Tampilkan postingan dengan label Quraish Shihab. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Quraish Shihab. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 21 Januari 2017

Quraish Shihab: Pesan Semua Agama Adalah Mencari Kedamaian

Sejumlah habib saat ini menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat di Tanah Air. Terutama, adanya pro dan kontra mengenai kiprah mereka.

Lalu, bagaimana sebenarnya makna habib? Menurut ulama Muhammad Quraish Shihab, habib adalah gelar yang diberikan kepada orang-orang tertentu.

"Gelar (habib) itu datang dari masyarakat, bukan dari sang habib," ucap Quraish Shihab saat berbincang dengan tim Liputan6.com di kediamannya, Jakarta, beberapa hari lalu.

Menurut Menteri Agama ke-16 RI tersebut, gelar habib itu seperti halnya dengan kiai. "Pak kiai itu bukan yang berkata saya kiai, tetapi masyarakat yang memberi gelar bahwa orang ini wajar dinamai kiai."

"Dan gelar habib itu menurut segi bahasa mempunyai dua makna, yang mencintai dan dicintai. Jadi tidak cukup dicintai, jadi harus pula mencintai," tutur mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut.

Pada mulanya, imbuh Quraish, ada tiga syarat yang harus dimiliki seorang habib. Yaitu, keturunan Nabi Muhammad SAW atau Rasulullah, berilmu luas, dan berakhlak luhur.

Pesan Damai

Ulama kelahiran Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan itu pun mencermati gejolak yang terjadi di Indonesia, belakangan ini. Quraish Shihab yang kini genap berusia 72 tahun menilai, gejolak tersebut lahir dari sesuatu yang tidak menyenangkan. Karena ada yang tidak menyenangkan, maka lahirlah protes sehingga ada upaya untuk mengubah apa yang tidak baik menjadi baik. Baca Selanjutnya

Selasa, 17 Januari 2017

Pesan Quraish Shihab untuk Umat Muslim: Mari Cari Kedamaian

Kebhinekaan Indonesia sedang diuji. Sejumlah pihak dianggap tengah berupaya memecah belah bangsa mengatasnamakan agama.

Mantan Menteri Agama Muhammad Quraish Shihab menilai gejolak yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini lahir dari sesutau yang tidak menyenangkan. Karena ada yang tidak menyenangkan maka lahirlah protes sehingga ada upaya untuk mengubah apa yang tidak baik menjadi baik.

"Carilah sebabnya lalu kita perbaiki. Dalam konteks memperbaiki itu dalam agama dikatakan apabila Anda ingin memperbaiki sesuatu dengan mengambil suatu langkah tapi langkah Anda berdampak lebih buruk dari apa yang Anda alami, maka jangan lakukan itu," kata Quraish dalam wawancara khusus dengan Liputan6.com di kediamannya, Jakarta, Senin 16 Januari 2017.

"Jadi jangan sampai gejolak yang ada ini menjadikan kita berpecah belah, menjadikan negara kesatuan ini berantakan. Itu prinsip saya," imbuh ahli tafsir ini.

Menurut Quraish, selain berusaha memperbaiki, semua pihak hendaknya mengintrospeksi diri. Bila masing-masing pihak bertahan dengan argumennya, Indonesia bisa mengalami krisis seperti yang terjadi di Timur Tengah.

"Kita semua mempunyai tanggung jawab untuk memperbaiki apa yang bisa kita perbaiki. Membutuhkan introspeksi, dan juga kesadaran, dan boleh jadi yang keterlaluan membutuhkan ketegasan. Ketegasan itu bukan berarti membunuh, memukul. Kita sesuaikan dengan kondisi yang ada. Jangan sampai mengakibatkan sesuatu yang lebih parah," ungkap dia.

"Marilah kita kembali ke pesan semua agama, yaitu mari kita mencari kedamaian," Quraish memungkas.

Minggu, 01 Januari 2017

Pelajaran Berharga dari Mbah Moen, Gus Mus, dan Quraish Shihab

Di tengah-tengah krisis keteladanan, sebenarnya masih banyak ‘oase’ yang menjadi penyejuk dan penawar kedahagaan serta kerinduan umat akan contoh-contoh kebesaran hati ulama. Kesahajaan mereka jauh dari sorotan media, dan tetap tegar di tengah serangan sarkatik netizen di dunia maya.

