Jumat, 27 Mei 2016

Kebenaran Ilmiah Al-Quran

Al-Quran adalah kitab petunjuk, demikian hasil yang kita peroleh dari mempelajari sejarah turunnya. Ini sesuai pula dengan penegasan Al-Quran: Petunjuk bagi manusia, keterangan mengenai petunjuk serta pemisah antara yang hak dan batil. (QS 2:185).

Jika demikian, apakah hubungan Al-Quran dengan ilmu pengetahuan? Berkaitan dengan hal ini, perselisihan pendapat para ulama sudah lama berlangsung. Dalam kitabnya Jawahir Al-Quran, Imam Al-Ghazali menerangkan pada bab khusus bahwa seluruh cabang ilmu pengetahuan yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui maupun yang belum, semua bersumber dari Al-Quran Al-Karim. Al-Imam Al-Syathibi (w. 1388 M), tidak sependapat dengan Al-Ghazali. Dalam kitabnya, Al-Muwafaqat, beliau --antara lain-- berpendapat bahwa para sahabat tentu lebih mengetahui Al-Quran dan apa-apa yang tercantum di dalamnya, tapi tidak seorang pun di antara mereka yang menyatakan bahwa Al-Quran mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan.

Menurut hemat kami, membahas hubungan Al-Quran dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalamnya, bukan pula dengan menunjukkan kebenaran teori-teori ilmiah. Tetapi pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian Al-Quran dan sesuai pula dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri.

Membahas hubungan antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan bukan dengan melihat, misalnya, adakah teori relativitas atau bahasan tentang angkasa luar; ilmu komputer tercantum dalam Al-Quran; tetapi yang lebih utama adalah melihat adakah jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat Al-Quran yang bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan? Dengan kata lain, meletakkannya pada sisi "social psychology" (psikologi sosial) bukan pada sisi "history of scientific progress" (sejarah perkembangan ilmu pengetahuan). Anggaplah bahwa setiap ayat yang tercantum dalam Al-Quran mengandung suatu teori ilmiah, kemudian apa hasilnya? Apakah keuntungan yang diperoleh dengan mengetahui teori-teori tersebut bila masyarakat tidak diberi "hidayah" atau petunjuk guna kemajuan ilmu pengetahuan atau menyingkirkan hal-hal yang dapat menghambatnya? Baca Selanjutnya

Kamis, 26 Mei 2016

Perburuan Manusia Terbesar dalam Sejarah Indonesia di Abad ke-21!

Perburuan manusia terbesar dalam sejarah Indonesia di abad ke-21 adalah perburuan Santoso di Poso yang terjadi di masa Presiden Joko Widodo, mengalahkan perburuan yang dilakukan negara terhadap Sekarmadji Maridjan Kartosoewirdjo, yang memimpin pemberontakan Darul Islam di masa Presiden Sukarno.

Jumlah pasukan yang mengepung Kartosoewirdjo adalah satu batalyon, yakni Batalyon 328 Kujang yang dipimpin Mayor Sudarman Banuarli dan yang menangkapnya adalah peleton yang dipimpin Letnan Suhanda. Jumlah pasukan yang mengepung Santoso saat ini terdiri dari 6.000 personel, yang melibatkan pasukan khusus dari seluruhan kesatuan TNI dan POLRI. Katanya, pengepungan itu membuat Santoso kini berada dalam radius 1 km2 lagi untuk dicokok. Sebelum ini dia pernah dikepung dan digempur 30.000 pasukan TNI dalam sebuah operasi khusus yang disebut “latihan perang” untuk melawan sekitar 20 anggota pasukan yang dipimpinnya.

