Tampilkan postingan dengan label Tarli Nugroho. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tarli Nugroho. Tampilkan semua postingan

Jumat, 25 Maret 2016

Bulaksumur, Nasibmu Kini

Empat tahun lalu, sebuah rombongan datang ke rumah teduh itu. Sang tuan rumah, lelaki sepuh dengan wajah tegas, tanpa basa-basi segera menyambut tetamunya dengan kalimat gahar, "Kalian harus tanya kepada Boediono, ke mana itu gagasan Ekonomi Pancasila yang dulu pernah dibela-belanya itu? Jangan sampai dia jadi pengkhianat gagasan Mubyarto." Baca Selanjutnya

Kamis, 24 Maret 2016

Pendidikan Tanpa Konsep: Pertanyaan untuk Pemerintah Baru

Pemisahan Kemdikbud menjadi dua kementerian bisa kita anggap sebagai terusan dari sejumlah salah kaprah yang telah berlangsung di dunia pendidikan kita dalam lima belas tahun terakhir. Salah kaprah pertama adalah diubahnya (nama) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menjadi Departemen Pendidikan Nasional pada masa pemerintahan Gus Dur (1999), dimana nomenklatur kebudayaan dihilangkan darinya. Baca Selanjutnya

Rabu, 23 Maret 2016

Profesional atau Vokasional?

Jadi, apa bedanya profesional dengan vokasional?

Dalam masyarakat kita, apresiasi terhadap kaum profesional demikian tinggi. Profesional dicitrakan sebagai seseorang yang terampil, efisien, bertanggung jawab, obyektif, jujur, serta berbagai atribut positif lainnya. Lazim kita temukan bahwa segala hal yang kurang bagus, atau ketidakbecusan dalam pekerjaan, disebut sebagai “tidak profesional”. Pendek kata, profesional adalah sesuatu yang memiliki citra serba positif. Hampir tanpa cela. Benarkah? Baca Selanjutnya

Jumat, 25 September 2015

Rezim Pompa Air

Krisis dan resesi ekonomi itu seperti bencana kekeringan. Kalau sekadar untuk mengairi beberapa ratus hektare sawah, kita bisa mengerahkan mesin pompa, mulai dari ukuran kecil hingga raksasa. Namun kita tak bisa menggunakan cara tersebut sepanjang waktu, apalagi untuk menyelamatkan jutaan hektare lahan. Secara ekonomi, cara itu jelas muspro. Lihat Selengkapnya

Sabtu, 19 September 2015

Kabinet Wacana

Kenyataan bahwa presiden kembali blusukan, mulai dari mengunjungi hutan yang terbakar, mengajak makan siang tukang ojek hingga para dekan Fakultas Ekonomi, lalu turun kembali mengunjungi warga Jakarta, di tengah tanda tanya agenda ekonomi yang akhirnya disikapi dengan deregulasi, hanya mengkonfirmasi penilaian lama ini.

Senin, 14 September 2015

Mengapa Denny J.A. Begitu Terobsesi Menjadi Tokoh Penting?

Buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh" (KPG, 2012) bukanlah buku pertama yang menempatkan Denny J.A. sebagai tokoh penting terkait sebuah bidang. Pada 2008, juga telah terbit buku "10 Tahun Reformasi: Bakti untuk Indonesia - Enam Ikon Pembawa Tradisi Baru" (Sinar Harapan, 2008), yang menempatkan Denny sebagai salah satu dari enam ikon Reformasi. Lihat Selengkapnya

Sabtu, 12 September 2015

Maket Politik

Setiap orang adalah politisi, dan seluruh pernyataan adalah politis. Begitulah kondisi zaman kita, hari ini. Hanya, kehadiran teknologi digital dan media sosial sepertinya telah mengaburkan pandangan sejumlah orang bahwa berpolitik cukup dilakukan secara individual lewat sentuhan keypad, atau berkomplot lewat petisi online saja, tanpa perlu berserikat, berkumpul dan berpartai secara riil. Inilah yang telah melahirkan ironi besar zaman ini: era politik dimana orang justru anti-partai politik. Lihat Selengkapnya

