Tampilkan postingan dengan label Indoprogress. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Indoprogress. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 11 Februari 2017

Islam Rahmatan Lil Alamin Sebagai Senjata Teoritik Melawan Kapitalisme!

PADA kesempatan kali ini, kita masih akan melanjutkan pembahasan sebelumnya, perihal relasi Islam rahmatan lil alamin dan kapitalisme. Sebelumnya kita telah melihat Islam rahmatan lil alamin secara semantik dan mendudukkannya dalam konteks historis hari ini melalui kritik atas tendensi Liberalisme Islam yang mensejajarkan dan mengoperasikan Islam rahmatan lil alamin dalam sistem kapitalisme. Bahkan secara spesifik telah kita tunjukkan bahwa Islam rahmatan lil alamin tidak pernah bisa compatible dengan kapitalisme kapanpun dan dimanapun (fi kulli zaman wa makan). Maka tiba saatnya kini kita mulai suatu pengantar penyelidikan teoritik terhadap apa yang disebut dengan ‘kategori-kategori diskursif’ yang selama ini dianggap mapan (fixed) dalam diskursus pemikiran Islam Indonesia —terutama sekali pada proyek Pembaruan Pemikiran Islam selama rentang waktu empat dekade terakhir ini, yang mendapati kebuntuan teoritiknya dalam Liberalisme Islam— sebagai jalan kelahiran pemikiran Islam Indonesia yang bersih dari residu liberalisme. Baca Selanjutnya

Rabu, 11 Januari 2017

Melawan Sistem Registrasi Parpol di Indonesia: Perbandingan dengan India dan Eropa

SEPERTI halnya di negara demokrasi nan beradab lainnya, partai politik telah menjadi alat bagi kaum pergerakan kita untuk memperjuangkan kepentingan publik. Di masa penjajahan Belanda, berbagai partai politik dibentuk tanpa menghiraukan larangan pemerintah kolonial. Banyak yang terang-terangan memperjuangkan Indonesia merdeka, tapi tak sedikit yang bertekad lebih jauh lagi dengan melawan kapitalisme. Dan saat Dewan Rakyat (Volksraad) dibuat pemerintah kolonial Belanda sebagai lembaga perwakilan wilayah jajahan, sebagian parpol itu ikut menempatkan para legislatornya untuk menjalankan fungsinya memperjuangkan kepentingan masyarakat tersebut. Dengan kata lain, berjuang melalui parpol adalah hal yang normal bagi aktivis pergerakan, baik moderat maupun radikal, kiri maupun kanan.

Setelah diselingi masa pelarangan parpol oleh penjajah Jepang, situasi itu berlanjut setelah proklamasi kemerdekaan hingga munculnya Orde Baru. Sayangnya, hal itu jauh berubah saat ini. Mayoritas aktivis, terutama yang kiri, bukan cuma meninggalkan ide berpartai, tapi juga melecehkannya. Golput terus (di)lestari(kan), bahkan Pemilu diboikot. Akibatnya, parpol maupun keluarannya – terutama anggota DPR – disesaki oleh para oportunis dan perampok dana publik. Dan kenyataan itu semakin membuat parpol dilecehkan. Makin paripurnalah lingkaran setan itu.

Tentu saja sikap anti parpol ini sangat wajar dan mudah dimengerti, terutama mengingat busuknya sistem kepartaian ala Orde Baru. Adalah realita bahwa parpol-parpol yang ada saat ini lebih mewakili kepentingan kelompok mereka ketimbang masyarakat banyak. Namun sangat disayangkan bila sikap tersebut juga mengikis kepercayaan perlunya parpol baru sebagai pilihan alternatif bagi parpol busuk tersebut. Di samping itu, tradisi perjuangan melalui parpol yang menjadi ciri khas kaum pergerakan sejak satu abad lalu turut terhapus begitu saja. Meski perlu dicatat bahwa ada saja kelompok-kelompok yang tetap mau berjuang memunculkan parpol baru tersebut. Tapi tantangan mereka sungguh dahsyat, baik dari dalam kalangan aktivis kiri sendiri maupun dari rezim oligarki partai yang ingin memelihara status quo. Baca Selanjutnya

Senin, 19 Desember 2016

Gol Yang Dicetak Boaz

GOL.

Eksekusi penalti sukses. Indonesia unggul 2-1. Lalu Boaz Salossa berlari ke arah tribun di mana presiden Jokowi duduk. Dengan gaya mirip Balotelli, ia membuka seragam dan memamerkan kaos bertuliskan ‘Free West Papua!’.

Saat itu, kamera-kamera utama berebutan mencari sorot paling strategis. Lalu di layar besar di dalam stadion, adegan kaos terangkat itu diputar berulang kali. Dengan gerak lambat. Orang-orang menatap tidak percaya. Penonton di stadion, di kafe-kafe dan di rumah terhenyak dan kehilangan kata-kata. Komentator spekulan yang dibayar mahal oleh tivi cuma bisa menelan ludah. Setiap orang Indonesia yang menonton kemudian mengalami terapi kejut level paripurna. Antara percaya dan bermimpi. Di batas yakin dan ketidakmungkinan yang terlalu dominan.

