Tanya:
Apa yang harus dilakukan oleh seorang lelaki yang isthatha’ah –-mampu secara lahir maupun batin– untuk membangun sebuah mahligai rumah tangga, tetapi belum mendapatkan restu dari orangtua dengan alasan masih belum pantas untuk mengikuti jejak Rasulullah saw. padahal pasangan juga sudah memenuhi kriteria yang dianjurkan agama; ad-Dîn, an-Nasab, al-Jamal, dan al-Mâl?
Mas Amfa – via surel
Jawaban Lengkap A. Wahib Mu’thi:
Dari segi hukum, sebagai lelaki, Anda tak perlu memperoleh izin dan restu dari orangtua untuk menikah. Namun, pertimbangannya secara moral harus Anda perhatikan. Apalagi pernikahan pada hakikatnya tak hanya hubungan dua orang, tetapi juga jalinan hubungan keluarga. Orangtua dan keluarga adalah tempat kembali, mengadu, dan memperoleh nasihat dan bantuan, saat-saat suami-istri mengalami krisis. Sampai kapan pun doa orangtua pasti akan dibutuhkan dalam menemani Anda menjalani kehidupan rumahtangga.
Di sisi lain, perlu Anda ketahui bahwa dalam pandangan Imam Syafi’i, kawin bagi yang memiliki dorongan kuat menjadi sunnah jika yang bersangkutan telah memiliki kemampuan membayar mahar dan belanja untuk kehidupan rumahtangga secara wajar. Jika Anda merasa tak dapat membendung keinginan Anda sendiri dan kuatir jika tak memenuhinya, maka Anda dapat terjerumus ke dalam dosa, Anda pun dapat menikah. Bahkan yang melarang ketika itu –-meski orangtua– dapat dinilai berdosa. Demikian, Wallâhu A’lam. « [Dewan Pakar Pusat Studi Al-Quran]
Arti Mimpi Mencabut Bulu Ketiak menurut Agama, Psikologi dan Primbon Jawa
-
Pendahuluan Mimpi merupakan fenomena psikologis yang sering kali menarik
perhatian banyak orang. Salah satu tema yang kerap muncul dalam mimpi
adalah ten...
3 jam yang lalu