berhasil menyempurnakan seni membual seperti Donald Trump,"penjual dusta" yang memenangi pemilihan umum presiden Amerika Serikat.

Trump bukanlah satu-satunya pembohong yang berjaya--sekitar 70 persen dari perkataannya salah secara faktual, menurut temuan lembaga PolitiFact. Larisnya industri pemalsuan kebenaran juga terjadi di Inggris saat negara itu keluar dari Uni Eropa--juga di Prancis, Jerman, dan Belanda saat gelombang anti-imigran meruyak.

Eropa dan Amerika Serikat yang selama ini dijadikan banyak orang sebagai kiblat kebudayaan rasional, pada tahun ini, justru kembali ke abad kegelapan di mana cerita khayal mendapatkan pengiman.

Trump dan para politisi Eropa itu secara bersamaan berhasil menemukan teknik baru mengepul banyak suara meski berulang kali tertangkap basah mengibuli orang. Sepanjang tahun ini, mereka berhasil membuat fakta menjadi prioritas terakhir pertimbangan para pemegang hak pilih.

Inilah yang disebut sebagai fenomena "post-truth" atau pasca-kebenaran, sebuah istilah yang pada tahun ini mendapat gelar kehormatan sebagai "kata tahun ini" oleh Kamus Besar Oxford. Pasca-kebenaran merupakan kata sifat yang merujuk pada "kurangnya daya pikat fakta objektif dalam pembentukan opini masyarakat dibanding emosi dan prasangka".

Pasca-kebenaran bermakna jauh lebih luas dibanding dusta. Jika dalam dusta sebuah fakta direkayasa, pasca-kebenaran membuat "yang nyata" menjadi tidak penting dan, oleh karena itu, verifikasi atas kesahihan ucapan tidak akan mengubah apa-apa.

Fenomena ini terlihat jelas dalam masa kampanye pemilihan umum presiden Amerika Serikat. Trump membalik semua ramalan dengan mengalahkan Hillary Clinton, meski semua media massa ramai-ramai menelanjangi kebohongan-kebohongan Trump. Baca Selanjutnya
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Cobalah Tengok

Dartar Isi