Tampilkan postingan dengan label Ted Sprague. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ted Sprague. Tampilkan semua postingan

Rabu, 18 Mei 2016

Lenin, Parlemen dan Realitas Obyektif: Kritik atas Ragil Nugroho dan Martin Suryajaya

Menarik, tulisan Ragil Nugroho, PKS dan Lenin, yang memberi kesimpulan kasar atas pola pengorganisiran revolusioner yang dilakukan oleh Lenin di Rusia, dan menyejajarkannya dengan pola pengorganisiran suatu partai Islam borjuistik (baca: PKS), diapresiasi oleh Martin Suryajaya dengan penalaran filosofis yang berbelit-belit. Dalam tulisannya, Lenin, PKS dan Realisme, Martin terlihat sedang mencari pembenaran dari buku Lenin – Materialism and Empirio-Criticismuntuk memberi sentuhan filsafat pada tulisan Ragil yang kasar; untuk membangun opini pembaca bahwa kritik Ted Sprague atas Ragil adalah keliru; dan juga untuk mencari pengakuan bahwa Ragil adalah seorang realis, atau – meskipun bukan orang yang betul-betul memahami ide-ide Lenin – setidaknya, orang yang mampu mempraktikkan realisme Lenin di lereng Merapi.

Ragil benar-benar tidak memahami maksud Lenin, dan tepat sekali jika Ted Sprague memberinya cap sebagai sang pencolek ide yang kasar dan vulgar. Di dalam tulisannya yang dipublikasikan oleh sebuah jurnal online, Indoprogress, Ragil menulis:

“Bagi yang alergi kekuasaan, ada karya Lenin yang ditulis setelah revolusi Oktober 1917: Komunisme ‘Sayap Kiri’: Suatu Penyakit Kekanak-kanakan. Risah ini ditulis untuk mengatasi jalan buntu ketika situasi tak revolusioner. Saat gelombang revolusi menerjang, dengan mudah orang akan mengangkat tangan kiri. Bila situasi sebaliknya, satu persatu akan meninggalkan perjamuan. Tapi bukan berarti tak terpecahkan. Dalam situasi yang biasa-biasa saja, Lenin menekankan pentingnya partai komunis mengambil strategi bekerjasama dengan kekuatan lain. Dan, bila memungkinkan ikut ambil bagian dalam pemerintahan yang berbasis luas. Artinya, tinggalkan molotov dan batu, untuk kemudian ambil bagian dalam kekuasaan.”

Pada kalimat tengah, “... Dalam situasi yang biasa-biasa saja, Lenin menekankan pentingnya partai komunis mengambil strategi bekerjasama dengan kekuatan lain....”, telah menunjukkan ketidaktahuannya akan maksud Lenin. Baca Selanjutnya

Lenin, PKS dan Realisme

Kritik atas Kritik Ted Sprague atas Ragil Nugroho

DALAM tulisannya, PKS dan Lenin, Ragil Nugroho mengangkat sebuah wacana yang mengagetkan bagi sebagian aktivis-pemikir Marxis. Ia menunjukkan bagaimana, pada periode pasca-Reformasi, kemerosotan gerakan Kiri yang berbanding terbalik dengan penguatan gerakan Kanan, justru disebabkan karena metode analisis politik Leninis telah ditinggalkan oleh gerakan Kiri dan diadopsi dengan sukses oleh gerakan Kanan. Inti dari metode tersebut adalah, seperti ditulis Ragil, ‘bekerja pada alam nyata’: berangkat dari asumsi yang sesuai dengan kenyataan yang ada, betapapun kenyataan tersebut terkesan remeh-temeh dan ‘tidak revolusioner’ di mata kader. Metode analisis politik Leninis inilah yang ditinggalkan oleh gerakan Kiri dan justru terwujud dalam strategi PKS. Ini nampak seperti dalam pernyataan kader PKS yang dikutip Ragil: ‘Mari kita perbaiki jalanan berlubang dan sediakan sanitasi yang bagus sebelum berpikir memaksakan perempuan berkerudung.

Tulisan itu menuai kritik dari Ted Sprague yang mengecamnya, dalam PKS Bukan Lenin, sebagai ‘Reformis’ dan bahkan—lagi-lagi—‘Stalinis.’ Bagi Ted, kritik Ragil atas gerakan Kiri, yang dianggap telah melupakan Lenin, justru berakibat ‘memerosokkan banyak orang’ ke dalam Ekonomisme. Karena Ragil menekankan pentingnya politik Kiri yang membumi pada persoalan sehari-hari, Ted menganggapnya membawa kecenderungan oportunis yang membuat gerakan terhenti pada isu-isu ekonomis (seperti persoalan upah, jaminan keamanan kerja, dll) dan abai pada dimensi politisnya, yakni pentingnya menanamkan kesadaran komunis pada massa. Dengan berbekal montase kutipan dari Lenin, Ted mau memperlihatkan adanya kecenderungan kontra-revolusioner dalam tulisan Ragil, yaitu bahaya terjatuh ke dalam reformisme yang menegasi potensi revolusi. Akhirnya, Ted mengindikasikan bahwa implikasi lanjutan dari posisi Ragil adalah jatuhnya gerakan pada politik pengambil-alihan negara dan tidak mendestruksi bentuk-negara itu sendiri. Padahal apa yang seharusnya diperjuangkan oleh kelas proletar adalah, dalam ungkapan Ted, “membentuk sebuah pemerintahan buruh yang baru dan sungguh berbeda.’ Dengan kata lain, Ragil seperti Stalin: melanggengkan bentuk-negara itu sendiri. Tepatnya, seperti ‘kaum Stalinis yang zig-zag, yang banting stir ke kiri dan kanan.’ Baca Selanjutnya

