TULISAN ini merupakan catatan tentang politik kebudayaan liberal pasca 1965 dan peran yang dimainkan Goenawan Mohamad di dalamnya. Motivasi awalnya datang dari pembacaan atas penelitian Wijaya Herlambang dalam bukunya, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film. Dalam tulisan ini, saya akan (1) menguraikan data-data baru tentang tema terkait yang didapat dari buku Wijaya maupun dari penelusuran saya secara langsung ke Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, (2) menjelaskan bagaimana anatomi gagasan dari politik kebudayaan berbasis eksistensialisme Camus, (3) menunjukkan peran Goenawan Mohamad sebagai makelar kebudayaan dalam membentuk selera intelektual Indonesia, dan (4) memperlihatkan kaitannya dengan konsolidasi kapitalisme di Indonesia pasca 1965.
Liberalisme Borongan: Cicilan $50
Dalam bukunya, Wijaya menunjukkan keberadaan suatu lembaga filantropi bernama Congress for Cultural Freedom (CCF) hasil bentukan CIA pada tahun 1950 yang dimaksudkan sebagai covert action untuk ‘menciptakan dasar filosofis bagi para intelektual untuk mempromosikan kapitalisme Barat dan anti-komunisme.’[1] CCF ditempatkan di bawah kendali Office of Policy Coordination (OPC) yang diketuai oleh Frank Wisner, seorang pejabat CIA yang terlibat dalam perencaaan pemberontakan PRRI/Permesta 1957-1958. Wijaya juga menunjukkan bahwa dari CCF itulah dibentuk yayasan Obor internasional yang diketuai Ivan Kats, seorang perwakilan CCF untuk Program Asia. Yayasan Obor internasional (Obor Incoporated) yang berkedudukan di New York inilah yang menjadi induk dari yayasan Obor Indonesia yang diketuai Mochtar Lubis.[2] Melalui yayasan tersebut, ide-ide yang ‘secara filosofis’ mempromosikan kapitalisme Barat dan sikap anti-komunis disemai. Baca Selanjutnya