Tampilkan postingan dengan label Geotimes. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Geotimes. Tampilkan semua postingan

Senin, 06 Februari 2017

How To Get Rid of Ahok

Semuanya dimulai dari cuitan Ulil Abshar Abdalla. Dalam cuitan di akun twitter dia yang memiliki lebih dari 500 ribu pengikut, @Ulil mengatakan dengan sangat keras bahwa Ahok, iya Ahok sang petahana Gubernur DKI yang mulutnya selalu melontarkan komentar-komentar kontroversial yang tidak perlu itu, harus dihilangkan. Ulil menggunakan kata “get rid of him” yang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bisa berarti “mengenyahkan” atau “membunuh”. Secara lengkap cuitan Ulil berbunyi:

“Ahok is a BIG liability for our social fabric as a (still) fragile nation. We should get rid of him. Too dangerous.”

Anda yang membaca tulisan ini pasti tahu siapa Ulil Abshar Abdalla. Dia adalah dedengkot Jaringan Islam Liberal (JIL), organisasi yang menyodorkan pemikiran liberalisme untuk melawan arus konservatisme di kalangan Muslim Indonesia. Dengan latar belakang sebagai seorang liberal, jika Ulil benar-benar seorang liberal sejati, maka cuitan dia bersifat kontradiktif terhadap seluruh ideologi liberalisme yang dia percaya dapat membuat masyarakat Indonesia maju dan makmur seperti negara-negara Barat yang sangat dia kagumi.

Bagaimana mungkin seorang liberal yang menghargai hak-hak individu, baik dalam bertindak maupun bersuara, mengancam akan “menghilangkan” orang lain hanya karena dia beranggapan bahwa Ahok “too dangerous” buat bangsa Indonesia yang menurut Ulil masih ringkih?

Ulil akhirnya mengeluarkan serangkaian cuitan untuk mengklarifikasi maksud cuitan dia tentang Ahok. Dan tidak ketinggalan kawan karib Ulil, Akhmad Sahal alias @SahaL_AS pun, memberi penjelasan tambahan untuk membela teman sesama pendiri Jaringan Islam Liberal ini.

Tapi apakah Ulil benar bahwa kita sebaiknya mengenyahkan Ahok karena dia adalah ancaman bagi kerukunan bangsa? Baca Selanjutnya

Kamis, 26 Januari 2017

Siapa Merebus Sentimen Sosial Kita?

Indonesia kita kini berada dalam situasi di mana berbagai sentimen sosial sedang direbus habis-habisan. Sentimen sosial ini begitu riuh, direbus sebagai isu-isu sensitif atau isu sederhana namun sedemikian rupa dibuat sensitif secara kolektif dalam kuali sosial kita. Beberapa isu lama, hoax, dan fitnah pun digunakan untuk merebus sentimen kolektif.

Kebencian menyebar ke mana-mana, dijadikan alat yang memang efektif untuk mendidihkan air sentimen sosial. Dalam proses perebusan sentimen sosial habis-habisan ini, etiket dan etika sosial lumer di bahwa pantat para perebus.

Sebenarnya wajar belaka bahwa berbagai isu berkontestasi dalam kehidupan sosial untuk merebut pengaruh satu sama lain. Namun fenomena mutakhir kita menunjukkan bahwa berbagai isu diangkat tidak lagi dalam kerangka persaingan merebut pengaruh secara dewasa dalam suatu sistem demokrasi yang sehat. Kontestasi budaya dan politik tidak lagi bermartabat. Lebih dari sekadar kontestasi kekuatan-kekuatan sosial, perebusan sentimen sosial secara habis-habisan tanpa disadari telah menjadi tujuan pada dirinya sendiri.

Sentimen adalah perasaaan, pandangan dan/atau sikap berlebihan tentang sesuatu. Karena berlebihan, secara umum ia menjurus pada hal negatif, apalagi bila sentimen itu dibangun pada tataran kolektif menjadi sentimen sosial. Secara ekstrem dapat dikatakan, sentimen sosial adalah perasaan tidak suka terhadap (kelompok) orang lain atas alasan tertentu, terutama atas alasan perbedaan.

