Tampilkan postingan dengan label Azhar Irfansyah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Azhar Irfansyah. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 03 Desember 2016

Mendudukkan Kembali Prasangka Negatif atas Gerakan Islam

Apa yang mengkhawatirkan dari kebangkitan gerakan Islam, dengan Islam Politik sebagai salah satu eksponennya, di Indonesia hari ini adalah ia hadir di tengah kekosongan kekuatan politik berbasis kelas dan neoliberalisasi ekonomi yang semakin gila-gilaan. Terlebih di kota seperti Jakarta. Berman dan Rose, menjelaskan bahwa neoliberalisasi ekonomi yang membawa ekses pada kehidupan sehari-hari nan keras masyarakat urban, pada akhirnya menciptakan lingkungan ideal yang memunculkan solidaritas dan identitas komunal berbasis agama. Percepatan industri yang berlangsung sejak Orde Baru menciptakan lumpenproletariat dalam jumlah besar. Merekalah, sebagai bagian dari masyarakat muslim yang sekian lama ditindas dan dihisap secara ekonomi oleh pemerintahan sekular, yang kemudian diwadahi aspirasi dan keluhannya oleh gerakan Islam secara populistik (Hadiz 2016: 43)

Ditambah perang melawan terorisme di tataran global, dua konteks di atas telah membentuk persepsi (negatif) kita terhadap Islam politik. Terlebih lagi Islam politik yang diekspresikan di jalanan.

Ada banyak prasangka-prasangka tidak sehat yang dilancarkan terhadap gerakan Islamis. Salah satu yang paling sering dikemukakan di media sosial adalah bahwa gerakan ini tidak pas dengan ekosistem nusatara dan harus diasingkan ke Timur Tengah. Ini pandangan yang sama keblingernya dengan kelompok rasis ultra-kanan Golden Dawn di Yunani yang menganggap semua kekerasan berasal dari Arab dan harus dikembalikan ke Arab.

Ada pula prasangka merendahkan yang menganggap setiap aksi massa Islam politik merupakan kerumunan pengangguran yang mengharap nasi bungkus. Pertama, prasangka semacam ini telah mengalihkan perhatian dari biang keladi pengangguran yang sebenarnya, yaitu kapitalisme. Seolah-olah gerakan Islamis itulah yang telah bertanggung jawab pada semakin mencemaskannya tingkat pengangguran, padahal kita sedang menghadapi rezim perburuhan yang mengimani fleksibilitas tenaga kerja. Kedua, dengan merendahkan massa gerakan Islamis sebagai massa yang hanya termotivasi imbalan, maka kita tidak akan bisa memahami perspektif politik mereka beserta kontradiksi-kontradiksinya. Tidak akan ada diskusi yang dapat berlangsung demokratis dan dewasa jika prasangka ini terus dipertahankan. Baca Selanjutnya

Senin, 09 November 2015

Ada Apa Dengan Polisi dan Buruh Kita

Dalam berbagai kesempatan demonstrasi, kadang saya mendengar beberapa orator buruh berbicara dalam nada yang simpatik terhadap pihak yang sedang dipaksa berhadapan dengan mereka. Biasanya dalam demonstrasi mereka akan berhadapan dengan satpam atau polisi. “Kawan-kawan, mari kita hormati para polisi yang sedang bertugas karena mereka juga buruh..” begitu seru salah satu orator dalam perayaan hari buruh pada 2014. Bagi saya sikap simpatik dari orator buruh ini adalah praktik dari politik kelas yang baik. Lihat Selengkapnya
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Cobalah Tengok

Dartar Isi