Tampilkan postingan dengan label Muhidin M. Dahlan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Muhidin M. Dahlan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 15 Desember 2016

Kini Jadwal Umat Islam Beraksi, yang ‘Kiri’ Kapan Konser?

Dan, retakan (kecil) itu pada akhirnya keluar dari lidah api Gubernur Basuki Tjahaja Purnama. Ucapan Al-Maidah itu adalah retakan kecil yang melahirkan mobilisasi massa jutaan orang di Jakarta dan beberapa kota lainnya di Indonesia. Bahkan, aksi massa itu hadir secara serial.

Anda tahu, sejak penggulingan kekuasaan 1998 lewat aksi demonstrasi, tak ada mobilisasi massa sebesar ini. Sialnya, mobilisasi seakbar ini dilakukan umat Islam, dan bukan orang-orang “kiri” atau yang memiliki arsiran pandangan yang sama (baca: kelompok kidal).

Alih-alih mau menahan diri atau paling tidak melakukan refleksi ke dalam, kelompok yang kini bekerja paruh-waktu dalam simpul-simpul kecil kekuasaan ini terus-menerus melakukan ejekan dan insinuasi terhadap aksi massa ini di lini masa media sosial.

Macam-macam bentuk insinuasi itu yang pada pokoknya tak ada yang benar dengan aksi serial umat itu. Semua dicari kesalahannya. Bahkan, ada teriakan melarang agama dibawa-bawa ke politik. Bablas.

Islam itu sepanjang abad 20 adalah Islam Politik. Jika “organisasi Islam modern” di Indonesia dipatok bermula dari Sarekat Islam, maka maujudnya adalah Islam Politik, yakni Islam yang selalu melakukan negosiasi dengan kekuasaan kolonial. Dan, pada suatu kali bentrok dan saling memakan, tapi di lain kesempatan bisa saling memakai dan menunggangi.

Namun, sejarah mobilisasi Islam gigantis, ya, tak jauh-jauh dari isu “retakan kecil” sebagaimana yang terjadi tahun 2016 ini. Isunya berputar di sekitar ini saja: penistaan agama dengan beberapa turunannya: menggambar/menghina Kanjeng Nabi, masuk masjid tanpa sepatu, serta isu nabi palsu dan ajaran sesat.

Ayo, lihatlah 20 ribu massa Sarekat Islam dari Surabaya digiring meng-grudug Solo lantaran satu paragraf tulisan—SATU PARAGRAF—di halaman depan koran Djawi Hisworo tahun 1918. Dan subjek yang usil menulis itu ya wong-wong Sarekat Islam juga (SI Surakarta). Baca Selanjutnya

Jumat, 02 Oktober 2015

Penyair dan Matinya Seorang Petani

depan kantor tuan bupati/tersungkur seorang petani/karena tanah/karena tanah/…/dia djatuh/rubuh/satu peluru/dalam kepala.

Penggalan puisi di atas adalah puisi yang ditulis tahun 1961 oleh Agam Wispi dengan judul “Matinja Seorang Petani”, yang kemudian dijadikan judul buku antologi oleh penerbit Bagian Penerbitan Lembaga Kebudajaan Rakjat. Artinya, puisi di atas sudah berumur setengah abad lebih, tapi suaranya masih seperti di pekan terakhir September ketika desa Selok Awar-Awar, Pasirian, Lumajang, Jawa Timur, berada dalam bara ketegangan. Lihat Selengkapnya
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Cobalah Tengok

Dartar Isi