Tampilkan postingan dengan label Facebook. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Facebook. Tampilkan semua postingan

Kamis, 26 Mei 2016

Perburuan Manusia Terbesar dalam Sejarah Indonesia di Abad ke-21!

Perburuan manusia terbesar dalam sejarah Indonesia di abad ke-21 adalah perburuan Santoso di Poso yang terjadi di masa Presiden Joko Widodo, mengalahkan perburuan yang dilakukan negara terhadap Sekarmadji Maridjan Kartosoewirdjo, yang memimpin pemberontakan Darul Islam di masa Presiden Sukarno.

Jumlah pasukan yang mengepung Kartosoewirdjo adalah satu batalyon, yakni Batalyon 328 Kujang yang dipimpin Mayor Sudarman Banuarli dan yang menangkapnya adalah peleton yang dipimpin Letnan Suhanda. Jumlah pasukan yang mengepung Santoso saat ini terdiri dari 6.000 personel, yang melibatkan pasukan khusus dari seluruhan kesatuan TNI dan POLRI. Katanya, pengepungan itu membuat Santoso kini berada dalam radius 1 km2 lagi untuk dicokok. Sebelum ini dia pernah dikepung dan digempur 30.000 pasukan TNI dalam sebuah operasi khusus yang disebut “latihan perang” untuk melawan sekitar 20 anggota pasukan yang dipimpinnya.

Sudah berbulan-bulan pengepungan dilakukan, tapi sang buruan belum berhasil ditangkap hidup-hidup. Apa sebabnya operasi ini berlarut-larut? Tentu saja, jawabannya sederhana dan kita semua sudah tahu: manusia yang diburu ini adalah pahlawan bagi sebagian masyarakat Sulawesi Tengah. Saat negara abai terhadap pembantaian ribuan warga dan penghancuran kampung-kampung di sana, dengan segala kekurangannya Santoso tampil sebagai pembela. Dalam konflik orang harus menentukan sikap, maka Santoso memilih pihak yang ingin dibelanya. Kalau aparat tidak melakukan pembiaran terhadap konflik itu, maka tidak akan ada pertumpahan darah. Masalah tidak akan berlarut-larut ketika hukum ditegakkan dengan benar, cepat dan adil. Kalau aparat ingin mendapatkan Santoso hidup-hidup, maka harus mengobati luka dan penderitaan masyarakat Islam dan Kristen di Sulawesi Tengah karena telah membiarkan mereka saling membantai dan menderita akibat konflik. Baca Selanjutnya

Selasa, 17 Mei 2016

Menolak Pelarangan dalam Mengakses Pengetahuan

PERNYATAAN SIKAP "LINGKAR MAHASISWA INDONESIA DI LUAR NEGERI": MENOLAK PELARANGAN DALAM MENGAKSES PENGETAHUAN

*siaran pers ini bebas untuk disebarkan, dikutip, dan diterbitkan ulang*

Peristiwa pelarangan diskusi, pemutaran film, dan pembubaran pementasan teater, yang berlanjut dengan penyisiran buku-buku oleh aparat keamanan, menjadi kabar yang santer terdengar belakangan dari tanah air. Secara masif, berpola, dan tiba-tiba, peristiwa-peristiwa tersebut juga dibarengi dengan penangkapan dan intimidasi terhadap individu dan kelompok yang menyimpan dan menggunakan atribut yang secara sepihak ditafsirkan sebagai promosi komunisme.

Untuk itu kami, Lingkar Mahasiswa Indonesia di Luar Negeri, menyatakan sikap menolak atas cara-cara yang ditempuh negara tersebut. Jejaring mahasiswa Indonesia yang tengah menempuh pendidikan di berbagai belahan dunia ini menyatakan dengan tegas bahwa peristiwa penggeledahan dan penyitaan buku oleh aparat keamanan, yang merampas hak orang untuk mengakses pengetahuan, adalah sebentuk sikap anti-intelektual. Atas praktik demikian, kami menilai negara sebenarnya sedang melakukan perbuatan melanggar hukum dan mengabaikan hak-hak sipil yang dilindungi oleh konstitusi di Republik Indonesia.