Cerita yang dinukilkan Sekjen Ikatan Alumni Al-Azhar Indonesia (IAAI), Muchlis M Hanafi tentang kunjungan dan silaturahim tiga guru besar, yaitu Prof M Quraish Shihab, KH Maimoen Zubair (Mbah Moen), dan KH Mustofa Bisri mengajarkan kepada kita semua tentang banyak hal di antaranya kerendahhatian, penghormatan dan kecintaan terhadap ulama. Tiga hal tersebut serasa kian tergerus diterpa perilaku tak sedikit orang di media sosial yang kian tak beradab.

Berikut ini, kutipan penggalan kisah pertemuan tiga tokoh besar itu di sela-sela Seminar Nasional Tafsir Alquran yang dihelat PP al-Anwar, Sarang Rembang asuhan Mbah Moen beberapa waktu lalu yang diterima Republika.co.id:

Sisi Lain Kehidupan Kaum Santri

Tidak biasanya, di pojok ruang tamu kediaman Gus Mus yg sederhana dan bersahaja, tersedia tiga buah kursi dan meja. Semua tamu, tak terkecuali para pejabat, selalu diterima dengan lesehan.

Sore itu, Sabtu (24/12), agak berbeda. "Saya pinjam kursi ini dari tetangga", begitu seloroh Gus Mus menyambut Ustaz M Quraish Shihab (MQS), sambil mempersilakan MQS duduk di atas.

Gus Mus sendiri? Beliau lebih memilih duduk (ndesor) di bawah, seperti dalam gambar. Kalau tidak 'dipaksa' MQS, beliau pun enggan. "Kalau tidak mau duduk di sini, saya yang akan duduk di bawah", begitu kata MQS. Baca Selanjutnya

Sabtu, 31 Desember 2016

Kenapa Quraish Shihab Enggan Dipanggil Habib dan Kiai?

Banyak kalangan yang menilai, panggilan habib dan kiai seharusnya layak disandang Prof HM. Quraish Shihab. Secara silsilah dan keilmuan, tidak ada yang meragukan Penulis Tafsir Al-Misbah ini. Namun secara pribadi, Mufassir yang dikenal luas ini tidak mau dipanggil habib dan kiai. Kenapa?

Dalam buku Cahaya, Cinta dan Canda Quraish Shihab terbitan Lentera Hati yang ditulis oleh Mauluddin Anwar dan kawan-kawan, dijelaskan soal urusan habib dan kiai tersebut. Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) ini hanya mau dipanggil habib oleh cucunya saja, karena lebih cocok berdasarkan artinya.

Di kalangan Arab-Indonesia, habib menjadi gelar bangsawan Timur Tengah yang merupakan kerabat Nabi Muhammad SAW (Bani Hasyim). Khususnya dinisbatkan terhadap keturunan Nabi Muhammad melalui Sayyidatina Fatimah Az-Zahra yang menikah dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

Dalam Bahasa Arab, habib berakar dari kata cinta. Jadi habib berarti “yang mencintai” atau bisa juga “yang dicintai”. Tetapi kemudian maknanya berkembang menjadi suatu istilah, habib adalah orang teladan, orang baik yang berpengetahuan, dan seseorang yang mempunyai hubungan dengan Rasulullah.

Alasan kedua itulah yang membuat Quraish menolak dipanggil habib. Padahal, sebagai orang yang menghabiskan usia bergelut dengan ilmu pengetahuan, Quraish layak mendapat gelar itu. Quraish adalah profesor doktor bidang Ilmu Tafsir, hafal al-Quran, pernah jadi Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan mantan Menteri Agama. Tapi ia berkukuh tetap menolak. Semata-mata karena, “itu mengandung unsur pujian.”

Baginya, gelar habib tidak perlu diberikan kepada sembarang orang. Sebangun dengan gelar kesarjanaan, yang harus ada usaha untuk mendapatkannya, maka habib pun harus ada usaha, terutama dari akhlaknya. Baca Selanjutnya

Jumat, 30 Desember 2016

Quraish Shihab: Hormati Pendapat Tak Berarti Menerimanya

Pakar tafsir Al-Qur’an Quraish Shihab mengajak kalangan pesantren dan seluruh masyarakat untuk senantiasa menghormati perbedaan dan mengembangkan budaya Islam yang damai. Ia  menegaskan, menghormati pendapat yang berbeda bukan berarti menerimanya.

Ia menyampaikan hal itu saat berkunjung ke Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur, Senin (26/12), bersama keluarga besar Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) Jakarta. Forum dialog digelar di Aula Gedung Yusuf Hasyim Pesantren Tebuireng dan diikuti oleh ratusan kiai dan pengajar Al-Qur’an dari seluruh Jawa Timur.