Perasaan tidak suka ini direbus terus hingga menjadi kebencian (kelompok) terhadap (kelompok) orang lain. Dan, kebencian akan melahirkan kebencian lagi, bahkan bisa tak berujung sebagai spiral kebencian sosial. Kini kebencian sosial merupakan teror baru yang tentu saja menakutkan bagi kelompok sosial yang dibenci.

Secara umum, sentimen sosial direbus melalui berbagai isu etnis, politik, ideologi, dan agama (baik interagama maupun antaragama). Isu-isu itu demikian konkret belakangan ini. Misalnya, sentimen anti-Tionghoa di(muncul)kan kembali, terutama berkaitan dengan isu politik pemilihan gubernur DKI Jakarta. Baca Selanjutnya

Jumat, 13 Januari 2017

Jakarta Tak Butuh Lee Kuan Yew

Dalam kampanye awal Desember lalu, Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok berjanji kualitas infrastruktur dan pelayanan publik ibu kota akan menyamai Singapura pada 2018. “Jadi kalau mau lihat Jakarta seperti Singapura 2018 ya kasih saya kesempatan,” tandasnya.

Dekan Lee Kuan Yew School of Public Policy, Kishore Mahbubani, pernah mengatakan, “dia (Ahok) ingin mengerjakan sesuatu sampai selesai, bukan melihat rencana-rencana saja. Inilah yang dilakukan Lee Kuan Yew (LKY), yang saya lihat ada di diri Ahok.”

Melalui tulisan ini, saya hendak menjelaskan kemiripan gaya kepemimpinan Ahok dengan LKY dan berpendapat model tersebut melenceng dari tujuan kita berbangsa dan bernegara.

Tentang Lee Kuan Yew


Beberapa ratus kata tidak akan bisa memberikan gambaran utuh tentang Bapak Pendiri Singapura.

Berkat pengabdiannya selama 31 tahun sebagai Perdana Menteri, Singapura kini menjadi negara maju dengan pemerintahan yang bersih dari korupsi, layanan kesehatan modern nan terjangkau, sistem pendidikan berkualitas unggul, salah satu PDB per kapita tertinggi di dunia dan inovasi teknologi berkelanjutan.

Singapura adalah keajaiban ekonomi Asia.

LKY adalah seorang pragmatis yang tidak bicara “apakah ini benar?”, melainkan “apakah ini efektif?” Sistem ekonomi komando tidak pernah ada dalam kamusnya. Ia memuja Friedrich Hayek dan sistem pasar terbuka. Baca Selanjutnya

Sabtu, 07 Januari 2017

Tuhan Perlu Dibela

Apakah Tuhan perlu dibela? Tiga puluh lima tahun silam, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang kala itu lebih dikenal sebagai pemikir, mencoba menyambangi pertanyaan ini. Ia menulis satu kolom di majalah Tempo, Juni 1982, dengan tajuk yang mungkin sudah pernah Anda dengar di suatu tempat. “Tuhan Tidak Perlu Dibela.”

Tulisan tersebut dibuka dengan anekdot seorang sarjana yang baru pulang dari studinya di luar negeri. Sepanjang delapan tahun, X, sebutan sang pemuda, belajar di negeri di mana Islam bukan agama mayoritas. Sepulang ke Indonesia, X terenyak. Ke mana ia berjalan, ia menjumpai kemarahan orang Muslim. Ia menjumpainya di majalah Islam. Ia menjumpainya dalam pidato para mubaligh dan dai. Ia menjumpainya pada penolakan terhadap ilmu pengetahuan modern. Ia menjumpainya dari kecaman terhadap ekspresi-ekspresi kesenian dan kebudayaan.

Masygul, X lantas menemui sejumlah ahli agama dengan harapan ia akan memperoleh tanggapan yang bijak terhadap kemarahan-kemarahan ini. Hasilnya, nihil. Alih-alih mendapatkan apa yang diinginkannya, ia malah diminta mencontoh sikap para agamawan itu. “Kemarahan itu adalah pelaksanaan tugas amar ma’ruf nahi munkar,” ujar kiai pesantren yang merupakan paman X.