Kalau ini dibiarkan, cara-cara tersebut bisa diartikan sebagai operasi teror negara terhadap warganya.

Situasi ini jelas berpotensi menciptakan rasa tidak aman bagi warga negara untuk berpikir dan berpendapat, yang berimbas pada praktik-praktik swa-sensor pengetahuan dan kebuntuan gagasan. Padahal, rasa aman, terutama rasa aman mengakses pengetahuan, adalah prasyarat yang mutlak dibutuhkan bagi kemajuan suatu bangsa. Pengetahuan, menurut kami yang hingga siaran pers ini beredar terdiri dari 123 mahasiswa di 25 negara, adalah kunci untuk membebaskan keterjajahan, seperti yang sudah ditunjukkan oleh para pendiri bangsa ini. Hanya dengan begitu, cita-cita Indonesia untuk bisa berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa besar lain di dunia dapat dicapai. Baca Selanjutnya

Minggu, 15 Mei 2016

Standar Ganda

Yang Islamis seneng kalau tentara/polisi menindas kaum kiri dan liberal. Yang liberal dan kiri sorak-sorai ketika tentara/polisi menindas Islamis. Siapa diuntungkan dari standar ganda macam itu? Tentara/polisi! (Farid Gaban)

STANDAR GANDA. Yang Islamis seneng kalau tentara/polisi menindas kaum kiri dan liberal. Yang liberal dan kiri...
Dikirim oleh Farid Gaban pada 12 Mei 2016

Sabtu, 14 Mei 2016

Nikmatilah Liberalisme, Ekspresikan Tololmu!

Hanya dengan tiga kali twit, dia sudah bisa melakukan 3 kesalahan langsung.

"saya nggak heran kaum liberalis pada belain komunis, ya mereka itu sama-sama nggak suka agama, hati-hati bahaya komunisme dan liberalisme"

Kaum liberalis membela komunis? Apa yang dia maksud kaum liberalis itu?

"ramenya wacana komunisme sekarang setidaknya bisa menunjukkan, dan yang pro-komunisme, pemikirannya sudah pasti tidak Islami, siapapun dia"

Membela kelas tertindas, itu tidak Islami kah?

"dan penguasa sekarang memang lucu, sila pertama KETUHANAN tapi fobia Islam, tapi ketika ada ancaman komunisme, dianggap enteng."

Yang ribut2 itu bukannya Menhan, Koh? Dia bukan pemerintah?

*Note: sebagian yg ada di atas adalah reply saya pada ybs di Twitter*

(Abdul Gaffar Karim)

Pernyataan Sikap KontraS tentang “Rekayasa Operasi Anti Komunis”

KontraS mencatat bahwa maraknya operasi anti komunisme atau PKI merupakan rekayasa dan tindakan yang berlebihan. Kami mencatat bahwa apa yang terjadi dalam kurun waktu beberapa hari ini di bulan Mei, terutama pasca Simposium Masalah 1965 dan upaya pendataan kuburan massal peristiwa 1965, merupakan upaya menciptakan “musuh” dan situasi kegentingan atas kebangkitan komunisme atau PKI di berbagai tempat di Indonesia. Tindakan ini sungguh aneh karena PKI, yang merupakan Partai Komunisme Indonesia sudah dibubarkan. Komunisme pun harus dilihat sebagai pengetahuan umum di antara pengetahuan umum lainnya, yang dibaca dan dipelajari sebagai sebuah pengetahuan sosial. Lalu kenapa ada upaya menciptakan ketakutan pada pengetahuan ini? Jadi situasi ini merupakan musuh yang diciptakan.

