Tampilkan postingan dengan label Dandhy Dwi Laksono. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dandhy Dwi Laksono. Tampilkan semua postingan

Senin, 09 Januari 2017

Memerangi Hoax dengan Blokir dan Tangkap?





Minggu, 11 Desember 2016

Bela Agama

Namanya Gunritno. Seorang penganut “Sedulur Sikep” atau pengikut ajaran Samin asal Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. Kolom agama di KTP-nya dikosongkan karena negara belum mengakui agama “Adam” yang dipeluknya. (Meski dalam beragama, seseorang tak butuh pengakuan siapapun, termasuk negara).

Ia sedang berjalan kaki bersama para petani dari Rembang menuju Semarang (135 km) untuk menuntut pemerintah segera melaksanakan putusan Mahkamah Agung yang membatalkan izin pembangunan pabrik semen di pegunungan Kendeng utara. Sebab ada gelagat pemerintah tetap melanjutkan proyek itu dengan mengeluarkan kajian lingkungan dan izin baru.

Menteri BUMN dan anggota DPR menyatakan pembangunan pabrik berkapasitas 3 juta ton per tahun —yang kadung mengambil duit utangan dari Bank Mandiri itu– akan jalan terus.

Bukan kali ini saja Gunritno “merepotkan” negara. Tahun 2009, ia bersama warga Pati juga memenangi gugatan melawan PT Semen Gresik. Setelah kalah di Pati, perusahaan BUMN itu lalu pindah ke Rembang (lalu berganti nama induk perusahaan menjadi PT Semen Indonesia).

Salah satu ajaran Sedulur Sikep yang dianut Gunritno, melarang pengikutnya mencari penghidupan dari berdagang (candak kulak). Dan karena mereka juga tidak bersekolah formal, maka “orang Samin” tidak bisa menjadi karyawan atau pegawai.

Dus, satu-satunya sumber kehidupan adalah bertani. Karena itu mereka membutuhkan tanah dan sumber air yang dipasok pegunungan karst yang kini menjadi incaran untuk bahan baku semen. Baca Selanjutnya

Sabtu, 10 Desember 2016

Makar dan Senyum Presiden

Apa yang kami takutkan dilakukan Prabowo, dan jadi alasan kami memilih Jokowi, ternyata dilakukan Presiden Joko Widodo saat ini.

Pagi ini sedih membaca berita ada penangkapan lain dini hari ini melanjutkan 10 orang sebelumnya. Hatta Taliwang, seorang orang tua lainnya, dijadikan tersangka dan ditahan.

Hanya di era berhawa fasis, kata radikal yang sebenarnya bagus telah mengalami pembusukan. Sementara kata-kata disiplin dan tertib menjadi segar dan mulia

Riwayat tindakan fasistik dan standar ganda penegakan hukum terlihat begitu merisaukan. Orang yang berencana mengajak masyarakat mendatangi parlemen, dianggap makar dan ditangkapi, sementara mereka yang membubarkan ibadah di Bandung diajak berunding oleh polisi dan pemerintah daerah.

Kita memang perlu awas dan jangan pernah meremehkan tindakan fasis kecil-kecilan seperti pembubaran acara-acara diskusi, bedah buku atau nobar-nobar film. Sebab, bila berhasil, mereka akan mencoba membubarkan yang lebih besar: ibadah, lalu negara.

Yang pernah mengalami gelapnya Orde Baru semestinya takut hal ini: Presidennya senyam-senyum ramah, polisinya nangkepin orang dini hari dengan dalih yang dituturkan media sebagai tindakan mengamankan. Baca Selanjutnya

Sabtu, 14 Mei 2016

Militerisme Menghadang Jalan Demokrasi, Ayo Bersatu Rebut Kembali

Konstitusi Indonesia dengan jelas menyatakan melindungi hak warga untuk berkumpul dan menyatakan pendapat serta berekspresi. Sebagaimana tertuang pada pasal 28, 28 E ayat (2) dan (3) serta pasal 28 F. Jaminan perlindungan tersebut merupakan fondasi bagi kehidupan demokrasi yang sehat dan negara hukum yang berdaulat

Namun melihat data pelanggaran atas hak berkumpul dan berpendapat serta berekspresi yang dicatat oleh organisasi pemantau seperti KontraS, Elsam, LBH Jakarta, SAFENET memperlihatkan paling tidak ada 41 kali diabaikannya hak sipil tersebut sejak Januari 2015 sampai Mei 2016 dalam bentuk pelarangan, intimidasi, pembubaran paksa, penangkapan sewenang-wenang, pembredelan, pencekalan, dan lain-lain.

Frekuensi pelarangan, intimidasi, pembubaran paksa, penangkapan sewenang-wenang, pembredelan, pencekalan, dan lain-lain cenderung meningkat, terutama pada tahun 2016 paling tidak ada 4-5 kali peristiwa per bulan (seminggu paling tidak ada 1 peristiwa).

Yang terbaru adalah penangkapan aktivis literasi Adlun Fiqri dan aktivis lingkungan Supriyadi Sawai dari Ternate Maluku Utara yang ditangkap 4 intel Kodim 1501 Ternate hanya karena memakai kaos bertuliskan Pecinta Kopi Indonesia. Penangkapan tersebut seperti penangkapan-penangkapan lainnya yang dicap sebagai bagian menangkap komunis sebenarnya adalah bentuk teror dan penyebaran ketakutan yang diciptakan agar warga bereaksi negatif pada para aktivis, gerakan rakyat, kelompok minoritas, sehingga mengaburkan upaya penyelesaian persoalan masa lalu Indonesia pada tahun 1965-1969 dan banyak pelanggaran HAM lainnya.