"Kita hidup dalam masyarakat yang memiliki budaya yang sangat plural. Karena itu, semua pendapat yang berbeda, harus kita hormati. Dan, menghormati pendapat yang berbeda itu bukan berarti menerimanya," kata ayah dari presenter Najwa Shihab ini.

Quraish lalu mencontohkan bagaimana muslimah Indonesia zaman dulu hanya mengenakan kerudung yang diselempangkan di kepala, dan tetap menampakkan sebagian rambut mereka. Berbeda dengan jilbab yang dikenakan perempuan zaman sekarang, yang menutupi seluruh kepala.

Menurut dia, para ulama zaman dahulu membiarkan praktik tersebut bukan tanpa dasar. Pasalnya, setiap pemikiran dan praktik keagamaan tidak bisa dilepaskan dari budaya yang berlaku di masyarakat. "Pasti para ulama waktu itu mempertimbangkan konteks budaya yang berkembang di masyarakat," ujarnya.

Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an ini pun mengajak kalangan pesantren untuk menjadikan konteks budaya sebagai salah satu pertimbangan dalam pengembangan pemikiran dan studi Al-Qur’an. "Dalam konteks studi dan pengembangan nilai-nilai Al-Qur’an, jangan sampai penafsiran kita tidak sejalan dengan budaya yang berkembang di masyarakat," imbuhnya.

Meski demikian, menurut lulusan Universitas Al-Azhar Mesir ini, penghormatan terhadap perbedaan juga dibatasi pada budaya dan pendapat yang mengarah pada kedamaian. "Semua pendapat yang berbeda, dari mana pun datangnya, selama bercirikan kedamaian, harus kita hormati. Pendapat yang berbeda dengan kita, tapi tidak bercirikan kedamaian, (harus) kita tolak," tegasnya. Baca Selanjutnya

Kamis, 29 Desember 2016

Gus Mus: Quraish Shihab, Habib yang Alim dan Mengasihi

Mufassir kontemporer Indonesia Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab mengunjungi dua ulama senior di Kabupaten Rembang, KH. Ahmad ‘Gus Mus’ Mustafa Bisri dan KH. Maimoen Zubair (24/12). Seperti disampaikan Prof. Nadirsyah Hosen di akun facebooknya (25/12), selain silaturahmi, Quraish Shihab juga ingin meminta agar cucunya didoakan oleh kedua pengasuh pondok pesantren itu.

Quraish Shihab yang datang beserta keluarga itu pun disambut suka cinta oleh Gus Mus dan keluarganya. “Alhamdulillah, mendapat keberkahan dan kehormatan dikunjungi orang alim, mufassir Indonesia, Prof. Dr. K.H. Quraish Shihab bersama anak-cucu dan rombongan dengan oleh-oleh seabrek buku karya beliau,” kata Gus Mus di akun facebooknya (24/12) dengan mengunggah sejumlah foto pertemuan kedua keluarga.

Kedatangan pria peraih doktor “Summa Cum Laude” dari Al Azhar itu menjadikan Gus Mus teringat salah satu karya yang bertajuk “Cahaya, Cinta, dan Canda”. Di buku tentang Quraish Shihab ini, Gus Mus pernah memberi endorsment singkat.

“Melihat anggun dan karismanya saat menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur’an atau ketika memberikan tausiah keagamaan, plus seabrek gelar dan titelnya, orang mungkin mengira bahwa Prof. Dr. KH. Quraish Shihab bukanlah manusia biasa. Tapi sejenis elite – seperti kebanyakan ulama, cendekiawan, habib, dan ‘superstar’ lain – yang tinggal di menara gading,” kata Gus Mus mengutip endorsment-nya kala itu.

Pengasuh Ponpes Raudhatu Thalibin ini mengaku mengenal Quraish Shihab secara pribadi dimana – seperti diketahui – keduanya pernah menuntut ilmu di Al Azhar Mesir. Sedemikian, Gus Mus tak segan menyapanya dengan sebutan ‘Om Quraish’ yang baginya justru merupakan panggilan kehormatan.

“Ini panggilan penghormatan (dari) hampir semua kawan Indonesia di Mesir yang mengenalnya,” katanya. Baca Selanjutnya

Rabu, 28 Desember 2016

Gus Mus Berkisah Ihwal Pertemuannya dengan Quraish Shihab

Keluarga KH Ahmad Mustofa Bisri mendapat kunjungan mufassir tersohor Indonesia Prof HM. Quraish Shihab, Sabtu (24/12). Gus Mus mengungkapkan kegembiraanya mendapat kunjungan Quraish Shihab dan keluarganya.