Jumat, 04 September 2015

Lambang Partai

Menyimak bergabungnya PAN ke dalam koalisi pemerintah, saya tiba-tiba teringat kepada kolom Agus Dermawan T. di Majalah GATRA No. 23/V, 24 April 1999, yang mengkritisi lambang-lambang partai politik di awal Reformasi dari sudut pandang seni. Menurut Agus, dari 48 partai yang menjadi peserta Pemilu 1999, bisa disebut bahwa hampir seluruhnya tidak serius dalam merancang lambang. Lihat Selengkapnya

Selasa, 01 September 2015

Deja Vu

Diawali oleh "Ini Dia Duet Baru", dilanjutkan dengan "Jorjoran Rumah Mewah" dan "Silakan Impor Mobil Mewah", lalu terbitlah "Kredit Macet Bukan Main-main" ketika di utara sedang terjadi "Politik Cina Sesudah Deng" yang segera disusul oleh "Perang Investasi di Asia". Terus terang, membaca Indonesia hari ini, saya jadi teringat sampul-sampul Tempo tahun 1993 tadi. Entah kenapa.

Jumat, 28 Agustus 2015

Habibie vs Mafia Berkeley

Sesudah secara bertahap membuka konfrontasi terbuka terhadap pemikiran para anggota Mafia Berkeley sejak awal 1990, pada 1993 Habibie akhirnya bisa mengurangi dominasi para ekonom tadi di pemerintahan. Dan puncaknya adalah pada 1998, dimana Habibie berhasil menggusur seluruh anasir Mafia Berkeley dari kabinet. Hasilnya? Tak butuh waktu lama, hanya berselang setahun kemudian, Habibie tergusur dari kekuasaannya. Ketika Gus Dur naik, ia sempat harus memanggil kembali Widjojo dan Emil Salim, meskipun keduanya ditolak dan sempat "digusur" oleh Rizal Ramli. Lihat Selengkapnya

Rabu, 19 Agustus 2015

Karawang

Stasiun kereta api Karawang, 1946. Karena sejumlah peristiwa penting yang terjadi di kota ini pada awal revolusi dulu, mulai dari peristiwa penculikan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok (sebuah kota kecamatan di Karawang), hingga berbagai pertempuran bersejarah, yang telah menjadikan Karawang sebagai pusat markas sejumlah kesatuan perjuangan pemuda pada masa itu, maka Karawang kemudian dijuluki sebagai "Kota Pangkal Perjuangan". Lihat Selengkapnya

Rabu, 12 Agustus 2015

Pemimpin Baik dan Pemimpin Bodoh

Di bawah pemimpin yang baik, anak buah bodoh pun ada gunanya. Di bawah pemimpin yang bodoh, pasukan terbaik pun kocar-kacir. (Kang Komar---Preman Pensiun)

Sabtu, 08 Agustus 2015

Marxisme dan Makrifat

Pada 1951, ketika mengenangkan Tjokro, Buya Hamka menulis: “Beliau dalam kursusnya tidak mencela Marx dan Engels, bahkan berterima kasih kepada keduanya, sebab teori Historis Materialisme Marx dan Engels—kata beliau—telah menambah jelasnya bagaimana kesatuan sosialisme yang dibawa Nabi Muhammad.” Lihat Selengkapnya

Rabu, 05 Agustus 2015

Mahfud dan Thowaf: Sebuah Fragmen Rivalitas

Hingga dua belas tahun yang lalu, terjadi rivalitas yang sengit di Rumah B-21, sebuah padepokan kumuh di bilangan Kampus Bulaksumur. Rivalitas itu terjadi antara dua orang sastrawan muda, yaitu Thowaf Zuharon dan Mahfud Ikhwan. Mahfud adalah mahasiswa Sastra Indonesia, dan Thowaf, sebelum pindah ke FISIPOL, adalah mahasiswa Sastra Arab. Dan sebagaimana yang terus terjadi hingga hari ini, semua rivalitas yang terjadi di antara kami, alumni-alumni B-21, selalu saja melibatkan provokasi dari siapa lagi kalau bukan Iqbal Aji Daryono. Iqbal adalah provokator yang licin. Dia selalu berada di tengah semua konflik, namun selalu bisa meloloskan diri dan lalu tiba-tiba menempatkan dirinya sebagai pengamat belaka. Begitulah. Sejak dulu sudah begitu. Lihat Selengkapnya