Tindakan penangkapan dan penggeledahan serta penyitaan sewenang-wenang atau perampasan kemerdekaan warga negara Indonesia di sejumlah wilayah ini sama sekali tidak berdasarkan hukum yang sah dan bahkan melawan hukum! Dalam hal ini Konstitusi, Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU HAM, dan Kovenan Intersnasional Hak-hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi oleh Indonesia tahun 2005 dan Peraturan Kapolri tentang Standart HAM. Tindakan melawan hukum ini dibungkus oleh negara dengan menggunakan landasan hukum usang TAP MPRS No. XXV Tahun 1996 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, yang sesungguhnya telah ditinjau ulang keberlakuannya melalui TAP MPR No. I Tahun 2003 yang menyatakan: Baca Selanjutnya

Rabu, 04 Mei 2016

Media Nasional

Di hadapan pemasang iklan, banyak yang mengaku sebagai "media nasional" dengan jangkauan distribusi dari Sabang sampai Merauke.

Namun tiba saatnya memberitakan, bahkan peristiwa sebesar ini pun tidak ada di halaman depan atau segmen utama?
Poster: LBH Jakarta

Senin, 02 Mei 2016

Rayuan Pulau Palsu

POLISI-TENTARA dengan radio genggam, ada di baris belakang. Saat film "Rayuan Pulau Palsu" diputar, tepuk tangan pecah pada adegan-adegan yang menguatkan sikap mereka menolak reklamasi Teluk Jakarta.

Sudah lama saya tak berada di tengah layar tancap seperti ini, sejak masa kecil silam di mana Departemen Penerangan membawa film keliling untuk penyuluhan program KB atau pertanian.

Agustus 2014, seribuan orang juga memenuhi lapangan Museum Fatahilah, Jakarta, untuk menyaksikan layar tancap "Yang Ketu7uh".

Bedanya, semalam di Muara Angke, cemooh dan makian dilontarkan begitu saja saat gambar-gambar menunjukkan hal-hal yang tak mereka sukai. Sebagian bahkan cenderung kasar.

Tapi inilah forum rakyat. Saya tak berharap reaksinya seperti kaum ningrat terpelajar yang "tertib", atau menutup mulutnya saat seharusnya tertawa ngakak.

Nama-nama pejabat publik diteriakkan di antara makian.

Anak-anak duduk tertib di baris depan. Tak ada yang ribut atau berlarian. Orang dewasa berdiri selama 60 menit durasi film diputar.

Orang tak peduli lagi menonton dari sisi layar yang salah, sehingga semua teks akan terbaca terbalik.

Dua jam mereka menunggu. Sebab layar diempas angin dan terlepas. Tapi orang-orang bergegas memanjat bambu, mengikatnya lebih erat, dan melubangi kainnya. Layar 6x4 meter ini hasil gotong royong kawan-kawan aktivis dan relawan yang menjahit sendiri. Baca Selanjutnya

Rabu, 25 November 2015

Kemiskinan dan Niat Baik di Papua

Sejatinya kita merancukan dua hal: pertama, gagal membedakan antara kemiskinan dan gaya hidup, dan kedua, hanya melihat kemiskinan melulu pada soal daya beli (tak banyak pendapatan berupa uang). Cara berpakaian, cara hidup, bahan pangan, konsep rumah, atau cara memasak adalah gaya hidup. Tidak ada sangkut pautnya dengan kemiskinan. Bila kita memberinya kompor dengan niat baik untuk membantu, justru kita menjerumuskannya dalam masalah: memaksa ia membeli minyak tanah atau gas, sementara aksesnya sulit dan butuh uang. Lihat Selengkapnya

Senin, 18 Mei 2015

Menguruk Laut ala Bajo

Muhammad Saleh bergegas menuruni tangga rumah panggungnya dari pintu belakang. Di batas cakrawala, matahari memang belum tampak, tapi biru gelapnya telah berganti merah dan jingga. Istrinya telah membekali dengan bungkusan, karena ia baru akan kembali menjelang petang. Pria 62 tahun ini harus berkejaran dengan kondisi air laut yang sedang surut menuju pasang. Tak hanya karena perahunya ditambatkan jauh dari perkampungan, tapi juga karena air pasang akan menyulitkannya membongkar karang yang telah mati. Modalnya linggis dan palu. Sudah 15 tahun Saleh menjadi pencari karang mati untuk bahan reklamasi di kampungnya di Pulau Bungin, Kecamatan Alas, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Inilah pulau yang disebut-sebut sebagai pulau terpadat di dunia, karena luasnya hanya 12 hektare dan dihuni 900 keluarga atau sekitar 3.123 jiwa.

Rabu, 13 Mei 2015

Kalkulator Sampah Tuan Guru

Andita Mustaphari dan Resta Triana tak tampak canggung. Santri kelas 2 madrasah aliyah ini mengangkuti sampah dari dapur, kamar-kamar di asrama putri, hingga halaman Pesantren Nurul Haramain, di Kecamatan Narada, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Gadis-gadis remaja ini segera meloncat ke atas bak mobil begitu sampah telah terisi penuh. Tujuannya kompleks pesantren putra, tempat sampah-sampah itu akan dibakar di dalam tungku bersuhu 600 derajat Celsius. Di kompleks pesantren putra, Tuan Guru Hasanain Juaini (51 tahun) sedang melantik pengurus organisasi santri yang baru. Di antara pengurus ada bagian kebersihan pesantren yang digawangi Beni Putra dan Johanes Purwadi. Lihat Selengkapnya
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Cobalah Tengok

Dartar Isi