Di tengah obrolan, Gus Mus bertanya kepada Fathi, salah seorang cucu Prof. Quraish Shihab, "Engkau memanggil apa kepada kakekmu ini?" tanya Gus Mus. Riwayat ini dia tuliskan di akun facebook miliknya, Senin (26/12).

"Kami memanggilnya Habiib," jawab Fathi. Gus Mus pun bertanya kepada cucunya, Eqtada Bil Hadi Muhammad, "Engkau tahu artinya habiib?" Cucunya yang pemalu itu hanya senyum-senyum. “Aku pun menjelaskan bahwa habiib itu artinya kekasih,” jelas Gus Mus.

"Habiib itu," tiba-tiba Mufassir kita yang sedang dibicarakan panggilannya itu menukas, "Mengikuti wazan fa'iil yang bisa bermakna faa'il, bisa bermakna maf 'uul. Jadi, habiib itu seharusnya dikasihi dan mengasihi. Tidak hanya mau dikasihi saja, tapi tidak mau mengasihi," terang Prof Quraish.

“Dan aku bersaksi saudaraku yang alim ini memang Habiib yang mengasihi. Tidak hanya dikasihi. Maka aku sedih ketika ada yang sengaja memlesetkan pengajiannya tentang apa yang bisa memasukkan orang ke sorga,” ujar Gus Mus.

Dan pemlesetan itu, lanjutnya, di sosmed tersebar --disebarkan orang-orang awam yang tidak ngaji dan tidak terbiasa tabayun-- menjadi fitnah. “Bukan menyedihi saudaraku yang pasti tidak mempersoalkan hal itu. Tapi terutama aku kasihan kepada mereka yang hanya karena kebencian buta, menyebarkan fitnah,” tutur Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang ini.

“Maka ketika berulang kali aku membaca orang menghujat penulis se-abrek buku keislaman ini dengan berdasarkan fitnah tersebut, akhirnya aku terpaksa menjawab salah satunya dengan menjelaskan ucapan dengan konteks yang sebenarnya,” imbuh Gus Mus. Baca Selanjutnya

Rabu, 20 April 2016

Menggali Nasihat Emas Quraish Shihab

Judul: Kumpulan 101 Kultum Tentang Islam
Penulis : M. Quraish Shihab
Penerbit : Lentera Hati
Cetakan: I, Februari 2016
Tebal : 634 halaman

Setiap Muslim tentu tidak boleh melupakan ajaran agamanya. Bahkan, seharusnya bisa terus menambah ilmu keagamaannya sehingga dapat meingkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.

Dalam upaya untuk meningkatkan ketakwaan umat Islam tersebut, ulama ahli tafsir terkemuka di Indonesia, M. Quraish Shihab, beberapa tahun belakangan ini telah memberikan siraman rohani melalui beberapa stasiun televisi di Indonesia. Dalam layar kaca tersebut, ia biasa memberikan kuliah umum (kultum) di setiap bulan Ramadhan dan hari-hari besar Islam. Baca Selanjutnya

Sabtu, 09 April 2016

Qur’an & Answer: 101 Soal Keagamaan Sehari-hari

Sesuai dengan misinya untuk membumikan nilai-nilai Al-Qur’an, Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) berupaya untuk turut menjadikan Al-Qur’an sebagai problem solver yang menjawab berbagai persoalan yang terjadi dalam masyarakat.

Buku ini merupakan kumpulan dari beberapa persoalan dan jawabannya menurut Al-Qur’an yang selama ini terpublikasikan dalam rubrik Qur’an & Answer di majalah online Alhamdulillah it’s Friday (alifmagz.com) yang berada di bawah naungan PSQ.

Dari sekian banyak persoalan yang dijawab oleh Dewan Pakar PSQ di alifmagz.com, dipilih 101 soal yang menyangkut permasalahan agama sehari-hari yang kemudian dikelompokkan menjadi lima bagian. Baca Selanjutnya

Kamis, 31 Maret 2016

Quraish Shihab Menjawab: Anak Menasihati Bapak

Tanya:
Bolehkah seorang anak menasihati orangtuanya dan apakah orangtua dapat berdosa terhadap anaknya?
Terimakasih atas penjelasan Bapak.
[Hamba Allah – via formulir pertanyaan]

Jawaban Lengkap M. Quraish Shihab:
Al-Qur'an surah al-'Ashr menekankan bahwa semua manusia berada dalam kerugian kecuali yang beriman, beramal saleh, serta saling mewasiati atau menasihati tentang kebenaran dan kesabaran. Jika demikian halnya, siapa pun hendaknya berusaha untuk memberi dan menerima nasihat, wejangan, dan semacamnya. Tidak terlarang bagi seseorang untuk menyampaikan kebenaran kepada ayahnya, atau menegurnya bila sang ayah keliru.