X akhirnya memperoleh jawaban yang menenangkan dari seorang guru tarekat. “Jawabannya,” menurut sang guru, “sederhana saja. Allah itu Maha Besar. Ia tidak memerlukan pembuktian akan kebesaran-Nya.” Mendengar penegasan bahwa kebenaran Tuhan tidak akan terkikis oleh keraguan manusia, sang pemuda mendapat ketenteramannya. Ia tidak lagi merasa bersalah berdiam diri.

Tiga puluh lima tahun berselang, Anda tahu, tulisan ini masih menggerayangi pikiran banyak orang. Banyak dari antaranya merasa jawaban Gus Dur terhadap kegusaran X tak bertanggung jawab. Drama, kegelisahan, dan permenungan X tak lebih dari proyeksi pikiran liberal yang fasik. Namun, kalau kita cermati, Gus Dur sebenarnya mengakhiri kolomnya dengan pernyataan mengganjal. “Tuhan tidak perlu dibela, walaupun juga tidak menolak dibela. Berarti atau tidaknya pembelaan, akan kita lihat dalam perkembangan di masa depan.” Baca Selanjutnya

Senin, 26 Desember 2016

Telolet, Klakson, dan Ironi Jalanan Kita

Klakson berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu “klazo” yang artinya “menjerit”. Ia adalah simbol teguran paling keras di jalan. Maka, jika ia masih dimodifikasi lagi agar lebih menyalak, ia tak lagi terdengar sebagai “jeritan”, tapi “umpatan”.

Dalam jeritan, asumsinya adalah terjadi kesalahan fatal pada kendaraan lain, sehingga perlu jalan terakhir berupa jeritan untuk menegurnya. Adapun jika klaksonnya telah dimodifikasi lebih menyalak, maka apa pun yang keluar darinya, kesalahan pasti justru kembali pada penekannya, bukan lagi objek klakson itu.

Persis seperti knalpot. Orang memaklumi bunyinya karena memang begitulah seharusnya agar motor beroperasi. Tapi, jika ia telah dimodifikasi lebih menyalak, maka tentu itu akan mengundang kemarahan orang-orang di sekitarnya. Saya termasuk yang sering tak mampu menahan amarah mendengar bisingnya knalpot modifikasi hingga terlontar spontan dan begitu saja doa buruk untuk pengendaranya.

Kebodohan pengendara motor berknalpot bising itu seolah menular ke saya, atau sebagian orang yang terpaksa ke mana-mana dengan headset di jalanan agar tak jadi korban kebisingan klakson dan knalpot. Akhirnya, jadilah lingkaran setan kebodohan di jalanan Jakarta seperti kerap kita saksikan setiap harinya.

Maka, dari klakson dan knalpot, kita sebenarnya bisa tahu karakteristik pemiliknya: sopan atau bodoh. Dalam laporan Kompas disebutkan bahwa di Jepang, Eropa, atau Amerika, jarang sekali orang membunyikan klakson lantaran tingginya rasa solidaritas dan disiplin berlalu lintas, sehingga praktis klakson hanya digunakan untuk menghalau hewan yang nyasar ke jalanan.

Tapi, di Jakarta, dengan klakson, kita seolah saling menuding hewan orang-orang di jalanan. Tan… ton… tan… ton. Semua yang di depan kita diposisikan seolah hewan yang nyasar ke jalanan, dan karenanya terus klakson berbunyi menghalau mereka. Kita merasa jalanan seolah milik engkong kita. Kita perkosa jalanan ibu kota. Sehingga lengkaplah derita ibu kota: polusi udara, polusi suara pula! Baca Selanjutnya

Kamis, 22 Desember 2016

Mendadak Religius Fanatik

Beberapa teman mengeluhkan pertemanannya putus, bahkan hubungan antar-anggota keluarga merenggang karena tajamnya perdebatan dan silang pendapat di grup-grup WhatsApp, Telegram, Facebook, dan media sosial lainnya terkait isu-isu seputar Ahok dan Aleppo.