Ketidakwarasan juga terlihat dari tindakan di lapangan yang terjadi dalam beberapa hari ini, ketakutan pada PKI atau komunisme diwujudkan dengan mengamankan, menangkap, menyita atau melarang pemakaian kaos yang ada gambar Palu, Arit, kaos berwarna merah, film yang membahas pelanggaran HAM, intimidasi ke penerbit buku. Semua tindakan ini tidak berhubungan dengan suatu tindak pidana apapun yang sudah terjadi. Situasi ini justru menunjukkan bahwa ada upaya membangun kembali peran intervensi militer di Indonesia untuk masuk merecoki kehidupan sipil demokratis di Indonesia, di mana tentara melakukan intimidasi (penerbit buku Resist di Yogyakarta, 11 Mei 2016), Menangkap seseorang di Ternate, 11 Mei 2016).

Apa yang terjadi saat ini adalah sebuah Operasi, bergaya Orde Baru dengan sedikit menggunakan peran teknologi informasi. Operasi ini memiliki pembagian peran:

Pertama, operasi tertutup, propaganda menyebarkan broadcast informasi atribut-atribut “PKI” atau “Komunis” seperti di Palembang beredar berbagai striker PKI. Penyebaran informasi perihal PKI juga banyak beredar di jejaring media sosial yang luas digunakan publik Indonesia seperti Facebook, Twitter, Instagram. Kami melihat ada beberapa motif: (a). Menunjukkan bahwa PKI masih ada, (b). Menyulut rasa ketidaksukaan kelompok sosial lainnya yang cenderung berada di garis konservatif. Baca Selanjutnya

Militerisme Menghadang Jalan Demokrasi, Ayo Bersatu Rebut Kembali

Konstitusi Indonesia dengan jelas menyatakan melindungi hak warga untuk berkumpul dan menyatakan pendapat serta berekspresi. Sebagaimana tertuang pada pasal 28, 28 E ayat (2) dan (3) serta pasal 28 F. Jaminan perlindungan tersebut merupakan fondasi bagi kehidupan demokrasi yang sehat dan negara hukum yang berdaulat

Namun melihat data pelanggaran atas hak berkumpul dan berpendapat serta berekspresi yang dicatat oleh organisasi pemantau seperti KontraS, Elsam, LBH Jakarta, SAFENET memperlihatkan paling tidak ada 41 kali diabaikannya hak sipil tersebut sejak Januari 2015 sampai Mei 2016 dalam bentuk pelarangan, intimidasi, pembubaran paksa, penangkapan sewenang-wenang, pembredelan, pencekalan, dan lain-lain.

Frekuensi pelarangan, intimidasi, pembubaran paksa, penangkapan sewenang-wenang, pembredelan, pencekalan, dan lain-lain cenderung meningkat, terutama pada tahun 2016 paling tidak ada 4-5 kali peristiwa per bulan (seminggu paling tidak ada 1 peristiwa).

Yang terbaru adalah penangkapan aktivis literasi Adlun Fiqri dan aktivis lingkungan Supriyadi Sawai dari Ternate Maluku Utara yang ditangkap 4 intel Kodim 1501 Ternate hanya karena memakai kaos bertuliskan Pecinta Kopi Indonesia. Penangkapan tersebut seperti penangkapan-penangkapan lainnya yang dicap sebagai bagian menangkap komunis sebenarnya adalah bentuk teror dan penyebaran ketakutan yang diciptakan agar warga bereaksi negatif pada para aktivis, gerakan rakyat, kelompok minoritas, sehingga mengaburkan upaya penyelesaian persoalan masa lalu Indonesia pada tahun 1965-1969 dan banyak pelanggaran HAM lainnya.

Tindakan penangkapan dan penggeledahan serta penyitaan sewenang-wenang atau perampasan kemerdekaan warga negara Indonesia di sejumlah wilayah ini sama sekali tidak berdasarkan hukum yang sah dan bahkan melawan hukum! Dalam hal ini Konstitusi, Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU HAM, dan Kovenan Intersnasional Hak-hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi oleh Indonesia tahun 2005 dan Peraturan Kapolri tentang Standart HAM. Tindakan melawan hukum ini dibungkus oleh negara dengan menggunakan landasan hukum usang TAP MPRS No. XXV Tahun 1996 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, yang sesungguhnya telah ditinjau ulang keberlakuannya melalui TAP MPR No. I Tahun 2003 yang menyatakan: Baca Selanjutnya

Jumat, 06 Mei 2016

Derrida dan Pemaafan

Banyak kerancuan timbul dari pemahaman atas konsep Jacques Derrida tentang “pemaafan” (forgiveness). Itu tercermin, misalnya, dari “Maaf”, Catatan Pinggir Goenawan Mohamad (GM) yang baru-baru ini terbit. Tulisan itu mendemonstrasikan kerancuan penulisnya dalam memahami, dan mendudukkan secara “dekonstruktif”, konsep Derridean tentang “maaf”.