Sudah berbulan-bulan pengepungan dilakukan, tapi sang buruan belum berhasil ditangkap hidup-hidup. Apa sebabnya operasi ini berlarut-larut? Tentu saja, jawabannya sederhana dan kita semua sudah tahu: manusia yang diburu ini adalah pahlawan bagi sebagian masyarakat Sulawesi Tengah. Saat negara abai terhadap pembantaian ribuan warga dan penghancuran kampung-kampung di sana, dengan segala kekurangannya Santoso tampil sebagai pembela. Dalam konflik orang harus menentukan sikap, maka Santoso memilih pihak yang ingin dibelanya. Kalau aparat tidak melakukan pembiaran terhadap konflik itu, maka tidak akan ada pertumpahan darah. Masalah tidak akan berlarut-larut ketika hukum ditegakkan dengan benar, cepat dan adil. Kalau aparat ingin mendapatkan Santoso hidup-hidup, maka harus mengobati luka dan penderitaan masyarakat Islam dan Kristen di Sulawesi Tengah karena telah membiarkan mereka saling membantai dan menderita akibat konflik. Baca Selanjutnya

Kamis, 19 Mei 2016

Tata Cara Membantai Orang-orang Komunis

Dalam menghidangkan makanan perlu dipersiapkan dengan baik agar tak membunuh selera makan. Pun, dengan sebuah pembantaian.

Kira-kira umur saya baru 12 tahun. Ibu saya sering bercerita kalau dirinya membenci Banser—sayap pemuda Ansor yang beralifiasi dengan Nahdathul Ulama [NU]. Penggambaran ibu saya terhadap Banser tak simpatik: berambut gondrong, memakai peci dan selalu membawa kelewang, parang dan linggis ke mana-mana. Kala itu saya belum tahu apa yang terjadi. Saat umur saya bertambah, baru mendapatkan cerita yang utuh.

Seperti ini peristiwanya: Suatu malam di bulan Desember 1965, adik ibu saya, Suroso—Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat [Lekra] Kabupaten Blitar—dicokok oleh segerombolan anggota Banser di rumah kami di sebuah desa di Blitar. Konon Suroso dibawa ke Koramil, tak jauh dari kantor kecamatan. Dan, sejak saat itu tak kembali sampai sekarang.

Seingat saya, sampai bertahun-tahun orang-orang yang senasib dengan ibu saya, setiap malam Jumat meletakkan bunga sesajian pada mangkok daun pisang di perempatan kampung kami. Mereka adalah orang-orang yang kehilangan suami, istri, anak, orangtua maupun saudara yang terjadi dalam epik pengejaran orang-orang Komunis di Indonesia tahun 1965.

Paman saya yang lain, Sihono, juga mempunyai kebencian yang sama terhadap Ansor. Ia punya pengalaman sendiri sehingga rasa tak suka itu muncul. Ketika balik ke kampung untuk liburan dari tugas mengajar di Jember menjelang peristiwa 1965, paman saya didatangi kawannya. Maksud kedatangan sang kawan untuk meminjam uang. Peristiwa itu berlangsung biasa-biasa saja. Sampai akhirnya awal tahun 1966 paman saya dijemput tentara. Ia dibawa ke kantor Koramil, diintrograsi, dihajar dan dijebloskan ke penjara. Apa masalahnya? Padahal paman saya tak ada sangkut pautnya dengan PKI. Usut punya usut, paman saya ditangkap karena meminjami uang kawannya yang ternyata anggota BTI [Barisan Tani Indonesia]. Dan yang melaporkan adalah tetangganya sendiri, seorang anggota Ansor. Sejak saat itu paman saya keluar masuk penjara; tiga bulan di penjara, dilepaskan, diambil lagi, begitu seturusnya sampai tahun 1970. Dan dipecat dari tugasnya sebagai guru. Baca Selanjutnya

Rabu, 18 Mei 2016

Podcast

Lenin, Parlemen dan Realitas Obyektif: Kritik atas Ragil Nugroho dan Martin Suryajaya

