Tampilkan postingan dengan label Berisik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Berisik. Tampilkan semua postingan

Jumat, 25 Maret 2016

Politik dan Ilmu

Politik menetapkan tujuan, baru kemudian ilmu datang untuk mengabdi. Itulah ajaran Bung Hatta mengenai bagaimana politik perekonomian Indonesia seharusnya digariskan. Para teknokrat ekonomi, sejak generasi Mafia Berkeley, membalik pemikiran ini. Politik perekonomian, oleh mereka, didesain untuk tunduk kepada ilmu ekonomi. Persoalannya, ilmu ekonomi yang mereka rujuk adalah ilmu ekonomi yang lahir dari sejarah Revolusi Industri, yang menyimpan kepentingan ekspansi barang dan kapital negara-negara maju.

Rabu, 03 Juni 2015

Pancasila dan Amnesia Kebangsaan

Dalam buku Sukarno, A Political Biography (1972), John D. Legge menulis sebuah bab menarik mengenai pergulatan ideologi di Indonesia. Menurut Legge, di antara para pemimpin Asia, Soekarno merupakan satu-satunya pemimpin yang membebani dirinya untuk merumuskan ideologi sendiri buat bangsanya. Ini berbeda, misalnya, dengan Gandhi yang lebih tertarik kepada kemanusiaan universal; Nehru yang terlalu santun, sehingga karenanya tak membutuhkan ideologi apapun untuk menyokong keyakinan politiknya; ataupun Ho Chi Minh yang memilih tetap bersetia pada kemapanan Marxisme. Lihat Selengkapnya

Selasa, 26 Mei 2015

Melawan Penistaan Buku

Ya Tuhan, koleksi buku di perpustakaan itu gila. Ada banyak sekali buku-buku klasik dan penting terbitan Pustaka Jaya, Graffiti Press, juga LP3ES. Per judulnya dikasih banyak serep, jadi nggak cuma satu eksemplar. Saya comot satu buku yang paling bikin saya ngiler, Pemberontakan Petani Banten-nya Pak Sartono Kartodirdjo. Setelah skimming beberapa halaman, sampailah di halaman paling belakang tempat bertengger daftar peminjaman. Mata saya langsung mendelik. Peminjaman terakhir dilakukan pada tahun 1990-an. Mungkin 1995. Lebih dari sepuluh tahun buku ini nggak ada yang nyentuh!! Itu berarti minimal sudah satu dasawarsa buku penting tersebut ditelantarkan, dizalimi, tidak mendapat kesempatan untuk menjalankan fungsi yang semestinya dalam peradaban! (Uhuk!) Lihat Selengkapnya

Minggu, 24 Mei 2015

Hidoep Bahasya Endonesya

Saya tuliskan empat kata di atas kertas: BAD, BAT, BED, dan BET. “Gimana kalian ngucapin ini? Coba satu-satu,” kata saya. Mereka pun membaca kata-kata itu satu persatu. Hasilnya, meskipun tetap ada bedanya satu sama lain, kuping Mbantul saya mesti bekerja ekstra-keras untuk mencernanya. Itu pun mereka sudah sangat pelan membaca, tidak secepat waktu ngobrol. Saya jamin, kalau salah satu kata itu diucapkan sewaktu ngobrol, saya harus bertanya satu-dua kali untuk memastikan apakah yang mereka maksud itu BURUK, atau KELELAWAR, atau RANJANG, atau TARUHAN. Lihat Selengkapnya

Jumat, 08 Mei 2015

Strategi Kebudayaan? Defisit!

Lewat tulisannya, “Strategi Kebudayaan? Cukup!” di Kompas (24/03), Donny Gahral Adian (DGA) menawarkan ketelanjangan pada kita: tanggalkanlah seluruh kehendak, karena ia bisa memperbudak kita. Dengan menyebut Strategi Kebudayaan sebagai menempatkan manusia dalam posisi obyek, mau tidak mau DGA sedang menjadikan term ‘obyek’ sebagai bola liar yang boleh menerabas apa pun. Sehingga, misalnya, karena memakai celana adalah bagian dari imperatif tradisi dan kesusilaan, kita pun mungkin perlu untuk menanggalkannya. Lihat Selengkapnya
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Cobalah Tengok

Dartar Isi