Kemudian di barisan penonton, tampak satu dua orang mengibarkan Bintang Kejora.

Di samping Jokowi, para pejabat negara saling berbisik dengan gusar. Radio telekomunikasi polisi sibuk dengan lalu lintas perintah. Di pintu keluar stadion, beberapa tentara langsung berjaga. Lengkap dengan senapan. Petugas water canon langsung siap di balik kemudi. Mesin dipanaskan. Barracuda merapat dan polisi anti huru-hara segera apel singkat. Perangkat perang dikenakan. Penutup kepala, pentungan, jaket tebal dan sepatu lars.

Tito Karnavian, mantan Kapolda Papua bertangan besi, segera memberi perintah. Semua yang cukup waras pasti tahu bahwa situasi sedang tegang.

Wasit meniup peluit. Penonton bubar dengan perlahan. Tiap orang tampak hati-hati.

Usai pertandingan, para jurnalis mengerubungi Alfred Riedl. Semua penasaran. Pertanyaan datang bergelombang, seperti Laut Aru di bulan Desember.

Boaz, yang malam itu diberi kehormatan sebagai kapten tim nasional juga dikejar untuk wawancara singkat. Tapi, laki-laki asal Sorong ini bergegas ke ruang ganti. Seperti para leluhurnya, para pemburu ikan di danau Ayamaru, ia menutup mulut. Berselibat dengan kebisuan. Sementara di belakangnya, Andik Vermansyah bergegas dengan langkah. Susul menyusul Kurnia Meiga, Hansamu Yama, Bayu Pradana, Rizky Pora dan Stevano Lilipaly. Semuanya menunduk dan tidak ada yang merespon pertanyaan media. Para waraney sepakbola ini seolah bersepakat menjalani senyap, seperti para pemburu babi hutan di belantara Borneo, Andalas, Celebes dan Niugini. Baca Selanjutnya

Minggu, 18 Desember 2016

Pengorganisiran Merespon “Pasca-kebenaran”

TAHUN 2016 sepertinya penuh dengan kejutan peristiwa yang terjadi secara global di berbagai tempat, khususnya di medan politik. Keterkejutan kalangan luas terhadap pilihan-pilihan politik yang terjadi tahun 2016 ini tampaknya turut memengaruhi dipilihnya kata Post-truth sebagai kata tahun ini oleh kamus bahasa Inggris Oxford. Peristiwa-peristiwa politik mengejutkan dan sebelumnya sukar dipercaya dapat terjadi oleh banyak analis dikaitkan dengan meluasnya rujukan masyakarat pada keyakinan emosional dan berita-berita yang tidak dilandasi fakta, sebagaimana yang dimaksud oleh kata post-truth — oleh beberapa media diterjemahkan menjadi “pasca-kebenaran” (tapi tampaknya lebih tepat dipahami sebagai “kebenaran tanpa fakta”).

Kejutan-kejutan sosial politik yang terjadi di tahun pasca-kebenaran dinilai oleh banyak kalangan akan memiliki pengaruh besar terhadap cara masyarakat merespon kehidupan sosial, politik, dan ekonomi secara luas ke depannya. Di antara berbagai kejutan tersebut, kita perlu menunjuk pada dua peristiwa Brexit dan Kemenangan Donal Trump dalam pemilu AS. Pada awal tahun ini, rakyat Inggris melalui referendum memilih ke luar dari Uni Eropa. Yang segera disusul oleh drama pergantian kepemimpinan elit-elit politik rezim berkuasa di negeri monarki konstitusional tersebut. Negara yang menjadi maskot sejarah perdagangan bebas lewat keputusan referendum — yang populer di kenal sebagai Brexit — mengambil jalur untuk memisahkan diri dari blok politik perdagangan bebas regional Eropa.

Sementara di penghujung tahun ini, Amerika Serikat, negara adidaya lain yang juga menjadi maskot ekonomi pasar, perdagangan bebas, dan globalisasi liberal memilih Donald Trump sebagai presiden baru mereka, yang sebelumnya dipercaya sebagai tokoh sensasional media semata. Trump selama kampanye menjanjikan “Amerika akan jaya kembali” dengan menempuh jalan proteksionisme dan konservatisme sektarian (berbasis rasial dan agama), yang secara garis besar tampak berkebalikan dengan paradigma globalisasi ekonomi dan demokrasi versi neoliberal yang selama ini dijadikan motor penggerak ekonomi dan politik negara imperialis itu, baik di dalam negeri maupun “diekspor” secara agresif ke seluruh penjuru dunia. Baca Selanjutnya

Sabtu, 17 Desember 2016

Aksi Bela Islam: Antara Bela Agama dan Bela Oligarki

Selain mengagetkan banyak pihak dengan massa yang demikian besar, ‘Aksi Bela Islam’ yang belakangan populer dengan sebutan aksi 411 dan 212 ini, tak pelak menyeret hampir sebagian besar umat Islam pada perdebatan yang sejak semula tidak produktif dan tidak menyentuh pokok persoalan yang dihadapi umat Islam Indonesia hari ini: mengenai absennya redistribusi keadilan dan minusnya pelayanan sosial bagi rakyat.

