POLISI-TENTARA dengan radio genggam, ada di baris belakang. Saat film "Rayuan Pulau Palsu" diputar, tepuk tangan pecah pada adegan-adegan yang menguatkan sikap mereka menolak reklamasi Teluk Jakarta.
Sudah lama saya tak berada di tengah layar tancap seperti ini, sejak masa kecil silam di mana Departemen Penerangan membawa film keliling untuk penyuluhan program KB atau pertanian.
Agustus 2014, seribuan orang juga memenuhi lapangan Museum Fatahilah, Jakarta, untuk menyaksikan layar tancap "Yang Ketu7uh".
Bedanya, semalam di Muara Angke, cemooh dan makian dilontarkan begitu saja saat gambar-gambar menunjukkan hal-hal yang tak mereka sukai. Sebagian bahkan cenderung kasar.
Tapi inilah forum rakyat. Saya tak berharap reaksinya seperti kaum ningrat terpelajar yang "tertib", atau menutup mulutnya saat seharusnya tertawa ngakak.
Nama-nama pejabat publik diteriakkan di antara makian.
Anak-anak duduk tertib di baris depan. Tak ada yang ribut atau berlarian. Orang dewasa berdiri selama 60 menit durasi film diputar.
Orang tak peduli lagi menonton dari sisi layar yang salah, sehingga semua teks akan terbaca terbalik.
Dua jam mereka menunggu. Sebab layar diempas angin dan terlepas. Tapi orang-orang bergegas memanjat bambu, mengikatnya lebih erat, dan melubangi kainnya. Layar 6x4 meter ini hasil gotong royong kawan-kawan aktivis dan relawan yang menjahit sendiri. Baca Selanjutnya
Masjid Sumberanyar
-
Ketika menunggu anak bergiat di sekolahnya, saya terdengar azan magrib.
Serta merta, saya menuju suara ini. Meskipun salah masuk gang, akhirnya
saya mene...
1 jam yang lalu