"Agama adalah nasihat," demikian sabda Nabi Muhammad saw yang sangat populer. Bahkan dalam al-Qur'an ditemukan bukan saja nasihat-nasihat Nabi Nuh, Ya'qub, dan Luqman kepada anak-anak mereka, tetapi juga "nasihat" Nabi Ibrahim as. kepada ayahandanya: "Ceritakanlah [hai Muhammad] kisah Ibrahim dalam al-Kitab [al-Qur'an] ini. Sesungguhnya dia seorang yang sangat jujur lagi seorang nabi. Ingatlah ketika dia berkata kepada bapaknya, ‘Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku kuatir kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan‘" [QS Maryam [19]: 41-45]. Baca Selanjutnya

Quraish Shihab Menjawab: Larangan-Larangan Itu

Dalam buku al-Fiqh 'Ala al-Madzahib al-Arba'ah [Fiqih Menurut Keempat Mazhab] dikemukakan: "Yang haram bagi seorang yang sedang dalam keadaan junub [termasuk menstruasi] untuk dia kerjakan adalah amalan-amalan keagamaan yang bersyarat dengan adanya wudhu, seperti shalat sunnah atau wajib."

Semua kita tahu bahwa tidak disyaratkan adanya wudhu untuk memotong rambut atau menggunting kuku. Dan atas dasar penjelasan di atas, kita dapat berkata bahwa tidak ada larangan [dalam arti haram] untuk membuang rambut yang rontok dan memotong kuku, seperti yang Anda tanyakan itu.

Boleh jadi pandangan ini timbul dari adanya kewajiban untuk memandikan seluruh anggota tubuh. Rambut yang rontok atau kuku yang dipotong dan terbuang, maka ia tidak termandikan lagi, dan karena itu mereka melarangnya. Saya pun –seperti Anda– tidak menemukan alasan keagamaan untuk pandangan ini, baik dari al- Qur'n maupun hadits Nabi saw. Boleh jadi yang melarangnya menduga bahwa badan manusia menjadi najis saat dia dalam keadaan junub.

Dugaan ini keliru. Nabi saw tidak mewajibkan bagi yang junub termasuk yang sedang datang bulan [menstruasi] untuk bersegera mandi. Ia baru harus mandi saat akan shalat, atau membaca al-Qur'an. Bahkan sebuah riwayat menyatakan bahwa Nabi Saw pernah berdiri untuk shalat berjamaah, tiba-tiba beliau teringat bahwa beliau belum mandi dan segera pergi mandi kemudian melaksanakan shalat. Demikian diriwayatkan oleh keenam perawi hadits utama [kecuali at-Tirmidzi] melalui sahabat Nabi, Abu Hurairah. Baca Selanjutnya

Quraish Shihab Menjawab: Yahudi dalam Al-Quran

Tanya:
Apakah yang disebut Yahudi dalam al-Qur’an menunjuk pada ras Yahudi? Apakah seseorang menjadi terkutuk bila memiliki darah Yahudi? Ataukah, yang dimaksud adalah sifat-sifat buruk yang harus dihindari manusia, dan tidak hanya ada dalam diri orang-orang kafir, tetapi bisa juga merasuk pada diri orang-orang beriman yang lengah? Bagaimana pendapat Bapak?
Hamba Allah

Jawaban Lengkap M. Quraish Shihab:
Kata Yahudi adalah nisbah kepada Yahûd. Kata ini digunakan untuk menunjuk kepada sekelompok orang dari keturunan Nabi Ishaq, putra Ibrâhîm as. Mereka dikenal juga dengan orang-orang Ibrani. Al-Qur’an menggunakannya untuk maksud itu, walaupun tidak selalu atau semua dari mereka pasti dijuluki dengan nama itu. Istilah lain yang sering juga digunakan al-Qur’an adalah al-Ladzîna Hâdû, Banî Isrâ’îl, dan Ahl al-Kitâb. Diperoleh kesan umum bahwa jika al-Qur’an menggunakan kata Yahûd, maka isinya adalah kecaman atau gambaran negatif tentang mereka. Ini berbeda halnya jika al-Qur’an menggunakan kata al-Ladzîna Hâdû, yang tidak selalu mengandung kecaman atas mereka. Dan jika ada kecaman atas mereka, maka ditegaskan bahwa hal itu ditujukan kepada “sebagian dari mereka” [QS al-Mâ’idah [5]: 41].

