Jangan-jangan masyarakat kita sedang dilanda gejala superlativisme atau kecenderungan melebih-lebihkan atau berlebih-lebihan dalam mengungkapkan sesuatu dengan kata-kata atau perilaku dengan maksud mendapatkan dampak tertentu.
Penggunaan kata-kata yang berlebihan untuk mengungkapkan sesuatu disebut gaya bahasa hiperbol. Biasanya itu digunakan dalam iklan. Contohnya adalah super hemat, super hebat, super murah.
Super artinya sangat, luar biasa atau ekstrem, amat sangat sekali. Pokoknya, habis-habisan, pol, sudah mentok. Semoga ini bukan akibat dari terlalu banyak mengonsumsi mi instan dengan merek tertentu itu.
Belum lama ini, telah diperkenalkan ungkapan "super damai" dalam konferensi pers bersama Kapolri dan pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang aksi Bela Islam jilid 3, 0212 (tanggal 2 Desember 2016) yang jatuh pada hari Jumat.
Orde Baru (Orba) pimpinan Pak Harto memperkenalkan eufemisme atau penghalusan kata-kata dengan mengubah beberapa ungkapan. Contohnya, gelandangan diganti tuna wisma, pengangguran menjadi tuna karya, pelacur menjadi wanita tuna susila (WTS) dan demonstrasi menjadi unjuk rasa.
Demonstrasi di mana-mana umumnya berlangsung rusuh atau kacau. Alhamdulillah, unjuk rasa Bela Islam jilid 2 pada Jumat, 0411 (4 November 2016) berlangsung tertib dan damai. Oleh karena itu, unjuk rasa terbesar dalam sejarah Indonesia, konon diikuti 2 jutaan orang itu, disebut Aksi Damai 0411.
Bahwa setelah Maghrib timbul kerusuhan dalam Aksi Damai itu, kedua belah pihak, polisi dan pengunjuk rasa menduga keras adanya penyusup. Karena, polisi ikut juga dalam aksi itu dengan berdzikir asmaul husna, penyusup itu patut digelari "super penyusup". Habis, banyak polisi kok masih bisa menyusup, apa tidak super? Baca Selanjutnya
Islam di Taiwan: Kebebasan Beragama, Demokrasi, dan Politik Global
-
Arah Islam di Taiwan, sedikit banyak ditentukan oleh kehidupan komunitas
muslim migran yang terus berkembang
1 jam yang lalu