Esai Derrida tentang pemaafan yang kerap dikutip adalah “On Forgiveness” (1997), meski terdapat banyak teks lain yang ditulisnya menyinggung problematik itu, dalam satu dan lain cara—salah satunya, “Force of Law: The ‘Mystical Foundation of Authority’” (1990). Dengan membaca teks yang terakhir ini, kita bisa mengetahui mengapa Derrida ingin mengatasi Hukum dan mengejar ketakbersyaratan (unconditionality). Tanpa membaca, setidaknya, dua teks ini secara bersamaan, cara baca kita berisiko myopia, seperti Paktua Goen yang kian pikun.

1. Problematik pemaafan, dalam Derrida, tidak lepas dari problematik keadilan. GM melepas maaf dari pertanyaan tentang keadilan. Argumennya membebaskan Negara dari tuntutan keadilan dan permintaan maaf yang dialamatkan oleh para korban 1965, dan mendorong korban agar memaafkan secara tak bersyarat atas kejahatan Negara. Inilah konsekuensi dari melihat maaf secara terisolir dari problem keadilan. Pandangan ini sangat simplistik, dibandingkan dengan Derrida. Derrida melihat maaf dan keadilan sekaligus sebagai sesuatu yang paradoksal dan kontradiktif, namun harus sama-sama dihitung. Inilah logika “aporia”. Logika ini berlaku baik bagi pelaku maupun korban.

Bagi pelaku: mungkinkah dia meminta maaf, tanpa mengorbankan keadilan yang harus dipenuhinya kepada korban? Bagaimana memenuhi keadilan itu, di hadapan korban yang kehidupannya tak tergantikan dan kebebasannya telah ia renggut? Kritik Derrida, dalam “On Forgiveness”, menyoroti permintaan maaf dari pelaku yang selama ini bersifat seremonial dan basa-basi belaka. Pelaku meminta maaf—dan terkadang memaksa korban untuk memaafkan—namun ia tidak mampu memenuhi tuntutan keadilan. Inilah model permintaan maaf “transaksional”, yang sering dipraktikkan oleh negara-negara untuk mendukung impunitas. Jawab Derrida: tidak mungkin dia meminta maaf; dan kalaupun ia meminta maaf, permintaan maaf itu tak pernah cukup untuk mengganti kerugian yang diderita oleh korban. Inilah ketidakbersyaratan, dari sisi pelaku. Permintaan maaf harus didorong sampai pada batasnya yang mustahil dan “tak bersyarat”, karena, di hadapan korban, pelaku bukan subjek yang berdaulat. Ia harus tunduk pada imperatif korban, yang tak terbatas, yang tak bersyarat. Baca Selanjutnya

Rabu, 04 Mei 2016

Media Nasional

Di hadapan pemasang iklan, banyak yang mengaku sebagai "media nasional" dengan jangkauan distribusi dari Sabang sampai Merauke.

Namun tiba saatnya memberitakan, bahkan peristiwa sebesar ini pun tidak ada di halaman depan atau segmen utama?
Poster: LBH Jakarta

Senin, 02 Mei 2016

Rayuan Pulau Palsu

POLISI-TENTARA dengan radio genggam, ada di baris belakang. Saat film "Rayuan Pulau Palsu" diputar, tepuk tangan pecah pada adegan-adegan yang menguatkan sikap mereka menolak reklamasi Teluk Jakarta.

Sudah lama saya tak berada di tengah layar tancap seperti ini, sejak masa kecil silam di mana Departemen Penerangan membawa film keliling untuk penyuluhan program KB atau pertanian.