Perhatikan, misalnya, beberapa firman-Nya tentang kebencian orang-orang Yahudi kepada kaum Muslim [QS al-Mâ’idah [5]: 82], ketidakrelaan mereka kecuali kalau umat Islam mengikuti agama atau cara hidup mereka [QS al-Baqarah [2]: 120], dan pernyataan orang-orang Yahudi bahwa tangan Allah terbelenggu atau kikir [QS al-Mâ’idah [5]: 64]. Bandingkan kata Yahûd dengan al-Ladzîna Hâdû, yang menjelaskan bahwa siapa pun di antara mereka beriman dengan benar dan beramal saleh, maka mereka tidak akan mengalami rasa takut dan tidak pula akan bersedih hati [lihat QS al-Mâ’idah [5]: 69]. Baca Selanjutnya

Rabu, 30 Maret 2016

Quraish Shihab Menjawab: Shalat Arba‘în

Tanya:
Bagaimana sebenarnya persoalan shalat empat puluh kali [arba‘în] di Masjid Nabawi Madinah? Mohon penjelasan tuntas dari Ustadz, dan bagaimana sebaiknya sikap kita dalam hal itu? Sebab, sering kali pelaksanaannya dipaksakan sehingga menimbulkan kesulitan-kesulitan.

[Abdullah Mahmud – via formulir pertanyaan]

Jawaban Lengkap M. Quraish Shihab:

Tidak dapat disangkal bahwa amat banyak hadits Nabi saw yang menguraikan keutamaan Masjid Nabawi serta ganjaran shalat di masjid itu. Tetapi, hadits yang berbicara tentang ganjaran shalat empat puluh kali di masjid itu tidak ditemukan dalam al-Kutub as-Sittah atau al-Shihah as-Sittah [Enam Kitab Hadits Sahih atau Standar].

Memang, hadits tentang ganjaran shalat empat puluh kali [arba‘în] di Masjid Nabawi ditemukan dalam beberapa kitab hadits, tetapi semua merujuk kepada dua sumber, yakni kitab hadits Musnad Ahmad [jil. III, hlm. 155] karya Imam Ahmad bin Hanbal dan al-Mu'jam al-Awsath [jil. II, hlm. 32] karya ath-Thabari. Kedua sumber ini menyajikannya dengan satu jalur yang sama, yakni dari seseorang bernama al-Hakam bin Musa, yang –katanya– meriwayatkan dari 'Abd ar-Rahman bin Abu ar-Rijal, dari Nubayth bin 'Umar ['Amr], dari Anas bin Malik, dari Rasulullah saw yang bersabda, "Barang siapa mengerjakan empat puluh shalat di masjidku dan tidak ketinggalan satu shalat pun, maka tercatat baginya [dia memeroleh hak] pembebasan dari neraka, keselamatan dari siksa, dan terbebas dari kemunafikan." Baca Selanjutnya

Quraish Shihab Menjawab: Perbudakan dalam Islam

T:anya:

Saya belum pernah menemukan keterangan tentang penghapusan perbudakan dalam Islam, bahkan saya mendengar bahwa Islam mengatur hukum-hukumnya berdasarkan status seorang budak atau merdeka. Konon ada seorang ulama yang tidak mau tunduk kepada rajanya, karena dia mengetahui bahwa sang raja masih dalam status budak. Apa keutamaan orang yang memerdekakan budak?

Tanpa Nama

Jawaban Lengkap M. Quraish Shihab:

Tidak dapat disangkal bahwa perbudakan pada abad-abad yang lalu merupakan salah satu fenomena masyarakat umat manusia di seluruh dunia. Islam datang dalam situasi dan kondisi yang demikian juga. Namun dapat dipastikan Allah dan Rasul-Nya tidak merestui hal tersebut, walaupun dalam saat yang sama harus diakui pula bahwa al-Qur’an dan Sunnah tidak mengambil langkah drastis untuk menghapuskannya sekaligus.

Al-Qur’an dan Sunnah menutup semua pintu untuk berkembangnya perbudakan kecuali melalui peperangan, yakni tawanan perang, karena ketika itu demikianlah perlakukan negara-negara terhadap tawanan perangnya. Dalam hal ini al-Qur’an pun memberikan peluang untuk membebaskan mereka dengan tebusan atau tanpa tebusan –ini jelas berbeda dengan sikap umat manusia ketika itu. Baca Selanjutnya

Quraish Shihab Menjawab: Operasi Plastik

Tanya:

Bagaimana pandangan Islam tentang operasi plastik dengan tujuan mempercantik diri? Bolehkah menyambung rambut atau meluruskan gigi" Saya pernah mendengar bahwa semua itu terlarang. Bagaimana pendapat Bapak?