Bukan perbedaan yang dikeluhkannya, tapi kecenderungan intoleransi orang-orang yang memilih pola hidup modern dan bebas, bahkan sebagian tidak religius. Ini cukup mengejutkan. Aneh! Ini bisa diungkap dalam kalimat satir: “Mendadak religius secara fanatik, padahal resleting belum ditarik ke atas.”

Gejala apakah ini?
Terlepas dari tema dan isu yang disengketakan, mendukung atau menolak, sekarang ada semacam tren religiusitas simbolik yang menjanjikan peleburan dosa secara instan hanya dengan mendukung aksi-aksi intoleran, meski kehidupan sehari-hari tidak religius. Ini melanda kelas menengah dan urban yang mulai cemas dan galau terhadap efek siklus pergaulan modern yang mengusik kehidupan personal mereka.

Mengapa ini terjadi?
Teman-teman yang mengeluhkan itu mengaku tidak habis pikir dan bertanya-tanya, strata pendidikannya tinggi dan gaya hidupnya modern bahkan sebagian hedonis, tapi memahami dan menafsirkan agama serta sikap beragama secara kaku dan tidak logis.

Positivisme yang menjadi induk peradaban modern dan fondasi pengetahuan serta paradigma pola pikir telah berhasil (a) memisahkan logika dari agama atau yang lazim disebut iman (faith), (b) membatasi logika pada pengetahuan empiris. Akibatnya, terbentuk mindset bahwa (1) logika hanya berlaku dalam sains dengan objek fisikal, (2) agama adalah keyakinan yang tidak tunduk kepada logika. Baca Selanjutnya

Jumat, 16 Desember 2016

Sabuga dan Duta Wacana: Di Bawah Apeknya Ketiak KDRT Islam-Kristen

Bagi hampir semua umat Islam, tak ada yang lebih menyesakkan hati ketimbang melihat atau mendengar seseorang pindah menjadi Kristen. Lebih-lebih jika ia dulunya seorang Muslim. Mari kita bayangkan, betapa ngenes-nya banyak Muslim jika konversi agama itu tidak dilakukan oleh 3-4 orang saja, melainkan ratusan ribu! Dan ini sungguh terjadi.

Tidak ada yang punya data persisnya, namun jumlah umat Katholik mengalami kenaikan 7,45% antara 1966-1967.39 Di Jawa Tengah, jumlah yang menunggu dibaptis Katolik terkadang melebihi umat Katolik sendiri.

Denominasi Protestan juga menerima limpahan konversi yang jumlahnya diperkirakan tidak sedikit. TB Simatupang (1969) mencatat ada lonjakan 825.000 pengikut Kristen baru di 36 gereja yang bernaung dalam Dewan Gereja Indonesia, dari 1964-1967. Lonjakan terjadi di etnis Jawa (Timur dan Tengah), Karo Batak, dan Timor.

Di Jawa, menurur Ukur & Cooley (1979), sepanjang tahun 1966-1970 angka konversi yang sedemikian tinggi terdistribusi sebagai berikut: Gereja Kristen Indonesia Jawa Timur (17%), Gereja Kristen Jawa Timur Utara (15.5%), Gereja Injili Tanah Jawa (12.2%), Gereja-gereja Kristen Jawa (9%), dan Gereja Kristen Jawi Wetan (9%). Bahkan, Profesor Gerrit Singgih menceritakan jika biasanya pembaptisan cukup diperciki air, saat itu mereka disemprot menggunakan selang air—akibat begitu meluapnya warga yang ingin masuk Kristen (Mujiburrahman 2006).

Konversi berjamaah terjadi sebagai dampak dari dua hal: koersi Orde Baru agar rakyat menganut “agama resmi” dan sebagai dampak dari Tragedi 1965. Kita tahu bahwa political genocide yang memahat kesadisan kelompok Islam karena provokasi tentara—senyatanya telah menorehkan luka dan antipati tersendiri bagi banyak orang, termasuk kelompok abangan-Jawa (Heffner 1993, 2011; Singgih 2008; Narciso 2008).