Agustus 2014, seribuan orang juga memenuhi lapangan Museum Fatahilah, Jakarta, untuk menyaksikan layar tancap "Yang Ketu7uh".

Bedanya, semalam di Muara Angke, cemooh dan makian dilontarkan begitu saja saat gambar-gambar menunjukkan hal-hal yang tak mereka sukai. Sebagian bahkan cenderung kasar.

Tapi inilah forum rakyat. Saya tak berharap reaksinya seperti kaum ningrat terpelajar yang "tertib", atau menutup mulutnya saat seharusnya tertawa ngakak.

Nama-nama pejabat publik diteriakkan di antara makian.

Anak-anak duduk tertib di baris depan. Tak ada yang ribut atau berlarian. Orang dewasa berdiri selama 60 menit durasi film diputar.

Orang tak peduli lagi menonton dari sisi layar yang salah, sehingga semua teks akan terbaca terbalik.

Dua jam mereka menunggu. Sebab layar diempas angin dan terlepas. Tapi orang-orang bergegas memanjat bambu, mengikatnya lebih erat, dan melubangi kainnya. Layar 6x4 meter ini hasil gotong royong kawan-kawan aktivis dan relawan yang menjahit sendiri. Baca Selanjutnya

Jumat, 22 April 2016

Karakter dan Uang

Puthut Ea - Puthut Ea shared Helvy Tiana Rosa's post. | Facebook

Berkelit dari Kutukan Maritim

Kita sudah tertimpa kutukan minyak. “The curse of oil”. Negeri yang pernah kaya minyak, namun kini menjadi salah satu importir minyak terbesar, sementara itu tetap saja miskin. Baca Selanjutnya

Rabu, 20 April 2016

Dari The Ohio Mafia hingga Puisi Esai

"The Ohio Mafia". Frasa itu diperkenalkan oleh Rizal Mallarangeng dalam kata pengantar terjemahan disertasinya, "Mendobrak Sentralisme Ekonomi" (judul asli: "Liberalizing New Order Indonesia: Ideas, Epistemic Community, and Economic Policy Change, 1986-1992"), yang terbit pada 2002 silam. Baca Selanjutnya

Aktivis

Siapakah 'aktivis' itu? Apakah dia sebuah profesi? Pertanyaan itu mungkin sudah lama ngendon di diri Anda. Setidaknya sudah lama ada di diri saya.

Pertanyaan itu menurut saya susah dijawab. Tapi mungkin mudah bagi Anda. Kalau dia adalah profesi, siapa yang membayar dia? Perusahaan, lembaga donor, negara, atau organisasi yang menaunginya?

Kalau dia bukan profesi, lalu apa? Bagian dari sikap politik? Misalnya, dosen juga bisa jadi aktivis. Cari makannya dari dia menjadi dosen, ketika melakukan aktivitas politik maka dia menjadi aktivis. Dengan begitu, seniman, penulis, tukang batu, penjual bakso, semua bisa jadi aktivis. Kalau begitu berarti aktivis adalah pengoptimalan waktu senggang. Waktu yang tersisa. Karena tugas utama mereka ada pada profesi yang mereka geluti. Baca Selanjutnya

Senin, 18 April 2016

Melek Politik

Jika anda mau melek politik dan memilih pemimpin tambatan hati, sebelumnya tentukan dulu standar anda. Agar anda punya prinsip, standar sebelum figur. Standar mengenai politik, proses keputusan, keberpihakan, arah/cara pembangunan, dll. Itu sebagian besar dimuat dalam ideologi, membentuk ideologi, meski tidak mesti anda harus setuju pada seluruh isi ideologi. Bagaimana anda bisa melek politik, jika anda tak mau menoleh ideologi? Baiklah politik terlalu najis. Kita ganti, bagaimana anda mengklaim bangga atas negeri, bagaimana mau menjadi warga negara yang baik, bagaimana mau memperbaiki nasib bangsa sendiri tanpa menoleh pada tema-tema ideologi? Tanpa itu, saya percaya anda cuma penganut oportunisme atau tertipu oleh populisme. Bahaya terbesar demokrasi adalah oportunisme segelintir dan populisme massa. (Priyo Djatmiko)

Kamis, 14 April 2016

Propaganda Perang Kelas Telah Ditabuh!