Rabu, 11 Mei 2016

PKS Bukan Lenin

Sudah terlalu sering kita temui mereka-mereka yang mencolek Marxisme dan Leninisme untuk menambal pemikiran mereka yang bolong-bolong, dengan harapan kalau kilau Marxisme-Leninisme bisa membuat pemikiran mereka yang dangkal dan membosankan semakin menarik, atau justru menyilaukan mata kita dari buruknya gagasan mereka. Eduard Bernstein, bapak Sosial Demokrasi dan Reformisme, adalah satu figur yang begitu pandainya bermain-main dengan Marxisme untuk membenarkan Reformismenya. Tidak berani secara terus terang mengedepankan gagasan Reformismenya, ia meminjam ujar Marx dan Engels.

Ragil Nugroho dalam “PKS dan Lenin”nya melakukan hal yang serupa, tetapi akan tidak adil bagi Bernstein bila kita menyandingkannya dengan Nugroho. Colekan Nugroho kasar dan vulgar, yang di lain pihak membuat tugas saya menjawabnya begitu mudah. Namun tidak akan saya anggap sepele tulisannya, karena di dalamnya terkandung banyak pelintiran dan jebakan yang bisa memerosokkan banyak orang yang belum pernah membaca – atau hanya membaca setengah-setengah – karya Marx, Engels, dan Lenin.

Apakah masalahnya begitu sepele seperti yang dikemukakan oleh Ragil? Bahwa ini hanya masalah antara mana yang bertahan dan mana yang tersungkur? Bila demikian, Marxisme telah tersungkur berkali-kali, dan bahkan mengalami kekalahan telak yang membuat tidak sedikit para pejuang rakyat menyerah dan menerima keabadian kapitalisme. Kita memegang teguh Marxisme dan perjuangannya bukan karena ia telah bertahan dan menang, tetapi justru karena pemahaman akan gerak sejarah. Ketika Uni Soviet jaya, tidak sedikit orang-orang yang menjunjung tinggi Marxisme setelah fakta kemenangannya, tetapi beramai-ramai meninggalkannya ketika Uni Soviet tersungkur. Mereka-mereka inilah yang menjadi tulang punggung kaum birokrasi Uni Soviet, yang sebelum Revolusi Oktober skeptis terhadap – dan bahkan menentang – revolusi sosialis, dan setelah kemenangan Revolusi Oktober membanjiri Partai Bolsheviknya Lenin dan negara buruh Uni Soviet. Dengan pemahaman dangkal mereka, yang hanya pintar menerima fakta setelah ia terjadi, Marxisme hanya jadi alat pembenaran prasangka-prasangka mereka dan bukan sebagai metode analisa gerak sejarah. Kebijakan kaum Stalinis yang zig-zag, yang banting stir ke kiri dan kanan, adalah hasil dari empirisisme vulgar mereka, yang menerima fakta hanya setelah ia terjadi, tanpa bisa menjelaskan apa-apa. Baca Selanjutnya

Selasa, 12 April 2016

Ode untuk Trotsky

Banting stir ke kiri, banting stir ke kanan; inilah karakter utama dari Stalin dan para pengikut dan pemujanya. Tidak terkecuali Pablo Neruda, tidak terkecuali Ragil Nugroho. Pada masa kejayaan Stalin, Neruda menghamba-hamba pada Stalin. Setelah Krushchev mengutuk Stalin, ia pun segera berayun ke mana angin menghembus. Ia campakkan fanatismenya terhadap Stalin, dan dengan menyesal mengatakan bahwa ia juga telah memainkan peran dalam membangun kultus individu Stalin.

Tetapi berbahagialah Stalin di liang kuburnya ketika, jauh dari Kremlin, di Lereng Merapi ada seorang yang sampai hari ini masih menjunjungnya begitu tinggi. Tahun 2012 ditutupnya dengan persembahan untuk Stalin: “Ode untuk Stalin”.

Aksi perampokan bank Stalin digambarkan oleh Ragil sebagai peran besarnya dalam Bolshevik, dan dipertentangkan dengan “Trotsky [yang] masih berkutat dengan teori-teorinya yang mandul itu.” Tidakkah Ragil tahu bahwa dua tahun sebelum perampokan bank oleh Stalin itu, yakni pada 1905, meledak sebuah Revolusi penting dimana Trotsky dipilih menjadi Presiden Soviet pertama oleh buruh-buruh St. Petersburg, yakni batalion utama proletar Rusia? Sedangkal itulah pemahaman Ragil mengenai revolusi, yang membatasi pertempuran revolusi pada perampokan bank oleh segelintir orang, sementara Trotsky dengan “teori-teorinya yang mandul itu” memimpin Soviet pertama dalam sejarah Rusia lewat pertempuran aksi massa buruh. Fakta penting yang belakangan ini luput dari perhatian Ragil, karena pada akhirnya Ragil sudah tidak tertarik lagi pada masalah revolusi tetapi tampaknya hanya tertarik pada penyerangan membabi-buta terhadap Trotsky dan pemikirannya. Baca Selanjutnya
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Cobalah Tengok

Dartar Isi