Konversi ini, bagi saya, cukup masuk akal mengingat bagaimana mungkin mereka yang selamat dari amuk 65 akan memilih agama yang dianut para pembantai keluarga mereka? Baca Selanjutnya

Rabu, 14 Desember 2016

Adios, Companero Fidel Castro!

Tahun 1959, Presiden Batista digulingkan oleh kelompok komunis revolusioner bersenjata. Mereka mengambil alih kekuasaan dan menetapkan pemerintahan populer baru. Setahun kemudian 6.000 dokter dan tenaga medis profesional memilih eksil. Menyusul di tahun 1963, sekitar 3.000 guru dan sarjana yang minggat. Mayoritas menyeberang ke Florida, Amerika Serikat. Mereka tidak ingin tinggal dan diperintah oleh rezim komunis yang baru saja menggulingkan seorang diktator.

Di saat yang bersamaan, wabah penyakit menyebar luas di desa-desa. Rumah sakit dan pos-pos kesehatan kekurangan dana, peralatan dan sumber daya manusia. Di Havana, banyak fasilitas pendidikan yang mengalami defisit tenaga pengajar. Di daerah pedesaan, banyak sekolah tutup. Sementara, situasi politik juga belum sepenuhnya stabil. Pengadilan militer teradap ratusan loyalis Batista dengan tuduhan pelanggaran HAM sedang digelar.

Namun, sauh kadung diangkat. Kapal mesti berlayar.

Hal pertama yang dilakukan oleh pemerintahan komunis tersebut adalah meluncurkan reformasi serius di bidang kesehatan, pendidikan, hukum, dan reforma agraria. Tujuannya: pengentasan buta huruf, memperbaiki daya hidup, memberantas korupsi, dan merangsang kembali produksi di bidang pertanian. Undang-undang soal ini dirumuskan dan ditetapkan kurang dari satu semester.

Mei 1959, UU Reforma Agraria terbit. Akhir tahun 1960, seluruh perkebunan para bangsawan diambil alih negara. Termasuk perkebunan tebu milik keluarga Castro. Total, rezim Komunis Kuba berhasil mendapatkan dana segar sekitar 25 juta dolar. April 1961, aset tanah milik Gereja Katholik Roma resmi disita. Pertengahan Mei tahun itu, pembagian tanah dilakukan di bawah pengawasan Ministerio de Recuperacion de Bienes Malversados (Kementerian Pemulihan Aset-aset yang Disalahgunakan). Baca Selanjutnya

Sabtu, 10 Desember 2016

Makar dan Senyum Presiden

Apa yang kami takutkan dilakukan Prabowo, dan jadi alasan kami memilih Jokowi, ternyata dilakukan Presiden Joko Widodo saat ini.

Pagi ini sedih membaca berita ada penangkapan lain dini hari ini melanjutkan 10 orang sebelumnya. Hatta Taliwang, seorang orang tua lainnya, dijadikan tersangka dan ditahan.

Hanya di era berhawa fasis, kata radikal yang sebenarnya bagus telah mengalami pembusukan. Sementara kata-kata disiplin dan tertib menjadi segar dan mulia

Riwayat tindakan fasistik dan standar ganda penegakan hukum terlihat begitu merisaukan. Orang yang berencana mengajak masyarakat mendatangi parlemen, dianggap makar dan ditangkapi, sementara mereka yang membubarkan ibadah di Bandung diajak berunding oleh polisi dan pemerintah daerah.

Kita memang perlu awas dan jangan pernah meremehkan tindakan fasis kecil-kecilan seperti pembubaran acara-acara diskusi, bedah buku atau nobar-nobar film. Sebab, bila berhasil, mereka akan mencoba membubarkan yang lebih besar: ibadah, lalu negara.

