Tampilkan postingan dengan label A. Wahib Mu'thi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label A. Wahib Mu'thi. Tampilkan semua postingan

Kamis, 31 Maret 2016

Nafkah dari Suami

Tanya:
Assalâmu’alaikum wr wb. Jika suami tidak memberi nafkah batin selama lebih dari 1 tahun padahal suami istri tsb masih tinggal dalam satu rumah, bagaimanakah hukumnya? Si istri sudah mencoba bertanya apa penyebabnya, tapi tidak pernah dijawab oleh sang suami. Apa yang harus dilakukan oleh sang istri? Bagaimana caranya supaya si istri dapat menerima kondisi tersebut secara ikhlas? Terimakasih. Wassalâmu’alaikum wr wb.

Hamba Allah – via laman

Jawaban Lengkap A. Wahib Mu’thi:


Wa’alaikumussalâm wa Rahmatullahi wa Barakatuh. Mayoritas ulama mengatakan bahwa memberikan nafkah batin, seperti menggauli dan menyayangi istri hukumnya wajib. Adanya perbedaan pendapat ini karena berbagai alasan. Salah satunya kondisi salah satu pihak yang mengalami sakit.

Allah berfirman, “Dan para wanita memunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf” [QS al-Baqarah [2]: 228]. Dari ayat tersebut, Anda bisa menuntut dan memaksa suami untuk memberi jawaban yang pasti dan jujur karena Anda punya hak untuk mendapatkan jawaban tersebut. Jawaban yang pasti dari suami ini penting agar hukumnya jelas, apakah wajib atau sunah. Jadi, sebaiknya Anda terus mendesak kepada suami untuk memberi jawaban yang pasti. Alangkah baiknya Anda mengajak suami untuk berkonsultasi dengan ulama terdekat agar mendapatkan solusi yang terbaik. Apabila suami Anda tetap menutup diri atau bahkan menolaknya, Anda punya hak untuk meminta cerai. Demikianlah, wallâhu a’lam. « [Dewan Pakar Pusat Studi Al-Quran]

Menilai Orang

Tanya:
Assalamu’alaikum wr. wb.

Sebagai manusia, kita tidak dapat melihat apa yang ada di dalam hati manusia lain, termasuk motif dan kadar keikhlasannya. Kita hanya dapat melihat lalu menilai apa yang tampak. Karena kita akan kesulitan bila menanyakan apa yang ada di dalam hati setiap orang yang kita ketemui. Bila tidak salah ada kaidah yang dipegang para ulama yaitu "kita memutuskan apa yang tampak sedangkan hal yang tersembunyi kita serahkan kepada Allah".

Sebagai contoh untuk pertanyaan: seseorang yang tampak bagi kita sebagai non-Muslim namun hatinya menyembunyikan keimanan, seseorang yang terlihat telah murtad karena di iming-imingi pengobatan atau sesuatu. Melihat contoh di atas kita tidak dapat membelah dadanya, ia terpaksa ataupun tidak dan apa pula motifnya. Kita sebagai awam hanya dapat melihat "Oh, dia non-Muslim."

Yang ingin saya tanyakan apakah kita berdosa bila kita memperlakukan mereka sebagaimana apa yang terlihat oleh kita?

[Irwan - via formulir pertanyaan]
 
Jawaban Lengkap Dewan Pakar Pusat Studi Al-Quran:

Menikah di Bulan Muharam

Tanya:

Saya ingin bertanya, adakah dalam Islam tidak elok sekiranya menikah pada bulan Muharam? Dan adakah baik dan elok sekiranya saya menikah pada bulan Zulhijjah iaitu 27 Zullhijjah? Saya mohon bantuan kerana saya berada dalam delima di mana sebelah keluarga mertua tidak menyarankan menikah di bulan Muharam manakala di sebelah ibu bapa saya ingin melakukan pernikahan di bulan Muharam. Terimakasih di atas jawapan.