Admo – Jakarta Timur

Jawaban M. Quraish Shihab:

Pertanyaan Anda tentang operasi plastik dengan alasan kecantikan telah dibahas oleh ulama jauh sebelum kemajuan bidang kedokteran dan operasi plastik. Ulama-ulama kita masa lampau mengharamkan perubahan bentuk fisik manusia, lebih-lebih kalau hanya didasarkan pertimbangan kecantikan. Pengubahan itu dinilai sebagai tidak menerima ketetapan Allah. Bukankah, kata mereka, manusia telah diciptakan Allah dalam bentuk sebaik-baiknya? [lihat QS at-Tîn [95]: 5].

Dalil-dalil teperinci yang mereka kemukakan antara lain firman Allah dalam surah ar-Rûm [30]: 30, “… jangan lakukan/tidak dibenarkan perubahan dalam ciptaan Allah.” Juga surah an-Nisâ’ [4]: 119, yang menginformasikan sumpah setan, “… dan akan saya suruh mereka memotong telinga-telinga binatang ternak dan akan saya suruh mereka mengubah ciptaan Allah [lalu benar-benar mereka akan mengubahnya].” Baca Selanjutnya

Quraish Shihab Menjawab: Istri Bekerja dan Ancaman Cerai

Tanya:

Saya mohon kiranya bapak menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: Seorang istri bekerja sebagai pegawai biasa dari pukul 08.00 hingga 17.00 dengan penghasilan secukupnya, sedangkan suaminya adalah pemilik satu perusahaan lagi kaya karena warisan. Sang suami menuntut dari istrinya agar memberikan uang yang diperolehnya itu kepada suaminya untuk biaya hidup. Haruskah istri memenuhi kehendak suami? Selanjutnya, bagaimana hukumnya bila suami terus mengancam akan menceraikan, padahal istrinya enggan untuk dicerai karena takut kepada Allah dan takut melukai hati orangtua? Apakah salah sikapnya dan bagaimana pula sikap suami yang terus mengancam itu, namun tidak pernah melaksanakan ancamannya?

[Hamba Allah – via formulir pertanyaan]

Jawaban Quraish Shihab:

"Hendaklah [suami] yang memiliki kelapangan memberikan belanja menurut kemampuannya dan barang siapa dipersempit rezekinya maka hendaklah dia memberikan belanja dari apa yang Allah berikan kepadanya. Allah tidak akan memikulkan beban kepada seseorang kecuali apa yang Allah berikan kepadanya" [QS ath-Thalâq [65]: 7], demikian secara tegas dan jelas Allah meletakkan di atas pundak suami tanggungjawab memberikan nafkah untuk kebutuhan istri dan anak-anaknya.

Kewajiban suami membayar mahar kepada istri adalah lambang dari tanggungjawab tersebut, dan tanggungjawab memberi nafkah itu pulalah yang merupakan salah satu sebab sehingga kepemimpinan rumahtangga dan hak menceraikan diletakkan di pundak suami. Baca Selanjutnya

Jawaban Lengkap M. Quraish Shihab: Ihwal Pembelahan Dada Nabi Muhammad saw.

Tanya:

Sampai di mana kebenaran uraian tentang dibelahnya dada Rasulullah Saw, baik menjelang peristiwa Mi‘râj maupun ketika beliau masih kanak-kanak? Mohon penjelasan Ustadz.
Ida Yuliastuti – Depok, Jawa Barat

Jawaban Lengkap M. Quraish Shihab:
Kisah tentang dibedahnya dada Nabi Muhammad saw amat populer di kalangan umat Islam. Sayang, kesahihan sumber-sumbernya diperselisihkan dan perincian kandungannya berbeda pula. ‘Abdullâh putra Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad –sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsîr– meriwayatkan bahwa sahabat Nabi, Ubay bin Ka‘ab, menuturkan bahwa Abû Hurairah pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah hal pertama yang engkau alami menyangkut kenabian?” Rasulullah Saw menjawab, “Aku berada di padang pasir dan umurku ketika itu sepuluh tahun dan beberapa bulan. Tiba-tiba aku mendengar suara di atas kepalaku, [dan kulihat] ada seseorang berkata kepada seorang lainnya, ‘Apakah dia?’ Kedua orang itu lalu menghadap kepadaku dengan wajah yang belum pernah kulihat sebelumnya, dengan keharuman yang belum pernah kudapatkan dari satu makhluk pun sebelumnya, dan dengan pakaian yang belum pernah kulihat dipakai seseorang sebelumnya. Mereka berdua menghampiriku hingga memegang bahuku, tetapi aku tidak merasa dipegang. Lalu, salah seorang berkata kepada temannya, ‘Baringkanlah!’ Mereka berdua membaringkanku tanpa menarik [dengan keras] dan tidak juga mematahkan. Salah seorang berkata kepada temannya, ‘Belahlah dadanya!’ Ia memegang dan membelah dadaku. Temannya berkata, ‘Keluarkanlah kedengkian dan iri hati!’ Ia mengeluarkan sesuatu seperti segumpal darah dan membuangnya. Kemudian temannya berkata, ‘Masukkanlah kasih sayang dan rahmat!’ Maka, kulihat serupa apa yang dikeluarkannya bagaikan perak, ….’” Tidak sedikit ulama yang menilai hadits ini sebagai lemah [dha‘îf]. Baca Selanjutnya