Yang pernah mengalami gelapnya Orde Baru semestinya takut hal ini: Presidennya senyam-senyum ramah, polisinya nangkepin orang dini hari dengan dalih yang dituturkan media sebagai tindakan mengamankan. Baca Selanjutnya

Kamis, 08 Desember 2016

Jangan Lihat Siapa Gus Mus, tapi Apanya!

Sejak isu penistaan yang melibatkan nama besar calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok bergulir, muncul banyak sekali ragam dukungan sekaligus penolakan yang tidak semestinya. Dan hal yang tidak semestinya ini tentu juga sangat patut mendapat respons ketimbang melulu mendebat soal isu yang sebenarnya sudah lama tuntas.

Sejauh yang bisa saya amati, entah dalam bentuk dukungan atau penolakan, tak jarang saya dapati orang-orang yang mendasarkan argumentasinya hanya dari “siapa yang berbicara”. Sedikit sekali di antara mereka yang mendasarkannya dari “apa yang dibicarakan”. Orang-orang semacam ini, meminjam istilah novelis Pramoedya Ananta Toer, adalah mereka yang tidak adil sejak dalam pikiran.

Coba kita ambil contoh tentang dukungan dan penolakan atas KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus). Sejumlah argumen yang ia tebar di berbagai jejaring sosial, terutama yang berhubungan erat atau rangkaian dari isu penistaan, selalu saja menuai pro-kontra. Baik yang mendukung ataupun menolak, sekali lagi, mendasarkan sikapnya dari “siapa dia”, bukan “apa yang disampaikan”.

Ya, yang mendukung Gus Mus tak lebih hanya karena dia adalah seorang ulama yang santun, bijak, lagi cerdas. Mereka melihat Gus Mus hanya dari sisi pribadinya semata. Mereka lupa bahwa seorang ulama sekalipun, meski dirinya santun, bijak, cerdas, dan segala nilai-nilai baik melekat dalam dirinya, tak berarti apa yang diungkapkannya selalu benar.

Tentu, tipe orang semacam ini bisa benar, bisa juga salah. Tapi ingat, dia bisa benar hanya dari “apa yang disampaikannya”. Dia bisa benar jika memang kata-katanya benar, bukan berlandas dari “siapa dia”. Baca Selanjutnya

Selasa, 06 Desember 2016

Gus Mus dan Akhlak yang Hilang dari Kita

Apa yang hilang dari kita? Kita, umat Islam di Indonesia saat ini. Bagi Quraish Shihab adalah “akhlak”. Yang Hilang dari Kita: Akhlak, judul karya terbaru Quraish Shihab.

Quraish Shihab melalui karya-karyanya kerap menjadi “oase” di tengah kegersangan keberislaman kita di Indonesia. 2007, ketika Sunni dan Syiah di Indonesia sedang melewati masa-masa yang sulit dan memprihatinkan: sentimen, bahkan konflik, Quraish Shihab hadir dengan karyanya yang menyejukkan: Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?

Kini, Quraish Shihab mengingatkan kita bahwa ada yang sedang (terancam) hilang dari kita, yakni akhlak. Beliau sendiri pernah menjadi korbannya ketika dituduh menganggap Nabi Muhammad tak dijamin masuk surga. Beliau dihujat, bahkan dicaci. Padahal, yang beliau sampaikan adalah hadis Nabi, pun (tentu) maknanya bukan Nabi tak dijamin masuk surga, melainkan dijamin bukan karena amalnya, tapi rahmat Allah.

Maka, sebagaimana hadis Nabi pada Sayyidah Aisyah, meskipun Nabi dijamin masuk surga, Nabi tetap beramal dengan kuantitas dan kualitas terbaik, bukan lantaran surga, melainkan bentuk syukur atas-Nya akan karunia nikmat-Nya, termasuk nikmat surga kelak.

Dan, yang terbaru, KH Mustofa Bisri (Gus Mus) korbannya. Di Twitter, cuitannya disamber dengan cuitan tak berakhlak. Baca Selanjutnya

Minggu, 04 Desember 2016

Lelucon Politik di Rumah Rakyat

Entah kita harus tertawa terbahak-bahak atau menangis tersedu-sedu menyaksikan sajian episode melodramatik yang tak menarik di atas panggung politik negeri ini yang bernama DPR. Sang mantan ketua yang telah lama “hilang” kini muncul dan merebut kembali tahta yang dulu didekapnya erat-erat dari genggaman “perebut” yang sebenarnya berasal dari lingkungannya sendiri.

