Tampilkan postingan dengan label Roy Murtadho. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Roy Murtadho. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 11 Februari 2017

Islam Rahmatan Lil Alamin Sebagai Senjata Teoritik Melawan Kapitalisme!

PADA kesempatan kali ini, kita masih akan melanjutkan pembahasan sebelumnya, perihal relasi Islam rahmatan lil alamin dan kapitalisme. Sebelumnya kita telah melihat Islam rahmatan lil alamin secara semantik dan mendudukkannya dalam konteks historis hari ini melalui kritik atas tendensi Liberalisme Islam yang mensejajarkan dan mengoperasikan Islam rahmatan lil alamin dalam sistem kapitalisme. Bahkan secara spesifik telah kita tunjukkan bahwa Islam rahmatan lil alamin tidak pernah bisa compatible dengan kapitalisme kapanpun dan dimanapun (fi kulli zaman wa makan). Maka tiba saatnya kini kita mulai suatu pengantar penyelidikan teoritik terhadap apa yang disebut dengan ‘kategori-kategori diskursif’ yang selama ini dianggap mapan (fixed) dalam diskursus pemikiran Islam Indonesia —terutama sekali pada proyek Pembaruan Pemikiran Islam selama rentang waktu empat dekade terakhir ini, yang mendapati kebuntuan teoritiknya dalam Liberalisme Islam— sebagai jalan kelahiran pemikiran Islam Indonesia yang bersih dari residu liberalisme. Baca Selanjutnya

Sabtu, 17 Desember 2016

Aksi Bela Islam: Antara Bela Agama dan Bela Oligarki

Selain mengagetkan banyak pihak dengan massa yang demikian besar, ‘Aksi Bela Islam’ yang belakangan populer dengan sebutan aksi 411 dan 212 ini, tak pelak menyeret hampir sebagian besar umat Islam pada perdebatan yang sejak semula tidak produktif dan tidak menyentuh pokok persoalan yang dihadapi umat Islam Indonesia hari ini: mengenai absennya redistribusi keadilan dan minusnya pelayanan sosial bagi rakyat.

Pada tataran akan rumput, perdebatan telah berubah menjadi saling caci antarpendukung Rizieq dan Ahok. Para pendukung ‘Aksi Bela Islam’ menuding mereka yang tidak setuju atau tidak mendukung aksi sebagai kurang Islam. Sementara para penolak ‘Aksi Bela Islam’ menganggap aksi massa yang memobilisasi ratusan ribu orang untuk turun ke jalan, alih-alih membela Islam, justru merendahkan Islam dan tak lebih sebagai buang-buang energi umat Islam untuk hal yang tidak substansial dan remeh temeh. Bahkan, lebih jauh, sebagian besar para pengkritik ‘Aksi Bela Islam’ menganggap aksi massa sebagai bukan metode perjuangan Islam. Kedua cara pandang inilah yang menurut hemat saya perlu untuk ditanggapi secara serius oleh kalangan gerakan progresif-demokratik di Indonesia, sekaligus sebagai ikhtiar mendudukkan persoalan ‘Aksi Bela Islam’ tak sekadar persoalan teologis, melainkan membacanya sebagai dinamika pertarungan maupun konvergensi kepentingan antaroligarki dalam lanskap politik elektoral.

Disinilah pentingnya pandangan alternatif. Selain memberi pilihan cara pandang politik yang tak sekedar hitam putih, sekaligus, kedepan, bisa menjadi pembelajaran bagi publik, khususnya kaum muslim agar tidak mudah terombang-ambing dalam pusaran kepentingan elit oligarki yang saling bertikai, yang setitikpun tidak ada relevansinya dengan hak-hak politik dan ekonomi umat Islam Indonesia. Baca Selanjutnya

Sabtu, 26 November 2016

Shalat Berjamaah dan Relasi Sosial Komunisme

Apa simpul yang menautkan shalat jamaah dengan komunisme? Bukankah keduanya menempuh trayek yang berbeda, bahkan berseberangan dan bertabrakan? Aspek sosial pada shalat (khususnya yang dilaksanakan dengan berjamaah) dan komunisme yang mempertautkan keduanya. Komunisme terkait dengan beberapa kata berikut: ‘Common’ berarti umum atau sesuatu yang dimiliki atau digunakan bersama-sama. ‘Communal’ berarti sesuatu yang berhubungan dengan yang umum, misalnya, pada masa dahulu di Nusantara sebagian besar tanah dimiliki dan dikelola secara bersama-sama (communal land); ‘Commune’ berarti kelompok yang hidup bersama; ‘Communion’ (komuni) yang berarti kerukunan dan hubungan erat satu dengan yang lain; ‘Community’ (koinoia) berarti masyarakat, persamaan dan himpunan. Terang, secara bahasa komunisme berhubungan dengan kegiatan positif-aktif membangun komunitas bersama, yang dalam bahasa Al-Syatibi dalam Maqasid al-Syari'ah (tujuan syariah), sebagai instrumen menuju kemaslahatan bersama. Jadi, secara sedarhana komunisme bisa dilihat sebagai tindakan sosial kolektif, di mana solidaritas dan persaudaraan dijunjung tinggi diatas segala-galanya.

Lebih dari pengertian bahasa, Alain Badiou dalam interview pada L’Humanite, sebuah koran Partai Komunis Prancis, mengingatkan bahwa ‘hipotetis komunisme adalah hipotetis emansipasi’. Artinya, intrinsik dalam kata komunis adalah praksis untuk emansipasi. Jadi, bukan komunis jika tidak emansipatif.