Pada tataran akan rumput, perdebatan telah berubah menjadi saling caci antarpendukung Rizieq dan Ahok. Para pendukung ‘Aksi Bela Islam’ menuding mereka yang tidak setuju atau tidak mendukung aksi sebagai kurang Islam. Sementara para penolak ‘Aksi Bela Islam’ menganggap aksi massa yang memobilisasi ratusan ribu orang untuk turun ke jalan, alih-alih membela Islam, justru merendahkan Islam dan tak lebih sebagai buang-buang energi umat Islam untuk hal yang tidak substansial dan remeh temeh. Bahkan, lebih jauh, sebagian besar para pengkritik ‘Aksi Bela Islam’ menganggap aksi massa sebagai bukan metode perjuangan Islam. Kedua cara pandang inilah yang menurut hemat saya perlu untuk ditanggapi secara serius oleh kalangan gerakan progresif-demokratik di Indonesia, sekaligus sebagai ikhtiar mendudukkan persoalan ‘Aksi Bela Islam’ tak sekadar persoalan teologis, melainkan membacanya sebagai dinamika pertarungan maupun konvergensi kepentingan antaroligarki dalam lanskap politik elektoral.

Disinilah pentingnya pandangan alternatif. Selain memberi pilihan cara pandang politik yang tak sekedar hitam putih, sekaligus, kedepan, bisa menjadi pembelajaran bagi publik, khususnya kaum muslim agar tidak mudah terombang-ambing dalam pusaran kepentingan elit oligarki yang saling bertikai, yang setitikpun tidak ada relevansinya dengan hak-hak politik dan ekonomi umat Islam Indonesia. Baca Selanjutnya

Senin, 05 Desember 2016

Adios Maestro! Selamat Hari Guru!

SELAMAT HARI GURU. Selamat kepada kalian para buruh pabrik kapitalisme kognitif.

Ah, maaf. Bahasa saya terlampau rumit? Anda kurang paham? Bukankah saya menulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar? Bagaimana jika saya mulai dengan hipotesis sederhana.

Guru adalah agen sosial yang merefleksikan pandangan ekonomi politik sebuah rezim.

Bagaimana menjelaskan soal pandangan di atas? Saya mengajak anda semua untuk menengok sebuah perbandingan sederhana.

Tersebutlah sebuah program maha mulia bernama Indonesia Mengajar. Dimulai tahun 2009, dengan harapan menjadi sebuah gerakan ikhtiar untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Program ini mengirimkan para sarjana yang baru lulus kuliah untuk mengajar selama setahun penuh di kampung-kampung terdalam, terluar, terisolasi dan ter-ter yang lain. Sebutannya Pengajar Muda. Diharapkan selama berada di lokasi penempatan, anak-anak muda terpilih ini akan belajar bagaimana hidup tanpa listrik, tanpa sinyal telpon, tanpa sumber air bersih dan fasilitas sanitasi yang memadai, dan lain sejenisnya. Hidup seperti proletar yang adalah mayoritas wajah penduduk negeri ini.

Selama bertugas, para Pengajar Muda diharapkan melakukan refleksi dan evaluasi secara berkala terkait dengan tugas mereka di daerah penempatan. Tiap Pengajar Muda diharapkan dapat belajar soal daerah tempat penugasan mereka. Agar mereka harus mampu menjadi jembatan penghubung antara para pemangku kepentingan dengan masyarakat. Kreativitas juga penting. Agar makin banyak kegiatan ekstra pasca hari yang membosankan di ruang kelas. Tumpukan mata pelajaran yang belum tentu berguna secara praktis mesti diselingi dengan hiburan. Anak-anak muda terpilih ini juga diharuskan bisa bersosialisasi. Merakyat terma paling pas untuk ini. Baca Selanjutnya

Minggu, 27 November 2016

Identitas Dalam Kelas

“Apakah kelas adalah subjek yang homogen?”; “bukankah dalam kelas juga melekat identitas?”; “jika begitu adanya, bukankah kategori kelas setara dengan kategori identitas?”.

Kali ini, kita akan mendiskusikan poin yang cukup membingungkan, dan karena itu sering membuat kita keliru dalam memutuskan kebijakan politik tertentu, yakni Identitas dalam Kelas. Sederhananya, di dalam kelas sosial tertentu, katakanlah kelas proletariat atau kelas buruh, melekat pada diri anggotanya identitas tertentu, seperti agama, ras, bahasa, gender, suku-bangsa, dan warna kulit. Kita katakan ia adalah bagian dari kelas buruh yang, misalnya, beragama Islam, bersuku Jawa, berkulit sawo-matang, dst, dst.

