Sejak isu penistaan yang melibatkan nama besar calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok bergulir, muncul banyak sekali ragam dukungan sekaligus penolakan yang tidak semestinya. Dan hal yang tidak semestinya ini tentu juga sangat patut mendapat respons ketimbang melulu mendebat soal isu yang sebenarnya sudah lama tuntas.
Sejauh yang bisa saya amati, entah dalam bentuk dukungan atau penolakan, tak jarang saya dapati orang-orang yang mendasarkan argumentasinya hanya dari “siapa yang berbicara”. Sedikit sekali di antara mereka yang mendasarkannya dari “apa yang dibicarakan”. Orang-orang semacam ini, meminjam istilah novelis Pramoedya Ananta Toer, adalah mereka yang tidak adil sejak dalam pikiran.
Coba kita ambil contoh tentang dukungan dan penolakan atas KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus). Sejumlah argumen yang ia tebar di berbagai jejaring sosial, terutama yang berhubungan erat atau rangkaian dari isu penistaan, selalu saja menuai pro-kontra. Baik yang mendukung ataupun menolak, sekali lagi, mendasarkan sikapnya dari “siapa dia”, bukan “apa yang disampaikan”.
Ya, yang mendukung Gus Mus tak lebih hanya karena dia adalah seorang ulama yang santun, bijak, lagi cerdas. Mereka melihat Gus Mus hanya dari sisi pribadinya semata. Mereka lupa bahwa seorang ulama sekalipun, meski dirinya santun, bijak, cerdas, dan segala nilai-nilai baik melekat dalam dirinya, tak berarti apa yang diungkapkannya selalu benar.
Tentu, tipe orang semacam ini bisa benar, bisa juga salah. Tapi ingat, dia bisa benar hanya dari “apa yang disampaikannya”. Dia bisa benar jika memang kata-katanya benar, bukan berlandas dari “siapa dia”. Baca Selanjutnya
Catatan Umrah (6): Mendapatkan Kain Umrah
-
Sebab ini yang pertama, masalah kain ihram bisa menjadi perkara yang perlu
mendapatkan perhatian serius bagi mereka yang akan berihram. Mungkin bagi
sebagi...
1 jam yang lalu