Jawaban Lengkap M. Quraish Shihab: Doa dan Tawakkal

Tanya:

Dalam setiap usaha, kita dianjurkan untuk bertawakkal kepada Allah swt. Namun kita sering kecewa jika tidak berhasil. Yang ingin saya tanyakan sampai sejauh mana kadar tawakkal kita, dan bagaimana bertawakkal dengan baik, karena sering kata tersebut dipahami dalam arti tidak berdaya dan pasrah.
 
Muhammad Affan Alfaiz – Kebayoran Lama Utara, Jakarta

Jawaban Lengkap M. Quraish Shihab:
Kata tawakal [Indonesia, Arab: tawakkul] terambil dari kata wakala yang juga seakar dengan kata wakîl. Perintah bertawakkal sama maknanya dengan firman-Nya, Jadikanlah Dia wakîl [QS al-Muzzammil [73]: 9].

Apabila seseorang mewakilkan orang lain, maka dia telah menjadikannya sebagai dirinya sendiri dalam persoalan tersebut, sehingga sang wakil melaksanakan apa yang dikehendaki oleh yang menyerahkan kepadanya perwakilan. Menjadikan Allah sebagai wakil, atau bertawakkal kepada-Nya berarti menyerahkan kepada Allah segala persoalan. Dialah yang berkehendak dan bertindak sesuai dengan “kehendak” manusia yang menyerahkan perwakilan itu.

Makna ini dapat menimbulkan kesalahpahaman jika tidak dijelaskan lebih jauh, seperti kesalahpahaman mereka yang menduga bertawakkal adalah pasrah dan tidak berdaya. Harus diingat bahwa keyakinan tentang keesaan Allah berarti, antara lain, bahwa Dzat, sifat, dan perbuatan-Nya Esa sehingga ketiganya –Dzat, sifat, dan perbuatan– tidak dapat dipersamakan dengan perbuatan manusia, walaupun penamaannya mungkin sama. Baca Selanjutnya

Jawaban Lengkap M. Quraish Shihab: Simpan-Pinjam

Tanya:

Saya ingin menanyakan berkenaan dengan muamalah dalam Islam. Saya pernah terlibat dalam masalah pembiayaan simpan-pinjam berdasarkan syariat Islam. Salah satu cara yang saya tahu tentang pembiayaan tersebut adalah dengan melakukan ba‘i bî ats-tsaman alâjil. Bagaimana jika saya membeli barang si A, kemudian pada saat itu juga saya jual barang itu kepadanya dan di antara kami ridha sama ridha. Apakah hal ini dibolehkan?
 
Tabah R. – Bogor

Jawaban Lengkap M. Quraish Shihab:

 
Al-ba‘i bî ast-tsaman al-âjil [menjual sesuatu dengan harga utang] dibenarkan dalam pandangan ulama, tetapi terdapat perbedaan pendapat menyangkut contoh yang saudara berikan, yaitu apabila akad jual beli dijadikan cara untuk memperoleh satu keuntungan yang tidak dibenarkan agama.

Untuk jelasnya, saya rumuskan kembali pertanyaan Anda, si B membeli dari si A satu barang, katakanlah dengan harga seratus ribu rupiah, dengan perjanjian akan dibayar oleh si B setelah sebulan.

Kemudian, pada saat yang sama, si A membeli kembali barang itu dari si B secara tunai dengan harga delapan puluh ribu rupiah [sehingga si B memperoleh uang tersebut dan berkewajiban membayar utangnya yang seratus ribu itu bulan depan]. Bagaimana hukum jual beli ini? Baca Selanjutnya
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Cobalah Tengok

Dartar Isi