Dengan statusnya yang demikian, maka pada momen-momen tertentu kesadaran kelasnya, kesadarannya sebagai seorang buruh, tumpang tindih dengan kesadaran identitasnya, kesadarannya sebagai seorang muslim, misalnya. Konkretnya, dalam aksi menuntut kenaikan tingkat upah, perbaikan tempat kerja, atau penghapusan hubungan kerja yang fleksibel, ia bersama-sama dengan seluruh anggota kelas pekerja, tanpa memandang asal-usul identitasnya, berbaris bersama dengan satu suara, satu komando. Atau sebagai petani ia akan berdiri bersama-sama dengan yang lainnya untuk mempertahankan tanahnya yang hendak dicaplok oleh korporasi yang dibeking oleh aparatus negara, tidak peduli identitas mereka apa. Tetapi, ketika terjadi aksi menuntut diadilinya seorang penista agama, maka sebagai seorang muslim ia terpanggil untuk turut terlibat dalam aksi itu. Kesadaran kelasnya tersubordinasi oleh kesadaran identitasnya, sehingga ia merasa berbeda dengan anggota kelas lainnya yang berbeda identitas dengan dirinya. Dan boleh jadi ia akan berhadap-hadapan secara konfliktual di lapangan dengan anggota kelasnya yang berbeda identitas itu.

Apa yang bermasalah dari kondisi ini? Kita tentu tidak bisa menghapuskan atau mengabaikan identitas seorang. Apa yang harus kita lakukan di sini adalah membedakan secara tegas antara Identitas dan Politik Identitas. Identitas adalah sesuatu yang melekat pada diri kita jauh sebelum kita menjadi sesuatu, sebelum seseorang menjadi seorang buruh, misalnya, walaupun mungkin ia lahir dari keluarga kelas buruh. Di sini, kita tidak memiliki alasan secuil pun untuk menolak keragaman identitas ini, bahkan ia harus dirayakan, harus diberi ruang untuk berkembang agar mekar semerbak. Dalam banyak kasus kesadaran identitas ini menjadi pemicu dan perekat aksi-aksi melawan penindasan oleh korporasi dan negara. Misalnya, perlawanan kaum perempuan melawan politik patriarki yang didukung oleh negara. Atau perlawanan masyarakat adat melawan ekspansi perusahaan-perusahaan berbasis sumberdaya alam. Baca Selanjutnya

Sabtu, 26 November 2016

Shalat Berjamaah dan Relasi Sosial Komunisme

Apa simpul yang menautkan shalat jamaah dengan komunisme? Bukankah keduanya menempuh trayek yang berbeda, bahkan berseberangan dan bertabrakan? Aspek sosial pada shalat (khususnya yang dilaksanakan dengan berjamaah) dan komunisme yang mempertautkan keduanya. Komunisme terkait dengan beberapa kata berikut: ‘Common’ berarti umum atau sesuatu yang dimiliki atau digunakan bersama-sama. ‘Communal’ berarti sesuatu yang berhubungan dengan yang umum, misalnya, pada masa dahulu di Nusantara sebagian besar tanah dimiliki dan dikelola secara bersama-sama (communal land); ‘Commune’ berarti kelompok yang hidup bersama; ‘Communion’ (komuni) yang berarti kerukunan dan hubungan erat satu dengan yang lain; ‘Community’ (koinoia) berarti masyarakat, persamaan dan himpunan. Terang, secara bahasa komunisme berhubungan dengan kegiatan positif-aktif membangun komunitas bersama, yang dalam bahasa Al-Syatibi dalam Maqasid al-Syari'ah (tujuan syariah), sebagai instrumen menuju kemaslahatan bersama. Jadi, secara sedarhana komunisme bisa dilihat sebagai tindakan sosial kolektif, di mana solidaritas dan persaudaraan dijunjung tinggi diatas segala-galanya.

Lebih dari pengertian bahasa, Alain Badiou dalam interview pada L’Humanite, sebuah koran Partai Komunis Prancis, mengingatkan bahwa ‘hipotetis komunisme adalah hipotetis emansipasi’. Artinya, intrinsik dalam kata komunis adalah praksis untuk emansipasi. Jadi, bukan komunis jika tidak emansipatif.

Sayangnya, pengertian positif-aktif-emansipatif komunisme dipropagandakan oleh kaum rekasioner secara negatif-pejoratif sebagai suatu penganjuran kekerasan. Propaganda anti komunisme sebenarnya tak lain sebagai cara membungkam rakyat agar tidak berhimpun dan bersolidaritas dalam memperjuangkan keadilan dan kebahagiaan. Agar rakyat tidak berjamaah pada semua aspek kehidupan.

Ada banyak ayat dalam Al-Qur’an yang berjiwa komunis, yang menganjurkan kerjasama, solidaritas, persaudaraan, pengorbanan dan nilai-nilai luhur kolektivisme lainnya. Baca Selanjutnya

Jumat, 25 November 2016

Agama Dunia: Kritik Terhadap Tafsir Agama Anti Massa-Rakyat

Dalam semesta teoritik, salah satu argumen materialis terhadap agama ini berkembang di dalam tradisi Marxisme yang berasumsi bahwa sejak kemunculannya di dunia, manusia tidak dimotivasi oleh ide-ide besar (apalagi soal surga dan neraka). Tetapi oleh kebutuhan materi yang sangat dasar (basic need), keperluan-keperluan dasar untuk kelangsungan hidup. Karena setiap manusia membutuhkan makanan, pakaian, dan tempat berteduh. Setelah kebutuhan ini terpenuhi, yang lain, seperti dorongan seksual, menyusul. Dari reproduksi kemudian terbentuklah keluarga dan komunitas, yang dorongan utamanya masih menciptakan kebutuhan dan tuntutan materi yang lain. Semua kebutuhan materi ini kelak, sebagaimana dikatakan Marx, dapat dipenuhi oleh manusia karena manusia mengembangkan ‘cara produksi’.