Para intelektual liberal-sayap kanan sedang panik menyaksikan aliansi antara kelas menengah progresif dan rakyat jelata.

"Tweet" ini ditulis oleh LA (dedengkot JIL dan Freedom Institute, pendiri/pengelola situs liberal Qureta) menanggapi pembelaan para aktivis dalam penggusuran pemukiman rakyat oleh Ahok.

Propaganda perang kelas telah ditabuh!

(Muhammad Al-Fayyadl)

Sabtu, 09 April 2016

Kembalikan Indonesia: Haluan Baru Keluar dari Kemelut Bangsa

Buku ini, "Kembalikan Indonesia: Haluan Baru Keluar dari Kemelut Bangsa" (Jakarta: Sinar Harapan, 2004), ditulis oleh Prabowo Subianto sepuluh tahun silam. Saya mendapatkan buku ini dari seorang kawan di Batavia, pekan lalu. Ini adalah buku yang menawarkan perspektif tajam, terutama terkait soal ekonomi politik Indonesia pasca-Reformasi. Baca Selanjutnya

Kamis, 07 April 2016

Pembangunan (DI) Indonesia

Bung Hatta selalu menempatkan daya beli rakyat sebagai indikator penting pembangunan, selain indikator ketersediaan lapangan kerja. Itu sebabnya ia selalu menekankan bahwa porsi kapital dan tenaga kerja nasional dalam perekonomian harus dominan. Tentu saja kita membutuhkan kapital asing. Namun, Hatta mewanti-wanti bahwa rente kapital asing sangat mahal, sehingga setiap kegiatan pembangunan yang melibatkan kapital asing harus diperhitungkan benar, dimana pembayaran rente dan cicilannya harus berasal dari proyek yang dibangun dari kapital bersangkutan, dan bukan berasal dari pajak rakyat.

Rabu, 06 April 2016

Jalan Jokowi dan Sektor Ketiga

Jika khawatir atas dominasi parlemen, Presiden Joko Widodo sebenarnya bisa mengadopsi cara Presiden Barack Obama bergulat melawan Kongres: menghadirkan pihak ketiga. Kampanye pemilihan presiden Amerika Serikat pada 2012 ditandai persaingan ketat, seketat persaingan Jokowi versus Prabowo. Mengincar masa jabatan kedua, Obama mengandalkan isu kesehatan untuk memikat pemilih. Lewat ObamaCare, dia dan Partai Demokrat mengusulkan jaminan kesehatan murah yang disubsidi negara. Baca Selanjutnya

Rabu, 30 Maret 2016

Legal vs Ilegal

Jika benar pesawat AirAsia bisa terbang padahal tak punya jadwal, ini hanya menambah daftar jungkir baliknya semua yang disebut legal dan ilegal. Tambahkan absurditas lain: nelayan ditangkap karena menebang satu pohon tanpa izin untuk bikin perahu (ilegal); tapi pengusaha diberi izin membabat hutan ratusan ribu hektar (legal). (Sumber Cerita)

Ekonomi Pemerintahan

Seorang kolega Profesor Sri-Edi Swasono yang lebih muda, yang juga seorang guru besar FE-UI, mengeluhkan kepadanya tentang para ekonom jaman kiwari yang sekadar jadi "PHD". Bukan 'Philosophy Doctor', tapi "Pintar Hitung Doang". Pendek kata, sekadar pintar ekonometri. "Sebagian teman-teman itu merasa menjadi 'ekonom murni' itu suatu kebanggaan. Apalagi mereka kan tidak dapat kuliah ilmu politik, administrasi negara, atau semacam itu, yang dahulu hanya didapat oleh mereka yang mengambil Jurusan Ekonomi Pemerintahan kan, Pak?" Demikian keluh kesah sang kolega. Baca Selanjutnya
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Cobalah Tengok

Dartar Isi