Mungkin ada sekian banyak orang yang menggeleng-gelengkan kepala atas peristiwa politik yang “ajib” tersebut. Bisa saja kemudian orang beranggapan bahwa rumah tempat orang-orang yang terhormat tersebut tak ubahnya seperti tempat permainan kanak-kanak yang dengan mudahnya digonta-ganti pemimpinnya.

Ketika seorang anak yang ditunjuk menjadi ketua permainan itu mengundurkan diri karena akan menghadapi hukuman dari ibunya akibat kenakalannya, ia digantikan oleh temannya. Tetapi ketika si anak nakal itu kembali ke permainan, mungkin karena sudah selesai melaksanakan hukuman atau bisa jadi karena melarikan diri, ia mengambil alih lagi posisi ketua permainan itu.

Itulah sepenggal kisah dari pergantian (kembali) ketua lembaga wakil rakyat pada rapat paripurna DPR RI Rabu sore lalu. Ketua DPR yang digantikan, Ade Komarudin, sebelumnya adalah yang menggantikan orang yang kini menggantikannya lagi, Setya Novanto. Dengan demikian, jabatan ketua DPR, dalam pandangan publik kini, ibarat bola yang bisa dilempar orang ke sana ke mari sesuka hatinya. Baca Selanjutnya

Rabu, 20 April 2016

Indonesia dengan Wajah Paling Mengerikan

Kemungkinan-kemungkinan terburuk tentang Nusantara.

Andre Vltchek kerap disalahpahami sebagai penulis yang nyinyir dan keji berpendapat tentang Indonesia. Tulisan-tulisannya tentang masalah urban Jakarta kerap menghajar banyak orang. Seperti saat ia menyebut Jakarta sebagai kota fasis yang sempurna. Kota tempat masyarakat miskin diinjak dan dimarjinalkan sistem, sedangkan si kaya dipuja dan menikmati segala fasilitas publik dengan paripurna.

Gusur Menggusur Gaya Jakarta

Sebuah kota yang berkembang menjadi megaurban niscaya harus menanggung biaya sosial yang tidak murah. Kota menjadi makin tidak ramah bagi rakyat kecil. Dan, atas nama ketertiban dan keindahan, yang namanya permukiman kumuh, liar, pedagang kaki lima, kaum migran miskin, dan lain sebagainya cepat atau lambat akan menanggung akibatnya: ruang gerak mereka dibatasi, ujung-ujungnya mereka akan digusur dan tergantikan oleh ikon-ikon perekonomian firma yang angkuh.

Di Jakarta, di balik makin banyaknya gedung bertingkat, apartemen, berbagai pusat perbelanjaan yang ingar-bingar, dan mobil mewah yang berseliweran, nasib rakyat kecil seringkali ditelikung di sudut-sudut kota yang makin terbatas.

Henri Lefebvre (1974/1991), seorang teoritisi tata ruang yang mengembangkan pemikiran neo-Marxis menyatakan, yang mendominasi praktik ruang di kota-kota besar umumnya adalah representasi ruang. Para perencana dan arsitek urban terus melakukan pembaharuan perkotaan, yang ujung-ujungnya menyebabkan praktik ruang kaum miskin diubah secara radikal oleh representasi ruang para perencana dan arsitek perkotaan yang cenderung lebih pro pada kepentingan kekuatan komersial. Baca Selanjutnya

Minggu, 10 April 2016

Foto Keramat dan Sang Ratu

Pemandangan yang sama telah saya saksikan selama lebih dari separuh abad hidup saya, sejak lahir. Sebuah kelaziman yang suda di-normal-kan sehingga menjadi sebuah norma atau kaidah baku.

