Tampilkan postingan dengan label Goenawan Mohamad. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Goenawan Mohamad. Tampilkan semua postingan

Jumat, 06 Mei 2016

Derrida dan Pemaafan

Banyak kerancuan timbul dari pemahaman atas konsep Jacques Derrida tentang “pemaafan” (forgiveness). Itu tercermin, misalnya, dari “Maaf”, Catatan Pinggir Goenawan Mohamad (GM) yang baru-baru ini terbit. Tulisan itu mendemonstrasikan kerancuan penulisnya dalam memahami, dan mendudukkan secara “dekonstruktif”, konsep Derridean tentang “maaf”.

Esai Derrida tentang pemaafan yang kerap dikutip adalah “On Forgiveness” (1997), meski terdapat banyak teks lain yang ditulisnya menyinggung problematik itu, dalam satu dan lain cara—salah satunya, “Force of Law: The ‘Mystical Foundation of Authority’” (1990). Dengan membaca teks yang terakhir ini, kita bisa mengetahui mengapa Derrida ingin mengatasi Hukum dan mengejar ketakbersyaratan (unconditionality). Tanpa membaca, setidaknya, dua teks ini secara bersamaan, cara baca kita berisiko myopia, seperti Paktua Goen yang kian pikun.

1. Problematik pemaafan, dalam Derrida, tidak lepas dari problematik keadilan. GM melepas maaf dari pertanyaan tentang keadilan. Argumennya membebaskan Negara dari tuntutan keadilan dan permintaan maaf yang dialamatkan oleh para korban 1965, dan mendorong korban agar memaafkan secara tak bersyarat atas kejahatan Negara. Inilah konsekuensi dari melihat maaf secara terisolir dari problem keadilan. Pandangan ini sangat simplistik, dibandingkan dengan Derrida. Derrida melihat maaf dan keadilan sekaligus sebagai sesuatu yang paradoksal dan kontradiktif, namun harus sama-sama dihitung. Inilah logika “aporia”. Logika ini berlaku baik bagi pelaku maupun korban.

Bagi pelaku: mungkinkah dia meminta maaf, tanpa mengorbankan keadilan yang harus dipenuhinya kepada korban? Bagaimana memenuhi keadilan itu, di hadapan korban yang kehidupannya tak tergantikan dan kebebasannya telah ia renggut? Kritik Derrida, dalam “On Forgiveness”, menyoroti permintaan maaf dari pelaku yang selama ini bersifat seremonial dan basa-basi belaka. Pelaku meminta maaf—dan terkadang memaksa korban untuk memaafkan—namun ia tidak mampu memenuhi tuntutan keadilan. Inilah model permintaan maaf “transaksional”, yang sering dipraktikkan oleh negara-negara untuk mendukung impunitas. Jawab Derrida: tidak mungkin dia meminta maaf; dan kalaupun ia meminta maaf, permintaan maaf itu tak pernah cukup untuk mengganti kerugian yang diderita oleh korban. Inilah ketidakbersyaratan, dari sisi pelaku. Permintaan maaf harus didorong sampai pada batasnya yang mustahil dan “tak bersyarat”, karena, di hadapan korban, pelaku bukan subjek yang berdaulat. Ia harus tunduk pada imperatif korban, yang tak terbatas, yang tak bersyarat. Baca Selanjutnya

Selasa, 18 Agustus 2015

Masih Kritik Atas Goenawan Mohamad

Setelah menerima penghargaan dari Presiden, saran saya, baiknya Goenawan Mohamad pensiun menulis Catatan Pinggir. Karena tak ada lagi yang-pinggir(an). Pinggir(an) telah dicaplok oleh Pusat. Ia baiknya juga pensiun menulis tentang sang "liyan", karena hanya yang berada di pinggir(an) yang berhak menulis tentang "liyan" dan "liyaning liyan". Seseorang yang berada dalam pusaran kekuasaan tak berhak menulis seolah-olah sedang berada dalam pihak orang-orang yang terkalahkan. Baca Selanjutnya

Minggu, 16 Agustus 2015

Kritik Lagi Atas Goenawan Mohamad

Paranoid terhadap label tapi sekaligus bermain label diam-diam tanpa klarifikasi, melompat-lompat sambil menghindari posisi teoretik yang dapat dipertanggung-jawabkan, merayakan ‘1000 tafsir’ dan ‘0 metode’—dari semua observasi saya ini, rasanya saya sulit mengambil kesimpulan lain selain bahwa berdebat dengan Goenawan seperti berdebat dengan orang mabuk. Selama ia berdiam dalam label spekulatif seperti ‘Stalinisme,’ dalam ketakutan spekulatif tentang segala label, dalam lompatan spekulatif atas segala posisi teoretik dan konsekuensi politiknya, dalam penafsiran spekulatif yang tanpa metode, maka setiap ungkapannya sejatinya hanyalah gumam dan desas-desus. Mulanya, dalam kritik saya, saya berasumsi bahwa Goenawan memiliki benang merah teoretik yang membuat pendekatannya tidak sekadar eklektik dan karenanya tak bisa sekadar dikesampingkan secara retorik melainkan mesti dikritik secara teoretik. Namun setelah jawaban-jawabannya kini saya mulai meragukan asumsi saya yang rupanya terlalu tinggi itu. Ia sama sekali tak punya metode, tak mau mengambil posisi teoretik yang ketat dan konsisten. Argumentasinya habis dimakan oleh paranoianya terhadap Marxisme dan segala label—argumentasinya adalah rasa takut itu sendiri. Goenawan Mohamad ternyata cuma desas-desus. Baca Selanjutnya

Selasa, 23 Desember 2014

Ciuman Pertama (Cerita Khusus Dewasa)

Saya masih ingat sebuah percakapan kami pada suatu petang di pelataran Bulaksumur B-21, sebuah tempat keramat yang pada awal milenium silam popularitasnya hanya bisa ditandingi oleh Utan Kayu 68-H (Hia ha ha ha...). Ya, B-21 adalah saingat berat 68-H. Jika 68-H punya Nirwan Dewanto, maka B-21 punya Thowaf Zuharon. Kalau 68-H punya Jurnal KALAM, maka siapa yang tak tahu almarhum Jurnal BALAIRUNG yang legendaris itu?! Bahkan, jika 68-H hanya punya satu Goenawan Mohamad, maka di B-21 ada banyak sekali "Goenawan Mohamad". Baca Selanjutnya

Sabtu, 05 Juli 2014

Politik Dua Kaki Amerika Serikat dalam Pilpres 2014

Jika dalam karya disertasinya, Wijaya Herlambang menyoroti jejaring kebudayaan yang dibangun oleh Goenawan Mohamad maka Allan Nairn menyoroti peran Prabowo Subianto dalam membangun jejaring filantropis kepentingan Amerika Serikat di tubuh militer, di samping peran Soeharto sendiri sebagai Presiden.

Menariknya, dalam pilpres kali ini, Goenawan Mohamad justru mendukung Jokowi dan berseberangan dengan Prabowo. Apa artinya? Pilpres 2014 tidak saja merupakan pertarungan dua kekuatan Orde Baru tetapi juga pertarungan dua kekuatan jejaring filantropis Amerika Serikat. Artinya, kepentingan Orde Baru dan Amerika Serikat sama-sama bermain "dua kaki".
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Cobalah Tengok

Dartar Isi