Zuraidah Zuki – Malaysia – via laman

Jawaban Lengkap A. Wahib Mu’thi:

Anggapan bahwa tidak dibolehkan menikah pada bulan Muharam hanyalah mitos. Disebut demikian karena zaman dulu tanggal 1 Muharam dipercaya sebagai raya kaum Muslim. Padahal Islam hanya mengenal dua hari raya, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Jadi, Anda diperbolehkan juga menikah pada bulan Muharam. Sama seperti Muharam, Anda menikah di bulan Dzulhijjah pun diperbolehkan. Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan, di antaranya terdapat empat bulan yang dihormati: tiga bulan berturut-turut; Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab Mudhar, yang terdapat di antara bulan Jumada Tsaniah dan Sya’ban.” [HR. Bukhârî dan Muslim]. Demikianlah wallâhu a‘lam. « [Dewan Pakar Pusat Studi Al-Quran]

Rabu, 30 Maret 2016

‘Aku’ dan ‘Kami’

Tanya:

Mengapa dalam terjemahan al-Qur’an, Allah swt selalu menyebutkan diri-Nya dengan kata ‘KAMI’, yang saya pahami kata ‘KAMI’ adalah bentuk jamak? Mohon penjelasan. Terimakasih.

Sharifa – via surel dan Ardia – via laman

Jawaban Lengkap A. Wahib Mu’thi:

Penyebutan kata ‘Aku’ dan ‘Kami’ sampai saat ini memang selalu menjadi perbincangan dalam konteks al-Qur’an. Namun, kata tersebut bukanlah sebagai pembeda ketauhidan Allah. Khususnya kata ‘Kami’, pengertiannya bukan berarti bahwa Allah itu jamak. Kita harus yakin bahwa Allah adalah Esa.

Penggunaan kata ‘Aku’ dan ‘Kami’ dalam al-Qur’an hanyalah masalah tata bahasa saja atau grammar. Dalam tata bahasa Arab [nahwu-sharaf], kata ganti pertama tunggal [singular] sering digunakan pula sebagai kata ganti pertama jamak [plural]. Pergantian ini disebut juga “al-Mutakallim al-Mu’adzdzim li Nafsih-i”. Pengertian ini khusus digunakan untuk mengagungkan dirinya sendiri [dalam konteks ini adalah Allah]. Baca Selanjutnya

Selasa, 29 Maret 2016

Undian Umrah dari Bank

Tanya:

Saya pernah memiliki beberapa tabungan Syariah. Ada tabungan Syariah dari salah satu Bank Konvensional tidak mengadakan undian dalam bentuk apapun pada nasabah tabungan Syariah [seperti yang berlaku pada nasabah tabungan konvensional], karena katanya mereka akan mengadakan undian UMRAH untuk nasabahnya. Yang ingin saya tanyakan, apakah hukum undian dalam pandangan Islam dan bagaimana dengan Undian Umrah tersebut?
 
[Dwi – via surel]

Jawab:

Jika hadiah yang ditawarkan bank cukup besar, seperti umrah, maka jangankan perusahaan atau bank, organisasi sosial yang menjual tiket dengan hadiah tertentu pun tidak dibenarkan oleh beberapa ulama. Dr. Mustafa Al-Zarqa, seorang ulama kontemporer asal Suriah yang diakui integritas dan kedalaman ilmunya oleh para ulama, menulis dalam kumpulan fatwanya, bahwa walaupun tujuan penjualan karcis undian baik, misalnya untuk mengumpulkan sumbangan guna kepentingan sosial, namun ide itu pun tidak dapat diterima oleh Islam.

Praktik seperti itu menggunakan cara yang haram untuk tujuan yang benar, sedang Islam tidak membenarkan ide yang menyatakan tujuan menghalalkan cara. Dalam Islam cara dan tujuan keduanya harus sesuai dengan tuntutan agama. Secara tegas al-Qur'an melarangnya walaupun dalam bentuk seperti itu. Ini karena caranya tidak benar, yaitu mengandalkan nasib serta mengundang aneka keburukan yang lain [QS al-Ma'idah [5]: 91]. Baca Selanjutnya

Mendengarkan Adzan Sambil Berdiri

Tanya:
Pada waktu shalat Jum’at, saya sering melihat jamaah yang datang ke masjid pada saat adzan dikumandangkan, kemudian mereka mendengarkan adzan sambil berdiri. Mengapa jamaah Jum’at tersebut melakukan hal yang demikian? Mohon penjelasannya.
 