Menarik, tulisan Ragil Nugroho, PKS dan Lenin, yang memberi kesimpulan kasar atas pola pengorganisiran revolusioner yang dilakukan oleh Lenin di Rusia, dan menyejajarkannya dengan pola pengorganisiran suatu partai Islam borjuistik (baca: PKS), diapresiasi oleh Martin Suryajaya dengan penalaran filosofis yang berbelit-belit. Dalam tulisannya, Lenin, PKS dan Realisme, Martin terlihat sedang mencari pembenaran dari buku Lenin – Materialism and Empirio-Criticismuntuk memberi sentuhan filsafat pada tulisan Ragil yang kasar; untuk membangun opini pembaca bahwa kritik Ted Sprague atas Ragil adalah keliru; dan juga untuk mencari pengakuan bahwa Ragil adalah seorang realis, atau – meskipun bukan orang yang betul-betul memahami ide-ide Lenin – setidaknya, orang yang mampu mempraktikkan realisme Lenin di lereng Merapi.

Ragil benar-benar tidak memahami maksud Lenin, dan tepat sekali jika Ted Sprague memberinya cap sebagai sang pencolek ide yang kasar dan vulgar. Di dalam tulisannya yang dipublikasikan oleh sebuah jurnal online, Indoprogress, Ragil menulis:

“Bagi yang alergi kekuasaan, ada karya Lenin yang ditulis setelah revolusi Oktober 1917: Komunisme ‘Sayap Kiri’: Suatu Penyakit Kekanak-kanakan. Risah ini ditulis untuk mengatasi jalan buntu ketika situasi tak revolusioner. Saat gelombang revolusi menerjang, dengan mudah orang akan mengangkat tangan kiri. Bila situasi sebaliknya, satu persatu akan meninggalkan perjamuan. Tapi bukan berarti tak terpecahkan. Dalam situasi yang biasa-biasa saja, Lenin menekankan pentingnya partai komunis mengambil strategi bekerjasama dengan kekuatan lain. Dan, bila memungkinkan ikut ambil bagian dalam pemerintahan yang berbasis luas. Artinya, tinggalkan molotov dan batu, untuk kemudian ambil bagian dalam kekuasaan.”

Pada kalimat tengah, “... Dalam situasi yang biasa-biasa saja, Lenin menekankan pentingnya partai komunis mengambil strategi bekerjasama dengan kekuatan lain....”, telah menunjukkan ketidaktahuannya akan maksud Lenin. Baca Selanjutnya

Lenin, PKS dan Realisme

Kritik atas Kritik Ted Sprague atas Ragil Nugroho

DALAM tulisannya, PKS dan Lenin, Ragil Nugroho mengangkat sebuah wacana yang mengagetkan bagi sebagian aktivis-pemikir Marxis. Ia menunjukkan bagaimana, pada periode pasca-Reformasi, kemerosotan gerakan Kiri yang berbanding terbalik dengan penguatan gerakan Kanan, justru disebabkan karena metode analisis politik Leninis telah ditinggalkan oleh gerakan Kiri dan diadopsi dengan sukses oleh gerakan Kanan. Inti dari metode tersebut adalah, seperti ditulis Ragil, ‘bekerja pada alam nyata’: berangkat dari asumsi yang sesuai dengan kenyataan yang ada, betapapun kenyataan tersebut terkesan remeh-temeh dan ‘tidak revolusioner’ di mata kader. Metode analisis politik Leninis inilah yang ditinggalkan oleh gerakan Kiri dan justru terwujud dalam strategi PKS. Ini nampak seperti dalam pernyataan kader PKS yang dikutip Ragil: ‘Mari kita perbaiki jalanan berlubang dan sediakan sanitasi yang bagus sebelum berpikir memaksakan perempuan berkerudung.