Meski selintas terlihat reduksionis, apa yang bisa dipetik dari argumen materialis atas problem onto-teologis di muka? Sebagaimana sebelumnya sudah saya singgung. Ini mengingatkan kita bahwa seluhur apa pun agama, ia selalu terjebak oleh yang material karena itu agama adalah drama kehidupan manusia itu sendiri. Maka menempatkan agama di luar problem manusia dan dunianya adalah ahistoris dan mengada-ada.

Dalam perdebatan seperti ini, bagi kita kaum beriman, baiknya, memposisikan diri sebagai seseorang yang disebut oleh Amin Abdullah sebagai (muarrikh) yaitu seorang pembaca yang kritis ketimbang sebagai seorang believer.

Faktanya agama tak pernah bisa keluar dari sejarah yang material. Dan justru karena agama tak pernah bisa berada di luar yang material, maka agama harus bicara mengenai yang material. Dengan ini, agama tak boleh mengelak dari problem manusia di dunia karena agama selalu dimungkinkan oleh manusia. Maka kalau agama mengelak dari problem manusia dan kehidupan ini untuk sekadar mengejar keselamatan di dunia seberang sana, selain makin menunjukkan absurditas agama, juga tengah mencabut peran historis agama di dunia. Baca Selanjutnya

Kamis, 24 November 2016

Agama Sebagai Komoditas: Musibah Atau Berkah?

Sebagaimana kita tahu, dalam relasi sosial kapitalisme dan logika akumulasi kapital tak ada satu pun hal di dunia ini yang tidak dijadikan sebagai komoditas. Dulu, air yang oleh Adam Smith bukan dianggap sebagai komoditas misalnya, saat ini kita temukan air menjadi komoditas yang dipertukarkan dengan komoditas lainnya atau diperdagangkan untuk mendapatkan keuntungan. Persis sama dengan agama, khususnya Islam. Dulu di zaman Nabi dan para sahabat, Islam dijadikan sebagai jalan menuju Allah sekaligus jalan perjuangan pembebasan manusia dari kondisi-kondisi yang membelenggunya. Namun sekarang, sebaliknya, sebagian besar agama justru dijadikan sebagai alat membelenggu manusia.

Agama diperdagangkan tak ubahnya sabun colek, obat gosok atau obat panu oleh para elit agama untuk mendulang keuntungan sebanyak-banyaknya. Dari situ agama dijadikan sebagai selubung penghisapan dan menjadi stempel pembenar kebejatan.

Sedemikian, kritik Marx terhadap agama sebagaimana dalam “Critique on Hegel’s Philosophy of Right” yang menganggap agama sebagai candu tak bisa dianggap sebagai sepenuhnya keliru. Justru kritik Marx ini bisa membantu kaum beragama mampu beragama dengan kritis dan tanpa perlu menggadaikan akal sehatnya. Berikut kutipan lengkapnya:

Sabtu, 19 November 2016

Rasisme Sebagai Jalan Keluar

Meninggalkan puluhan juta orang teralienasi karena eksploitasi, pengangguran, dan kemiskinan, sesungguhnya kapitalisme memelihara bom waktu. Sayangnya, kendati mayoritas kelas pekerja merasakan keterpurukan, mereka tidak memahami kapitalisme sebagai akar penyebab. Sebagian bahkan mungkin menerimanya sebagai takdir. Ketidaktahuan tentang akar masalah menjadi kian dalam karena berbagai institusi di dalam masyarakat kapitalis – partai politik, pendidikan – dengan satu dan lain cara mereproduksi kesadaran naif. Yang paling manjur adalah kesadaran identitas agama dan suku. Para politikus borjuis mengeksploitasi identitas sebagai ideologi politik untuk perebutan kekuasaan. Lembaga pendidikan mereproduksi pengetahuan dengan mengesensialkan identitas agama dan suku. Ujungnya, soal-soal kemasyarakatan yang muncul karena eksploitasi hubungan kelas dimanipulasi sebagai soal identitas. Baca Selanjutnya