Sayangnya, pengertian positif-aktif-emansipatif komunisme dipropagandakan oleh kaum rekasioner secara negatif-pejoratif sebagai suatu penganjuran kekerasan. Propaganda anti komunisme sebenarnya tak lain sebagai cara membungkam rakyat agar tidak berhimpun dan bersolidaritas dalam memperjuangkan keadilan dan kebahagiaan. Agar rakyat tidak berjamaah pada semua aspek kehidupan.

Ada banyak ayat dalam Al-Qur’an yang berjiwa komunis, yang menganjurkan kerjasama, solidaritas, persaudaraan, pengorbanan dan nilai-nilai luhur kolektivisme lainnya. Baca Selanjutnya

Jumat, 25 November 2016

Agama Dunia: Kritik Terhadap Tafsir Agama Anti Massa-Rakyat

Dalam semesta teoritik, salah satu argumen materialis terhadap agama ini berkembang di dalam tradisi Marxisme yang berasumsi bahwa sejak kemunculannya di dunia, manusia tidak dimotivasi oleh ide-ide besar (apalagi soal surga dan neraka). Tetapi oleh kebutuhan materi yang sangat dasar (basic need), keperluan-keperluan dasar untuk kelangsungan hidup. Karena setiap manusia membutuhkan makanan, pakaian, dan tempat berteduh. Setelah kebutuhan ini terpenuhi, yang lain, seperti dorongan seksual, menyusul. Dari reproduksi kemudian terbentuklah keluarga dan komunitas, yang dorongan utamanya masih menciptakan kebutuhan dan tuntutan materi yang lain. Semua kebutuhan materi ini kelak, sebagaimana dikatakan Marx, dapat dipenuhi oleh manusia karena manusia mengembangkan ‘cara produksi’.

Meski selintas terlihat reduksionis, apa yang bisa dipetik dari argumen materialis atas problem onto-teologis di muka? Sebagaimana sebelumnya sudah saya singgung. Ini mengingatkan kita bahwa seluhur apa pun agama, ia selalu terjebak oleh yang material karena itu agama adalah drama kehidupan manusia itu sendiri. Maka menempatkan agama di luar problem manusia dan dunianya adalah ahistoris dan mengada-ada.

Dalam perdebatan seperti ini, bagi kita kaum beriman, baiknya, memposisikan diri sebagai seseorang yang disebut oleh Amin Abdullah sebagai (muarrikh) yaitu seorang pembaca yang kritis ketimbang sebagai seorang believer.

Faktanya agama tak pernah bisa keluar dari sejarah yang material. Dan justru karena agama tak pernah bisa berada di luar yang material, maka agama harus bicara mengenai yang material. Dengan ini, agama tak boleh mengelak dari problem manusia di dunia karena agama selalu dimungkinkan oleh manusia. Maka kalau agama mengelak dari problem manusia dan kehidupan ini untuk sekadar mengejar keselamatan di dunia seberang sana, selain makin menunjukkan absurditas agama, juga tengah mencabut peran historis agama di dunia. Baca Selanjutnya

Kamis, 24 November 2016

Agama Sebagai Komoditas: Musibah Atau Berkah?

Sebagaimana kita tahu, dalam relasi sosial kapitalisme dan logika akumulasi kapital tak ada satu pun hal di dunia ini yang tidak dijadikan sebagai komoditas. Dulu, air yang oleh Adam Smith bukan dianggap sebagai komoditas misalnya, saat ini kita temukan air menjadi komoditas yang dipertukarkan dengan komoditas lainnya atau diperdagangkan untuk mendapatkan keuntungan. Persis sama dengan agama, khususnya Islam. Dulu di zaman Nabi dan para sahabat, Islam dijadikan sebagai jalan menuju Allah sekaligus jalan perjuangan pembebasan manusia dari kondisi-kondisi yang membelenggunya. Namun sekarang, sebaliknya, sebagian besar agama justru dijadikan sebagai alat membelenggu manusia.

Agama diperdagangkan tak ubahnya sabun colek, obat gosok atau obat panu oleh para elit agama untuk mendulang keuntungan sebanyak-banyaknya. Dari situ agama dijadikan sebagai selubung penghisapan dan menjadi stempel pembenar kebejatan.

Sedemikian, kritik Marx terhadap agama sebagaimana dalam “Critique on Hegel’s Philosophy of Right” yang menganggap agama sebagai candu tak bisa dianggap sebagai sepenuhnya keliru. Justru kritik Marx ini bisa membantu kaum beragama mampu beragama dengan kritis dan tanpa perlu menggadaikan akal sehatnya. Berikut kutipan lengkapnya:

Jumat, 25 Desember 2015

Wijaya Herlambang Dalam Kenangan Pemuda Islam Kiri

BEBERAPA hari setelah kepergian Wijaya Herlambang, kawan Martin Suryajaya menuliskan obituari yang bertenaga dan tak biasa sebagaimana umumnya sebuah obituari. Di sana Martin membabarkan tugas maha berat bagi gerakan kiri untuk melanjutkan apa yang sudah dikerjakan oleh Wijaya melalui karya terkenalnya “Kekerasan Budaya Pasca 1965”. Untuk hal ini kita semua—yang mengaku kiri—bersepakat dengan Martin. Begitupun dengan saya. Baca Selanjutnya
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Cobalah Tengok

Dartar Isi