[Dede Amung – via surel]
 
Jawab:
Sebenarnya yang Anda lihat adalah jamaah yang sedang menunggu adzan sebelum melaksanakan shalat sunnah Tahiyyatul Masjid dua rakaat. Seorang yang hendak melaksanakan shalat sunnah Tahiyyatul Mmasjid memang hendaknya tidak duduk terlebih dahulu hingga selesai mengerjakan shalat dua raka'at.

Seperti yang diceritakan dalam sebuah riwayat. Disebutkan bahwa Abu Qatadah masuk ke dalam masjid dan menjumpai Nabi saw sedang duduk dengan para sahabatnya. Rasulullah berkata kepadanya, "Apa yang menyebabkan kamu tidak melakukan shalat [sunnah dua raka'at]?" Abu Qatadah menjawab, "[Sebab] aku melihat Anda sedang duduk, begitu juga dengan orang-orang." Rasulullah saw bersabda: "Jika salah seorang dari kalian masuk ke dalam masjid, hendaklah tidak duduk terlebih dahulu sampai dia mengerjakan shalat dua raka'at." [Diriwayatkan oleh Muslim di dalam Al-Shahih no. 714].

[A.Wahib Mu’thiDewan Pakar Pusat Studi Al-Qur’an]

Soal Zakat Fitrah

Tanya:
Apakah zakat fitrah yang kita keluarkan di akhir bulan Ramadhan harus habis untuk didistribusi ke fakir miskin paling lambat sebelum pelaksanaan shalat ‘Id? Bagaimana jika pembayaran zakat melalui panitia zakat dilakukan sebelum pelaksanaan shalat ‘Id, apakah juga harus segera dihabiskan pada saat itu juga? Atau apakah boleh panitia zakat mendistribusikannya setelah shalat ‘Id? Zakat fitrah yang harus ditunaikan sebelum shalat ‘Id dari muzakki ke mustahik atau dari muzakki ke panitia zakat ya?

Muhammad Ayub – via surel

Jawaban Lengkap A. Wahib Mu’thi:

Zakat fitrah diwajibkan bagi umat Islam, dan hanya mengalami "hidup" sesaat di bulan Ramadhan serta sesaat di bulan Syawwal, dan waktunya berakhir sebelum khatib menyelesaikan khutbah ‘Idul Fitri. Kendati demikian, boleh mengeluarkannya sebelum hari raya, bukan sebelum Ramadhan, dan harus habis didistribusikan ke fakir miskin paling lambat sebelum pelaksanaan shalat ‘Idul Fitri, dan tidak setelah shalat ‘Idul Fitri. Kecuali jika zakat itu Anda sisihkan atau amanatkan kepada orang lain untuk ditunaikan atas nama Anda pada waktunya. Zakat fitrah dapat ditunaikan dari muzakki ke mustahik maupun ke panitia zakat. « [Dewan Pakar Pusat Studi Al-Quran]

Memakai Parfum Saat Puasa

Tanya:
Saya ingin penjelasan tentang hukum memakai parfum/wewangian saat sedang berpuasa, terutama puasa Ramadhan. Terimakasih.

Mohammad Ali Ma’sum – via surel

Jawaban Lengkap A. Wahib Mu’thi:
Tak ada hadis yang melarang pemakaian parfum, juga di bulan puasa. Parfum tidak membatalkan puasa, juga tidak membatalkan wudhu jika ingin melakukan shalat. Karena yang membatalkan wudhu hanyalah bila kulit seseorang terkena atau tersentuh langsung dengan benda najis. Parfum bukanlah benda najis sehingga tidak membatalkan wudhu. Begitu pula jika harumnya terhirup oleh seseorang.

