Tampilkan postingan dengan label Farid Gaban. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Farid Gaban. Tampilkan semua postingan

Minggu, 15 Mei 2016

Standar Ganda

Yang Islamis seneng kalau tentara/polisi menindas kaum kiri dan liberal. Yang liberal dan kiri sorak-sorai ketika tentara/polisi menindas Islamis. Siapa diuntungkan dari standar ganda macam itu? Tentara/polisi! (Farid Gaban)

STANDAR GANDA. Yang Islamis seneng kalau tentara/polisi menindas kaum kiri dan liberal. Yang liberal dan kiri...
Dikirim oleh Farid Gaban pada 12 Mei 2016

Jumat, 22 April 2016

Berkelit dari Kutukan Maritim

Kita sudah tertimpa kutukan minyak. “The curse of oil”. Negeri yang pernah kaya minyak, namun kini menjadi salah satu importir minyak terbesar, sementara itu tetap saja miskin. Baca Selanjutnya

Rabu, 06 April 2016

Jalan Jokowi dan Sektor Ketiga

Jika khawatir atas dominasi parlemen, Presiden Joko Widodo sebenarnya bisa mengadopsi cara Presiden Barack Obama bergulat melawan Kongres: menghadirkan pihak ketiga. Kampanye pemilihan presiden Amerika Serikat pada 2012 ditandai persaingan ketat, seketat persaingan Jokowi versus Prabowo. Mengincar masa jabatan kedua, Obama mengandalkan isu kesehatan untuk memikat pemilih. Lewat ObamaCare, dia dan Partai Demokrat mengusulkan jaminan kesehatan murah yang disubsidi negara. Baca Selanjutnya

Rabu, 30 Maret 2016

Legal vs Ilegal

Jika benar pesawat AirAsia bisa terbang padahal tak punya jadwal, ini hanya menambah daftar jungkir baliknya semua yang disebut legal dan ilegal. Tambahkan absurditas lain: nelayan ditangkap karena menebang satu pohon tanpa izin untuk bikin perahu (ilegal); tapi pengusaha diberi izin membabat hutan ratusan ribu hektar (legal). (Sumber Cerita)

Media dan Musibah

Banyak kritik terhadap cara wartawan lapangan meliput bencana dan musibah: tak punya empati, bahkan sopan-santun. Menurutku, kritik terkeras harus ditujukan pada petinggi media (pemimpin redaksi, penanggunjawab siaran, pemilik) yang cenderung memperlakukan wartawan sekadar robot dalam mata rantai pabrik berita. (Sumber Cerita)

Menahan Diri

Sebagian wartawan percaya bahwa apa yang mereka dengar otomatis fakta. Dan bahwa setiap "fakta" dengan sendirinya harus dikabarkan. Kadang berita sangat lemah, meski faktanya bisa jadi benar. Contoh: si wartawan cuma mendengar seseorang bicara mengutip informasi sumber lain yang tidak spesifik. Wartawan seharusnya menguji apa yang dia dengar. Dan kalau tak bisa atau tak mau menguji, sebaiknya menahan diri dengan tidak (menunda) memberitakannya. (Sumber Cerita)

Selasa, 29 Maret 2016

Sumber Berita

Jarang sekali wartawan melihat langsung suatu peristiwa/kejadian. Wartawan bersandar pada nara sumber. Itu sebabnya, salah satu elemen terpenting dari berita adalah penyebutan nara sumber. Harus cukup spesifik, termasuk nama lengkap dan posisinya. Nara sumber bisa punya sudut pandang, ingatan, motif dan tingkat pengetahuan yang berbeda-beda. Salah satu keterampilan jurnalistik terpenting adalah memilih dan memilah (menguji) nara sumber. (Sumber Cerita)

Rabu, 26 Agustus 2015

Nawa Cita

Saya suka konsep Nawacita. Empat dari sembilan butir Nawacita berisi janji eksplisit memperkuat peran negara, sekaligus merupakan landasan kebijakan publik yang sosialistik. Saya senang Presiden Jokowi menyebut Nawacita dalam pidato hari ini. Tapi, tidakkah kecenderungan privatisasi dan pola-pikir privat dalam sektor publik berlawanan dengan Nawacita itu? (Farid Gaban)

Selasa, 25 Agustus 2015

Swastanisasi

Ada yang bilang, tak apa swasta/asing membangun infrastuktur transportasi publik seperti kereta cepat, jika pemerintah sendiri tak punya uang atau belum menganggapnya sebagai prioritas. Menurut saya, itu pola pikir sesat. Coba lihat transportasi Jakarta yang salah kaprah. Swasta/asing mendikte sistem transportasi publik, dengan motif masing-masing dan bersaing satu sama lain (subway, busway, jalan tol, metromini, ojek). Tak ada koherensi, prioritas, atau integrasi. Jalan sendiri-sendiri. Alih-alih memecahkan masalah, justru menimbulkan masalah. (Farid Gaban)