Rabu, 18 Mei 2016

Podcast

Lenin, PKS dan Realisme

Kritik atas Kritik Ted Sprague atas Ragil Nugroho

DALAM tulisannya, PKS dan Lenin, Ragil Nugroho mengangkat sebuah wacana yang mengagetkan bagi sebagian aktivis-pemikir Marxis. Ia menunjukkan bagaimana, pada periode pasca-Reformasi, kemerosotan gerakan Kiri yang berbanding terbalik dengan penguatan gerakan Kanan, justru disebabkan karena metode analisis politik Leninis telah ditinggalkan oleh gerakan Kiri dan diadopsi dengan sukses oleh gerakan Kanan. Inti dari metode tersebut adalah, seperti ditulis Ragil, ‘bekerja pada alam nyata’: berangkat dari asumsi yang sesuai dengan kenyataan yang ada, betapapun kenyataan tersebut terkesan remeh-temeh dan ‘tidak revolusioner’ di mata kader. Metode analisis politik Leninis inilah yang ditinggalkan oleh gerakan Kiri dan justru terwujud dalam strategi PKS. Ini nampak seperti dalam pernyataan kader PKS yang dikutip Ragil: ‘Mari kita perbaiki jalanan berlubang dan sediakan sanitasi yang bagus sebelum berpikir memaksakan perempuan berkerudung.

Tulisan itu menuai kritik dari Ted Sprague yang mengecamnya, dalam PKS Bukan Lenin, sebagai ‘Reformis’ dan bahkan—lagi-lagi—‘Stalinis.’ Bagi Ted, kritik Ragil atas gerakan Kiri, yang dianggap telah melupakan Lenin, justru berakibat ‘memerosokkan banyak orang’ ke dalam Ekonomisme. Karena Ragil menekankan pentingnya politik Kiri yang membumi pada persoalan sehari-hari, Ted menganggapnya membawa kecenderungan oportunis yang membuat gerakan terhenti pada isu-isu ekonomis (seperti persoalan upah, jaminan keamanan kerja, dll) dan abai pada dimensi politisnya, yakni pentingnya menanamkan kesadaran komunis pada massa. Dengan berbekal montase kutipan dari Lenin, Ted mau memperlihatkan adanya kecenderungan kontra-revolusioner dalam tulisan Ragil, yaitu bahaya terjatuh ke dalam reformisme yang menegasi potensi revolusi. Akhirnya, Ted mengindikasikan bahwa implikasi lanjutan dari posisi Ragil adalah jatuhnya gerakan pada politik pengambil-alihan negara dan tidak mendestruksi bentuk-negara itu sendiri. Padahal apa yang seharusnya diperjuangkan oleh kelas proletar adalah, dalam ungkapan Ted, “membentuk sebuah pemerintahan buruh yang baru dan sungguh berbeda.’ Dengan kata lain, Ragil seperti Stalin: melanggengkan bentuk-negara itu sendiri. Tepatnya, seperti ‘kaum Stalinis yang zig-zag, yang banting stir ke kiri dan kanan.’ Baca Selanjutnya

Rabu, 11 Mei 2016

PKS Dan Lenin

PERSOALAN yang sepele: mana bertahan dan mana tersungkur.

Sedikit nostalgia. Tahun 1999, dua partai dari ideologi berbeda bertarung dalam Pemilu. Partai Rakyat Demokratik (PRD) berada di kiri. Di seberangnya, Partai Keadilan (PK) memilih posisi kanan. PRD mampu membangun tak kurang dari 14 cabang di tingkat provinsi dan 150-an cabang di level kabupaten. Hasilnya, sekitar 78.000 orang memberikan suara pada partai bernomor punggung 16 ini. Prestasi yang bagus.

Tapi, dari hari ke hari PRD semakin lingsir. Hingga pada satu titik: kita akan kesulitan menemukan di mana kuburannya karena tak ada batu nisan di atasnya. Sebaliknya, dengan modal tujuh kursi di Pemilu 1999, PKS tambah moncer.

Tentu ada racikan yang diramu PKS sehingga mereka bisa menjadi empat besar dalam Pemilu 2009—posisi yang sama dengan PKI dalam Pemilu 1955.

Tahun 1902 merupakan masa yang sulit bagi Lenin. Represi kekuasaan luar biasa. Ibaratnya, daun yang luruh dari tangkainya bisa dicurigai melawan kekuasaan. Ruang gerak sumpek. Mengatasi situasi ini, Lenin menulis risalah: What is to be Done?—Apa yang Harus Dilakukan?

Saat ini, di kalangan gerakan kiri Indonesia, risalah Lenin tersebut telah berdebu karena jarang dibuka. Disimpan rapi di rak keramat sebagai kitab suci. Tapi tak perlu trenyuh, risalah itu akan menemukan pembacanya di tempat lain.

Apa yang Harus Dilakukan? tak rumit. Hanya panduan ringan tentang membangun organisasi politik yang tak amatiran. Karena situasi tak bebas bernapas, maka organisasi harus ketat dengan disiplin yang tinggi. Tujuannya, agar penguasa tak mudah memukul. Ada sel-sel yang saling mengunci. Baca Selanjutnya

Jumat, 06 Mei 2016

Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965

TULISAN ini merupakan catatan tentang politik kebudayaan liberal pasca 1965 dan peran yang dimainkan Goenawan Mohamad di dalamnya. Motivasi awalnya datang dari pembacaan atas penelitian Wijaya Herlambang dalam bukunya, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film. Dalam tulisan ini, saya akan (1) menguraikan data-data baru tentang tema terkait yang didapat dari buku Wijaya maupun dari penelusuran saya secara langsung ke Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, (2) menjelaskan bagaimana anatomi gagasan dari politik kebudayaan berbasis eksistensialisme Camus, (3) menunjukkan peran Goenawan Mohamad sebagai makelar kebudayaan dalam membentuk selera intelektual Indonesia, dan (4) memperlihatkan kaitannya dengan konsolidasi kapitalisme di Indonesia pasca 1965.