Meskipun parfum tersebut mengandung alkohol, namun tetap tidak membatalkan, karena alkohol hanya diharamkan jika diminum dan bukan saat dioleskan. Sama saja seperti jika kita terluka dan mengoleskan alkohol untuk membersihkan luka. Demikian, Wallahu a'lam. « [Dewan Pakar Pusat Studi Al-Quran]

Senin, 28 Maret 2016

Talfiq

Tanya:
Saya ingin bertanya tentang talfiq. Bagaimana jika di dalam ibadah shalat [gerakan fardhu, sunnah, maupun adab] berbeda-beda? Saya berdiri dengan Mazhab Maliki, sedekap dengan Syafi'i, ruku' dengan Mazhab Hanbali, sujud dengan Hanafi dan seterusnya. Juga dalam ibadah wudhu dan puasa. Jika boleh seperti itu, apakah ini berlaku dalam ibadah mahdah saja [fardhu, sunnah, maupun adab-adabnya] atau secara keseluruhan dalam memahami agama Islam?

Bahano Welderman Harahap – via surel

Jawaban Lengkap A. Wahib Mu'hi:

Yang wajib bagi umat Islam adalah mengikuti Allah swt dan Rasul-Nya. Namun tidak semua orang dapat memahami secara langsung petunjuk-petunjuk tersebut. Karena untuk memahaminya, bukan saja harus mengerti bahasa al-Qur'an, namun juga diperlukan kemampuan analisis dan pendalaman dengan banyak syarat. Yang memenuhi syarat-syarat tersebut dinamakan ijtihad dan hasil ijtihad itulah yang melahirkan mazhab. Baca Selanjutnya

Laki-laki Membantu Saudara Kandung

Tanya:
Untuk seorang laki-laki yang sudah berkeluarga, seberapa besar porsi dia boleh membantu keuangan saudara kandungnya? Seberapa jauh istri boleh meminta haknya [dalam masalah keuangan]?
Rina – via surel

Jawaban Lengkap A. Wahib Mu'thi:
Dalam Islam, suami berkewajiban memenuhi kebutuhan hidup istri dan anak-anaknya secara wajar. Namun pada dasarnya hubungan suami-istri sewajarnya terbuka, termasuk menyangkut penghasilan dan manajemen keuangan.

Akan tetapi tekadang ada saja suami yang tertutup, sebagaimana ada juga istri yang boros. Sehingga sebaiknya dilakukan kesepakatan mengenai tujuan penggunaan materi secara terbuka antara suami dan istri.
Di lain pihak, adalah kewajiban suami-istri untuk tetap memerhatikan ibu-bapak dan sanak keluarga dalam batas-batas yang dituntut oleh agama. Dalam melakukan hal itu, usahakanlah agar istri memberikan perhatian kepada keluarga suami, demikian pula sebaliknya, sehingga tidak terkesan adanya upaya "sembunyi-sembunyi" dalam mengalirkan perhatian atau pemberian. Baca Selanjutnya

Dua Imam Shalat

Tanya:
Apa hukumnya pada saat yang bersamaan ada dua imam yang membentuk dua kelompok shalat berjamaah dalam satu masjid? Dan bagaimana seharusnya sikap saya ketika saya shalat rawatib, ada orang yang menepuk pundak saya menandakan ingin makmum pada saya, mengira bahwa saya shalat fardhu, padahal saya sedang shalat sunnah?

Catur NF – via Surel

Jawaban Lengap A. Wahib Mu’thi:
Menurut pendapat Imam Syafi’i, bila ada jamaah sesudah jamaah yang pertama, maka jamaah yang kedua adalah sesuatu yang dibenci. Ibarat negara, maka imam di masjid adalah kepala negaranya. Sehingga saat imam shalat berjamaah dalam sebuah masjid atau mushala dalam suatu waktu dapat kita gambarkan sebagai seorang kepala negara pada suatu daerah pada suatu waktu tertentu. Maka jika di saat itu ada rombongan lain yang datang ke masjid tersebut tidak mengikuti jamaah yang ada, melainkan melakukan jamaah shalat sendiri pada waktu yang bersamaan, maka imam beserta jamaah yang kedua itu dapat diibaratkan sebagai orang yang mendirikan negara dalam suatu negara pada waktu yang bersamaan. Meski demikian sementara ulama membolehkan, shalat yang dilakukan kedua jamaah itu sah. Menurut Imam Ahmad, lebih baik daripada shalat sendiri-sendiri. Baca Selanjutnya

Ingin Menikah Tak Dapat Restu

Tanya:
Apa yang harus dilakukan oleh seorang lelaki yang isthatha’ah –-mampu secara lahir maupun batin– untuk membangun sebuah mahligai rumah tangga, tetapi belum mendapatkan restu dari orangtua dengan alasan masih belum pantas untuk mengikuti jejak Rasulullah saw. padahal pasangan juga sudah memenuhi kriteria yang dianjurkan agama; ad-Dîn, an-Nasab, al-Jamal, dan al-Mâl?