Entah sedang kerasukan roh apa hari itu, saya justru tergoda mempertanyakan norma baku tersebut. Mengapa sebuah gedung yang khusus dibangun untuk kegiatan ilmu pengetahuan tidak dihiasi dengan foto tokoh ilmuwan, misalnya?

Hal yang sama dapat dipertanyakan untuk gedung atau kantor yang berkait dengan olahraga, atau kesenian, atau perdagangan, atau keagamaan. Mengapa selalu dan seragam, harus foto Presiden dan Wakil Presiden? Baca Selanjutnya

Sabtu, 09 April 2016

Ahok, Fahri Hamzah, dan PKS: Antara Moral dan Citra

Salah satu yang paling dikeluhkan dari Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) adalah komunikasinya yang keras, selain statusnya yang non-Muslim. Ia kerap mengeluarkan kata-kata yang dianggap tak pantas. Tak main-main, poin ini menjadi salah satu titik kritik keras kalangan oposisi Ahok sekaligus pertimbangan bagi calon pemilih dalam Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta nanti.

Begitu juga Fahri Hamzah. Ia dipecat dari seluruh jenjang kepartaian Partai Keadilan Sejahtera (PKS) lantaran, seperti ditegurkan Ketua Majelis Syuro PKS, salah satunya tidak menjaga kesantunan dalam menyampaikan pendapat ke publik. Dengan begitu, posisinya sebagai anggota PKS, apalagi di kursi Wakil Ketua DPR RI, akan mengancam marwah PKS.

Namun, apakah itu melanggar etika atau tak etis? Pertanyaan ini penting untuk diperbincangkan, sebab jika itu menyangkut etika, maka berarti menyangkut moral: tata nilai paling dasar dari manusia. Baca Selanjutnya

Setelah Panama Papers Makan Korban

Panama Papers mulai makan korban. Perdana Menteri Islandia Sigmundur David Gunnlaugsson mengundurkan diri pada Selasa (5 April). Sigmundur dan istrinya pernah punya saham secara rahasia pada sebuah perusahaan cangkang (shell corporation) di British Virgin Island (BVI), yang mana perusahaan ini bertindak sebagai kreditor di beberapa bank di Islandia.

Hukum di Islandia memang mengharuskan anggota parlemen untuk membuka kepemilikan saham atau menjual kepemilikan saham pada perusahaan. Pada 2009 ketika masih menjabat sebagai anggota parlemen, Sigmundur memilih untuk menjual seluruh sahamnya kepada istrinya seharga 1 dolar. Namun demikian, hal ini tetap menjadi masalah. Sebab, ketika diangkat menjadi Perdana Menteri pada 2013, dirinya menentukan nasib bank-bank yang dalam kesulitan ekonomi di mana perusahaan istrinya bertindak sebagai kreditur.

Pelajaran dari Islandia adalah adanya potensi konflik kepentingan bagi pejabat publik. Baca Selanjutnya

Rabu, 06 April 2016

Mengapa Kita Mesti Khawatir pada Investasi?

INVESTASI. Mungkin, bagi sebagian besar masyarakat kita, kata itu terdengar asing dan mereka tak paham artinya. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, investasi adalah penanaman uang atau modal dalam suatu perusahaan atau proyek untuk tujuan memperoleh keuntungan. Dengan pengertian di atas menjadi jelas tujuan berinvestasi adalah untuk mengejar keuntungan sebesar-besarnya. Itulah yang akan dikejar para pengusaha ketika berinvestasi di Indonesia, apalagi dalam pidatonya, Jokowi menjamin kemudahan izin dan pembebasan lahan.

Rabu, 30 Maret 2016

Perlunya Literasi Penggunaan Media Digital dan Internet

Anak dan remaja perlu mendapatkan literasi terkait dengan penggunaan media digital dan internet, kata dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta Dina Listiorini. "Membangun pendidikan literasi harus dilakukan secara komprehensif untuk memberikan pengetahuan positif guna membangun pendidikan anak dan remaja ke arah lebih baik," katanya di Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta. Baca Selanjutnya
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Cobalah Tengok

Dartar Isi