Kamis, 02 Juli 2015

Selain Uang, Kapital Pembangunan Seharusnya adalah SDM dan Teknologi

Menjadikan uang sebagai satu-satunya kapital pembangunan ternyata tidak-cukup. Itu sebabnya dalam pembangunan selanjutnya, kapital harus merupakan fungsi selain uang juga sumber daya manusia (SDM) dan teknologi. Menristek Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie yang baru dilantik menjadi Menristek untuk keempat kalinya mengemukakan hal itu dalam wawancara khusus dengan Kompas di ruang kerjanya di Jakarta Jumat kemarin. (Harian Kompas, 20 Maret 1993) Lihat Selengkapnya

Rabu, 03 Juni 2015

Pancasila dan Amnesia Kebangsaan

Dalam buku Sukarno, A Political Biography (1972), John D. Legge menulis sebuah bab menarik mengenai pergulatan ideologi di Indonesia. Menurut Legge, di antara para pemimpin Asia, Soekarno merupakan satu-satunya pemimpin yang membebani dirinya untuk merumuskan ideologi sendiri buat bangsanya. Ini berbeda, misalnya, dengan Gandhi yang lebih tertarik kepada kemanusiaan universal; Nehru yang terlalu santun, sehingga karenanya tak membutuhkan ideologi apapun untuk menyokong keyakinan politiknya; ataupun Ho Chi Minh yang memilih tetap bersetia pada kemapanan Marxisme. Lihat Selengkapnya

Jumat, 08 Mei 2015

Strategi Kebudayaan? Defisit!

Lewat tulisannya, “Strategi Kebudayaan? Cukup!” di Kompas (24/03), Donny Gahral Adian (DGA) menawarkan ketelanjangan pada kita: tanggalkanlah seluruh kehendak, karena ia bisa memperbudak kita. Dengan menyebut Strategi Kebudayaan sebagai menempatkan manusia dalam posisi obyek, mau tidak mau DGA sedang menjadikan term ‘obyek’ sebagai bola liar yang boleh menerabas apa pun. Sehingga, misalnya, karena memakai celana adalah bagian dari imperatif tradisi dan kesusilaan, kita pun mungkin perlu untuk menanggalkannya. Lihat Selengkapnya

Senin, 04 Mei 2015

Narasi dan Realitas Politik

“Apa buktinya kalau masyarakat menginginkan Jokowi?” Jawaban yang disampaikan umumnya sudah bisa ditebak: “Survei-survei politik selalu menempatkan namanya pada posisi pemuncak calon presiden.” Di luar konteks Jokowi, atau nama-nama lainnya, pernyataan dan jawaban semacam itu selalu mengusik saya. Perkaranya sederhana, karena pernyataan dan jawaban itu sebenarnya menggambarkan hubungan yang tidak searah, sebagaimana diandaikan bahwa realitaslah yang telah memproduksi hasil survei. Benarkah begitu?!

Senin, 13 April 2015

Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto

Soekarno sudah kuliah di Bandung pada hari ketika tentara Belanda menggedor rumah mertuanya di sebuah tengah malam buta medio September 1921, dan lalu menggiringnya ke dalam tahanan di bawah todongan bayonet. Ia waktu itu juga sudah membawa serta Siti Oetari, isterinya, anak pertama Tjokroaminoto, untuk tinggal bersamanya di rumah kos Haji Sanusi. Di rumah itu, Soekarno dan Oetari tidur di kamar terpisah. Menurut pengakuannya, ia memang lebih menganggap Oetari sebagai adik ketimbang isterinya. Itu sebabnya, seturut pengakuannya kepada Inggit Garnasih, isteri Haji Sanusi yang kemudian diperisterinya, ia belum pernah “menyentuh” gadis itu. Lihat Selengkapnya

Kamis, 09 April 2015

Dari Berkeley Hingga Harvard

Jika kita menengok kembali ke belakang, “Mafia Harvard” bukan hanya pernah membuat gerah Kremlin. Pada 1997, ketika krisis moneter sedang mengguncang Indonesia, banyak orang juga menyoroti kerja Tim Harvard di Lapangan Banteng. Lihat Selengkapnya
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Cobalah Tengok

Dartar Isi