Mas Amfa – via surel

Jawaban Lengkap A. Wahib Mu’thi:
Dari segi hukum, sebagai lelaki, Anda tak perlu memperoleh izin dan restu dari orangtua untuk menikah. Namun, pertimbangannya secara moral harus Anda perhatikan. Apalagi pernikahan pada hakikatnya tak hanya hubungan dua orang, tetapi juga jalinan hubungan keluarga. Orangtua dan keluarga adalah tempat kembali, mengadu, dan memperoleh nasihat dan bantuan, saat-saat suami-istri mengalami krisis. Sampai kapan pun doa orangtua pasti akan dibutuhkan dalam menemani Anda menjalani kehidupan rumahtangga.
Di sisi lain, perlu Anda ketahui bahwa dalam pandangan Imam Syafi’i, kawin bagi yang memiliki dorongan kuat menjadi sunnah jika yang bersangkutan telah memiliki kemampuan membayar mahar dan belanja untuk kehidupan rumahtangga secara wajar. Jika Anda merasa tak dapat membendung keinginan Anda sendiri dan kuatir jika tak memenuhinya, maka Anda dapat terjerumus ke dalam dosa, Anda pun dapat menikah. Bahkan yang melarang ketika itu –-meski orangtua– dapat dinilai berdosa. Demikian, Wallâhu A’lam. « [Dewan Pakar Pusat Studi Al-Quran]

Memelihara Anak Yatim

Tanya:
Dalam batasan apakah seorang anak disebut yatim [sampai akil baligh atau setelah dia menikah]? Yang kami alami anak yatim tersebut sangat malas meski sudah dididik dan kami beri contoh untuk shalat, bangun pagi, bekerja saling membantu dengan yang lain [dari usia 3 tahun sampai 16 tahun]. Kami berencana mengembalikan ke orangtuanya [ibu] karena takut dosa bila melihat kelakuannya dan membuatnya sering kami marahi. Bagaimanakah Nabi Muhammad Saw dan sahabat menangani hal tersebut?
Sigit P. – via surel

Jawaban Lengkap A. Wahib Mu’thi:
Rasulullah Saw pernah bersabda; “Saya dan orang yang menanggung [memelihara] anak yatim. Ada surga bagaikan ini…”, seraya beliau memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah, dan beliau merentangkan kedua jarinya itu [HR Bukhari].

Dalam hadits di atas, Rasulullah mengatakan kepada kita jaminan bagi orang-orang yang memelihara anak yatim. Namun anjuran tersebut bukan tanpa risiko.

Memelihara anak yatim membutuhkan keikhlasan dan itu tak mudah. Banyak hal yang terjadi dan menjadi ujian keikhlasan dalam memelihara anak-anak yang kurang beruntung ini. Misalnya, manusiawi sekali jika seseorang membeda-bedakan dengan anak kandung tanpa disadari. Yang kemudian hal itu dapat berdampak pada si anak yatim menjadi malas, atau melakukan hal-hal yang kurang positif seperti yang Anda ceritakan yang tentu saja menguji kesabaran 'orangtua' yang memeliharanya. Berusahalah untuk mencintainya dan berbuat sebaik-baiknya kepada mereka, niscaya Allah membalas kebaikan Anda. Baca Selanjutnya

Potong Rambut dan Kuku Saat Haid

Tanya:

Bagaimana hukum memotong rambut dan kuku bagi wanita yang sedang haid?

Amira Sekaton – via surel

Jawaban Lengkap A. Wahib Mu’thi:

Larangan potong rambut dan potong kuku ketika haid tidak ada dasar dan dalilnya baik dari al-
Qur’an maupun dari al-Hadits. Yang dianjurkan dalam Islam adalah membersihkan diri.