Liberalisme Borongan: Cicilan $50

Dalam bukunya, Wijaya menunjukkan keberadaan suatu lembaga filantropi bernama Congress for Cultural Freedom (CCF) hasil bentukan CIA pada tahun 1950 yang dimaksudkan sebagai covert action untuk ‘menciptakan dasar filosofis bagi para intelektual untuk mempromosikan kapitalisme Barat dan anti-komunisme.’[1] CCF ditempatkan di bawah kendali Office of Policy Coordination (OPC) yang diketuai oleh Frank Wisner, seorang pejabat CIA yang terlibat dalam perencaaan pemberontakan PRRI/Permesta 1957-1958.  Wijaya juga menunjukkan bahwa dari CCF itulah dibentuk yayasan Obor internasional yang diketuai Ivan Kats, seorang perwakilan CCF untuk Program Asia. Yayasan Obor internasional (Obor Incoporated) yang berkedudukan di New York inilah yang menjadi induk dari yayasan Obor Indonesia yang diketuai Mochtar Lubis.[2]  Melalui yayasan tersebut, ide-ide yang ‘secara filosofis’ mempromosikan kapitalisme Barat dan sikap anti-komunis disemai. Baca Selanjutnya

Rabu, 20 April 2016

Kebangkrutan BPJS Kesehatan

TERHITUNG 1 April 2016, BPJS Kesehatan (BPJSKes) secara resmi menaikkan iuran. Berdasarkan Peraturan Presiden nomor 19 tahun 2016, iuran per peserta BPJSKes dinaikkan menjadi Rp. 23.000 per bulan dari Rp. 19.225 per bulan. Sementara bagi peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) swasta tidak mengalami perubahan; PPU yang terdiri dari PNS, Anggota TNI dan Polri, pejabat negara, pimpinan dan anggota DPRD, dan pegawai pemerintah non PNS mengalami kenaikan iuran menjadi 5 persen dari total upah dengan 3 persen akan dibayar pemberi kerja sedang pekerja akan membayar 2 persen. Adapun bagi peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PPBU) dan Peserta Bukan Pekerja untuk kelas III, per peserta akan dikenakan iuran Rp. 30.000 per bulan dari Rp. 25.500. Peserta kelas II harus membayar Rp. 51.000 per bulan dari Rp. 42.500. Terakhir bagi peserta kelas I, iuran sebesar Rp. 80.000 harus dibayarkan tiap bulan dari sebelumnya Rp. 59.500.

Alasan yang dikemukakan oleh pihak BPJSKes perihal kenaikan iuran ini terdengar sangat logis: bahwa langkah ini diperlukan untuk menjaga keberlangsungan pelayanan sistem jaminan kesehatan ‘universal’ ini. Pilihan ini seakan tidak terelakkan mengingat BPJSKes tidak mungkin untuk menurunkan jumlah manfaat atau meningkatkan proporsi anggaran mereka dalam APBN. Untuk memperkuat alasan kenaikan ini, BPJSKes lalu mengumbar janji untuk meningkatkan kualitas pelayanan terhadap seluruh peserta yang ada. Janji yang manis bukan? Baca Selanjutnya

Selasa, 12 April 2016

Sistem Pangan: Mau Makan Apa dan Makan Siapa?

PERNAH dengar sistem pangan (Food System)? Ini bukanlah nama generik untuk seluruh pangan yang kita makan. Ini adalah istilah khusus untuk sistem kapitalisme pangan, yang sekarang sudah bermetamorfose dari sejak hulu hingga hilir untuk menguasai apa yang kita makan.

Nama lainnya adalah Rantai Pasokan Pangan (Food Supply Chain), dimana korporasi-korporasi membangun sistem rantai pasokannya masing-masing sejak dari hulu (downstream) hingga hilir (upstream), terintegrasi secara vertikal maupun horizontal, serta saling bekerjasama dan saling menunjang untuk meminimalkan biaya dalam sebuah rantai panjang industri barang dan jasa. Ini dapat dilihat dari gambaran berikut: masifnya unit-unit produksi ternak, ambruknya warung-warung kecil keluarga, dominasi ritel oleh rantai supermarket secara nasional dan internasional, pra-kemasan, resto fast-food, meningkatnya acara makan di luar rumah, camilan-camilan, produk-produk yang tidak musiman, kontrak lahan pertanian untuk produk-produk tertentu, pangan rekayasa genetik, bahan-bahan tambahan, bahan-bahan pengawet, makanan yang dibekukan, merk-merk, iklan-iklan dan diatas semuanya adalah persaingan yang terus menerus dalam menurunkan harga. Dengan metamorfose ini semua, rantai pangan telah beralih-rupa menjadi segmen raksasa dari ekonomi pasar kapitalis. Pangan hanyalah produk yang dikejar untuk bisa dipotong biaya per-unitnya guna menghasilkan keuntungan, didorong oleh persaingan yang kejam dari berbagai supermarket untuk mendapatkan pasar yang lebih besar untuk kemanfaatan para pemilik saham.