Senin, 24 Agustus 2015

Sektor Informal

Kemiskinan tidak hilang hanya karena kita tidak ingin melihatnya. Misalnya dengan menggusur atau menjauhkan dari pandangan mata kita. Ini pemandangan dalam kereta api ekonomi enam tahun lalu, sebelum "reformasi Jonan". Layanan kereta api kita makin baik, tapi salah satu yang harus dibayar: hilangnya pekerjaan sektor informal di stasiun dan di dalam kereta. Kemana mereka pergi? [Lihat juga note Simalakama Kereta Api].

Sabtu, 15 Agustus 2015

Jalan Tol

Megaproyek enam ruas jalan tol tetap akan dibangun di Jakarta: panjang totalnya 70 km, biayanya Rp42 triliun, dan tujuh tahun pengerjaannya. Dengan trend pertumbuhan mobil+motor spt sekarang, jalan tol itu takkan relevan lagi sebagai "solusi kemacetan" pada saat selesai dibuat. Bahkan ide "membangun jalan tol untuk mengurangi kemacetan" itu sendiri adalah gagasan salah arah, di samping memperlemah visi mass-rapid-transport yang kini sedang dibangun. Makin cepat dijalankan, makin cepat tersesat. Ini contoh penghamburan investasi infrastruktur, serta kurangnya empati pada pemerataan ekonomi. (Farid Gaban)

Kamis, 13 Agustus 2015

Ganti Menteri

Jika pergantian menteri hari ini hanya didasari alasan rupiah jeblok, indeks saham tersungkur, dan pertumbuhan ekonomi melemah, maka Pemerintahan Jokowi sejatinya masih menganut cara berpikir status quo. Menteri-menteri mudah dipasang dan dicopot. Tapi, yang lebih penting: ke arah mana nahkoda mau membawa kapalnya? (Farid Gaban)

Jumat, 07 Agustus 2015

Bukan Nasionalisme

Tak ada banjir di Singapura. Kotanya bersih. Transportasi publiknya bagus dan keren. Tidak ada debat berkepanjangan KPK-Polri. Tapi, kok, saya merasa lebih suka hidup di Indonesia, ya... Semua yang serba tertib dan predictable itu pasti menjemukan. Indonesia itu mengasyikkan mungkin justru karena kekonyolan, unpredictability dan ketidaksempurnaannya. ‪#‎ah‬ (Farid Gaban)

Kamis, 06 Agustus 2015

Pajak

Barang mewah seperti tas jinjing Louis Vuitton jadi lebih murah setelah dihapus pajak impornya. Kapan pemerintah menghapus pajak penjualan buku (dan pajak impor kertas) agar buku jadi lebih murah dan lebih laku; penulisnya dapat honor lebih layak; dan agar orang Indonesia lebih pintar? (Farid Gaban)

Selasa, 04 Agustus 2015

Infotainment

Para jurnalis ningrat secara melecehkan menyebut infotainment bukan jurnalisme. Tapi, mungkin mereka harus menelan kritik mereka sendiri. "Jurnalisme masa kini makin bergeser ke infotainment akibat motif bisnis yang mengemuka dalam industri media," kata Michael Janeway, guru besar Columbia University. Infotainment bukan lagi "anak nakal atau penumpang gelap" jurnalisme; melainkan arus besar (mainstream) jurnalisme itu sendiri. Coba cek pemberitaan soal pernikahan pejabat dan selebriti, serta pembunuhan Angeline. (Farid Gaban)

Rabu, 29 April 2015

Membeli Kebahagiaan

Ketika harus memutuskan membeli smartphone model terbaru atau membeli satu perangkat lukis cat air, saya tidak ragu memilih yang kedua. Saya tak piawai melukis, tapi menikmati kesenangan mencampur warna dan menorehkannya pada kertas. Warna-warna saling berpilin, meresap dalam pori-pori serat kertas. Mengamati hasilnya yang tak terduga adalah kebahagiaan tersendiri. Umat manusia sibuk mencari kebahagiaan. Para ekonom mengatakan, kebahagiaan merupakan indikator terbaik dari sebuah masyarakat yang sehat. Dan salah satu perdebatan klasik umat manusia: apakah uang bisa membeli kebahagiaan? Lihat Jawabannya

Kamis, 12 Februari 2015

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Cobalah Tengok

Dartar Isi