Ada beberapa larangan bagi wanita ketika sedang haid. Antara lain: melakukan shalat, melakukan thawaf, berpuasa, melakukan hubungan seks, dan makruh berada di dalam masjid. Tidak ada larangan di al-Qur’an maupun al-Sunnah tentang memotong kuku dan mencukur rambut. Karenanya, boleh saja memotong rambut serta kuku saat sedang haid. « [Dewan Pakar Pusat Studi Al-Quran]

Shalat Zuhur setelah Shalat Jum’at

Tanya:

Saya pernah tinggal di Jombang, Jawa Timur. Saya pernah lihat sekelompok orang yang melaksanakan shalat Zhuhur setelah melaksanakan shalat Jum’at. Begitu pun di Jakarta, saya pernah menjumpainya. Yang saya ingin tanyakan, ada tidak dalil agama yang memerintahkan untuk shalat Zhuhur lagi setelah melaksanakan shalat Jum’at?

Jawaban Lengkap A. Wahib Mu’thi:

Umar bin Khaththab; “Shalat Jum’at adalah dua rakaat sesuai dengan yang diajarkan oleh Nabi
Muhammad saw dan itu sudah sempurna, bukan merupakan shalat Zhuhur yang di-qashar.” Jadi tidak ada kewajiban melakukan shalat Zhuhur sesudah shalat Jum’at. Baca Selanjutnya

Membaca Al-Qur’an Tanpa Bersuci

Tanya:
Apakah hukumnya membaca al-Qur'an tanpa bersuci [wudhu atau tayamum] terlebih dahulu dan membacanya dalam posisi tidak menghadap kiblat dan tidak sambil duduk?

Cahyana Thea – via surel

Jawaban Lengkap A. Wahib Mu'thi:
Dalam surat al-Waqi'ah ayat 77 - 80 terdapat ayat [yang artinya]: "Sesungguhnya ia benar-benar adalah bacaan sempurna yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara. Tidak ada yang menyentuhnya kecuali hamba-hamba Allah yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan semesta alam."

Sebagian ulama memahami ayat tersebut sebagai larangan menyentuh mushaf al-Qur'an kecuali dalam keadaan suci, baik dari hadas besar maupun hadas kecil. Sebagian ulama lainnya memahami yang disebut dengan al-Qur'an dalam ayat tersebut adalah al-Qur'an yang terpelihara di Lauh Mahfudz dan yang dimaksud dengan hamba-hamba Allah yang disucikan adalah para malaikat. Baca Selanjutnya

Minggu, 27 Maret 2016

Shalat Jumat Bagi Wanita

Tanya:
Bolehkah bagi wanita sholat Jumat sendirian di rumah, tanpa ada imam dan khutbah?

Risliana Suseno – via surel

Jawaban Lengkap A. Wahib Mu'thi:
Tersebut dalam hadis yang diriwayatkan Abu Daud, Nabi saw bersabda, "Shalat Jum'at adalah kewajiban seorang Muslim yang dilakukan dengan berjama'ah kecuali terhadap empat golongan; budak, wanita, anak kecil, atau orang sakit." Dengan demikian, kaum wanita termasuk di dalam orang-orang yang dikecualikan atasnya kewajiban shalat Jum'at, meski mereka tidak dalam keadaan sakit.

Tidak ada larangan bagi kaum wanita untuk menghadiri shalat Jum'at, selama kehadirannya
tidak menimbulkan fitnah bagi orang-orang yang ada di dalam masjid tersebut sebagaimana sabda Rasulullah saw, "Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian dari mendatangi masjid, dan [sesungguhnya] rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka." [HR. Ahmad dan al Hakim]. Sabda Rasulullah saw ini membuat para ulama berpendapat bahwa lebih baik bagi kaum wanita untuk tetap tinggal di rumah dengan melaksanakan shalat Zhuhur. Baca Selanjutnya