Rantai Pasokan Pangan (RPP) atau dikenal juga sebagai sistem pangan (food system) mengacu pada sebuah proses yang menjelaskan bagaimana pangan bermula sejak dari usaha pertanian hingga berakhir di meja makan kita. Proses tersebut meliputi produksi, pemrosesan, distribusi, konsumsi, hingga pembuangan. RPP terdiri dari berbagai ragam produk dan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di pasar yang berbeda-beda serta menjual berbagai variasi produk pangan. Baca Selanjutnya

Senin, 11 April 2016

Matinya Ilmu Sosial dan Humaniora, Matinya Kemanusiaan Kita

Menurut McLaren, sebagaimana dikutip Agus Nuryanto dalam Mazhab Pendidikan Kritis, terdapat tiga dampak yang dapat muncul dari kapitalisasi pendidikan: (1) adanya praktik sekolah yang mendukung kontrol ekonomi oleh kelas-kelas elit; (2) berkembangnya ilmu pengetahuan yang hanya bertujuan mendapatkan profit material, dibanding untuk menciptakan kehidupan global yang lebih baik; (3) terciptanya fondasi bagi ilmu pengetahuan yang menekankan nilai-nilai korporasi dengan mengorbankan nilai-nilai keadilan sosial dan martabat manusia.

Jika kita meminjam perspektif Teori  Labeling  yang diperkenalkan Sosiolog Mazhab Chichago pada Tahun 1960-1970-an yaitu George Herbert Mead, dalam bukunya yang berjudul, Labeling theory: Social constructionism, Social stigma, Deinstitutionalisation dijelaskan bahwa sebuah perilaku dan identitas diri individu ditentukan atau dipengaruhi oleh struktur masyarakat dimana individu tersebut berada. Penyimpangan perilaku individu belum tentu inheren dalam diri individu tersebut melainkan didefinisikan atau diberi label secara sosial oleh masyarakatnya. Dengan meminjam pendekatan Labeling di atas, maka munculnya anggapan bahwa Ilmu Alam dan Teknik merepresentasikan anak yang cerdas dan Ilmu Sosial dan Humaniora merepresentasikan anak yang tidak cerdas bersumber dari pemberian labeling, baik oleh para pendidik maupun para orang tua murid pada zamannya yang kemudian diterima begitu saja oleh anak didik pada zaman tersebut. Penerimaan itu lalu mengendap dalam pikiran mereka sampai mencapai dewasa dan menjadi orang tua lalu mewariskan stigma itu pada putra-putrinya tercinta. Artinya, pola pikir seperti ini terus-terusan direproduksi selama puluhan tahun. Baca Selanjutnya

Yang Mati Dipagut Ular

Irmawati, nama aslinya. Berusia 29 tahun. Selepas SMP, ia melakoni hidup sebagai penyanyi dangdut dengan ciri seekor ular sebagai teman atraksinya. Sabtu malam itu adalah pertunjukan terakhirnya. Pada pertengahan lagu kedua, tanpa sengaja ekor sang ular terinjak oleh sepatunya. Tanpa ampun, binatang berbisa itu langsung memagut pahanya. Tak mau lepas hingga lebih dari 10 menit. Tapi Irma seperti tidak merasakan sakit. Ia terus menyanyi dan bergoyang hingga lagunya usai. Penonton bertepuk tangan dan bersorak girang. Sejam kemudian, efek racun ular kobra mulai menyebar. Irma terjungkal di belakang panggung, kejang-kejang dan meninggal tak lama kemudian. Ia menjemput ajal, di panggung yang menjadi sumber penghidupannya selama ini.

Ajaib memang cara-cara manusia untuk bertarung mempertahankan hidupnya. Diganjar bayaran 500 ribu rupiah, ia bergoyang sambil membawa seekor ular yang dililitkan ke tubuhnya. Menghibur penonton hingga tengah malam.

Di layar televisi, Encum (52 tahun), ibu Irma meratap sambil memeluk putri sulung Irma yang masih kelas 2 SD. Dengan raut muka lelah, ia berkisah tentang anak perempuannya yang pekerja keras. Nyaris saban malam memenuhi tanggapan menyanyi dari kampung ke kampung. Siangnya berjualan sepatu dan pakaian. Merawat ketiga anak dan merampungkan tetek bengek urusan domestik. Irma jarang mengeluh. Ibunya bilang, Irma menyimpan impian indah, menyekolahkan ketiga anaknya serta membiayai kedua orangtuanya ibadah umrah ke tanah suci. Baca Selanjutnya

Rabu, 06 April 2016

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Cobalah Tengok

Dartar Isi