Mencicil Zakat

Tanya:
Saya baru tahun terakhir ini saja mulai mengeluarkan zakat 2,5% dari gaji yang saya terima. Sedangkan saya sudah bekerja dari tahun 2004, jadi saya berniat mengeluarkan zakatnya saat ini. Yang saya tanyakan:
  1. Bolehkah saya membayar zakat yang belum saya keluarkan itu dengan cara dicicil/separuh dulu? Kalau dihitung zakat yang saya belum keluarkan dari awal bekerja harusnya sekira –sebut saja 53 bulan– lalu saya saat ini misalnya baru mampu untuk membayarnya 24 bulan dulu, apakah itu boleh?
  2. Dan kalau ternyata dibolehkan, apakah dari zakat tersebut saya harus mengeluarkanya dalam bentuk uang tunai? Boleh tidak dikeluarkan dalam bentuk barang/kebutuhan pokok tetapi tetap senilai zakat yang akan dikeluarkan itu?
Ana – via email

Jawaban Lengkap A. Wahib Mu'thi:
Perlu dijelaskan penghasilan yang diperoleh seorang Mukmin dan yang sebagian darinya diperintahkan untuk dikeluarkan nafkahnya dibagi oleh al-Qur'an [QS al-Baqarah [2]: 267] ke dalam dua bagian pokok: "hasil usaha baik-baik" dan "apa yang dikeluarkan Allah dari bumi". Dalam hal ini apa yang Anda upayakan termasuk pada hasil usaha baik-baik yang persentase zakatnya sama dengan zakat perdagangan, yakni dua setengah persen dari hasil yang diterima setelah dikeluarkan segala biaya kebutuhan hidup yang wajar, dan sisa itu telah mencapai batas minimal dalam masa setahun, yakni senilai 85 gram emas murni. Baca Selanjutnya

Wali Menikah

Tanya:
Saya wanita yang akan segera menikah. Masalahnya, ayah, kakek, dan saudara laki-laki ayah telah meninggal semua. Saya juga tak memiliki saudara laki-laki. Saudara laki-laki ayah saya memiliki anak laki-laki [sepupu saya]. Bisakah ia menjadi wali saya? [mengingat sepupu tidak disebutkan dalam surat an-Nisa' perihal wali pernikahan]. Atau saya menggunakan wali hakim saja?

Gita – via email 

Jawaban Lengkap A. Wahib Mu'thi:
Menurut kitab Kifayatul Akhyar, dalam Mazhab Syafi'i, disebutkan urutan wali nikah adalah sebagai berikut: ayah kandung, kakek atau ayah dari ayah, saudara se-ayah dan se-ibu, saudara se-ayah saja, anak laki-laki dari saudara yang seayah dan se-ibu, anak laki-laki dari saudara yang se-ayah saja, saudara laki-laki ayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah. Daftar urutan tersebut tidak boleh diacak, sehingga Anda tinggal mengurutkan sesuai dengan ada atau tidaknya wali yang sah dalam keluarga sesuai daftar urutan. Baca Selanjutnya

Proposal Sumbangan Masjid

Tanya:
Jika mengajukan proposal sumbangan untuk membangun masjid, kemudian kesepakatan panitia adalah, orang yang membawa proposal ini kepada yang akan menyumbang, akan diberikan semacam fee 10% dari besarnya sumbangan, pertanyaannya, dibenarkan tidak pemberian 10% oleh pihak panitia kepada yang menjalankan proposal ini sebesar 10%? Bagaimana hukum syar'i-nya ustad? Terimakasih.

Amar – via email

Jawaban Lengkap A. Wahib Mu'thi:
Pada prinsipnya, setiap pekerjaan atau jerih payah berhak mendapatkan imbalan. Tak ada salahnya panitia memberikan imbalan [fee] kepada orang yang membawa proposal atau siapa pun yang bekerja untuk pembangunan masjid atau semacamnya yang jumlahnya ditentukan menuntut kepantasan. Sebaiknya tidak ditentukan 10% karena bisa jadi terlalu kecil atau terlalu besar dilihat dari segi kesepakatan. Dan kesepakatan itu tentunya didasarkan atas pertimbangan kepantasan. Lakukanlah pekerjaan dengan niat ibadah. Semoga Allah memberikan balasan yang berlipat ganda. « [Dewan Pakar Pusat Studi Al-Quran]
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Cobalah Tengok

Dartar Isi