Tulisan itu menuai kritik dari Ted Sprague yang mengecamnya, dalam PKS Bukan Lenin, sebagai ‘Reformis’ dan bahkan—lagi-lagi—‘Stalinis.’ Bagi Ted, kritik Ragil atas gerakan Kiri, yang dianggap telah melupakan Lenin, justru berakibat ‘memerosokkan banyak orang’ ke dalam Ekonomisme. Karena Ragil menekankan pentingnya politik Kiri yang membumi pada persoalan sehari-hari, Ted menganggapnya membawa kecenderungan oportunis yang membuat gerakan terhenti pada isu-isu ekonomis (seperti persoalan upah, jaminan keamanan kerja, dll) dan abai pada dimensi politisnya, yakni pentingnya menanamkan kesadaran komunis pada massa. Dengan berbekal montase kutipan dari Lenin, Ted mau memperlihatkan adanya kecenderungan kontra-revolusioner dalam tulisan Ragil, yaitu bahaya terjatuh ke dalam reformisme yang menegasi potensi revolusi. Akhirnya, Ted mengindikasikan bahwa implikasi lanjutan dari posisi Ragil adalah jatuhnya gerakan pada politik pengambil-alihan negara dan tidak mendestruksi bentuk-negara itu sendiri. Padahal apa yang seharusnya diperjuangkan oleh kelas proletar adalah, dalam ungkapan Ted, “membentuk sebuah pemerintahan buruh yang baru dan sungguh berbeda.’ Dengan kata lain, Ragil seperti Stalin: melanggengkan bentuk-negara itu sendiri. Tepatnya, seperti ‘kaum Stalinis yang zig-zag, yang banting stir ke kiri dan kanan.’ Baca Selanjutnya

Razia Agustus Sukiman: Sebuah Catatan Ringan Buat PKS

Usaha untuk menjegal PKI tak pernah putus-putusnya. Setelah “teror putih” Madiun 1948 yang dilakukan oleh kabinet Hatta, PKI kembali dihadapkan pada usaha kabinet Sukiman untuk “menggangu” konsolidasi partai. Kabinet Sukiman-Suwiro [terkenal dengan sebutan kabinet Su-Su] menandatanggani perjanjian pertahanan dengan Amerika Serikat. Perjanjian itu berkaitan dengan Perang Korea yang sedang memanas. Pada saat itu Amerika mendukung Korea Selatan.

Perang Korea tidak bisa dilepaskan dari situasi Perang Dingin yang melibatkan AS dan Uni Soviet. Sebagai bentuk kesetian pada AS, agar terlihat anti kiri kabinet Su-Su melakukan penangkapan secara membabi buta terhadap orang-orang komunis. Penangkapan tersebut didasarkan pada tuduhan palsu, yakni aksi penyerbuan sekelompok pemuda berkaos “Palu-Arit” ke kantor polisi di Tanjung Periuk. Atas tuduhan rekayasa tersebut orang-orang PKI ditangkap secara liar. Kurang lebih 2.000 orang yang dianggap komunis ditangkap dan dijebloskan ke penjara.

Tak mengejutkan memang. Dalam operasi gadungan tersebut banyak sekali terjadi kesalahan dalam penangkapan. Peringkusan atas diri Abdulah Aidit—ayah DN AIdit—merupakan kekeliruan paling menggelikan dan konyol. Abdullah Aidit merupakan anggota DPR dari fraksi Masyumi [satu partai dengan Sukiman sendiri]. Hanya karena sama-sama ada kata “Aidit” di namanya, ia ditangkap. Sutan Syahrir [musuh politik PKI], Ang Yan Gwan pendiri Suratkabar Sin Po dan Siauw Giok Tjhan, juga ditangkap padahal tidak ada hubungannya dengan PKI. Mereka ikut disapu bersih hanya karena disangkutpautkan dengan PKI.

Mengapa di muka disebut “tuduhan palsu” terhadap PKI? Ketika digelar pengadilan secara terbuka terhadap tokoh-tokoh yang ditangkap, tuduhan bahwa PKI menjadi dalang dalam “aksi Tanjung Priok” tak pernah terbukti. Bahkan ketika Kabinet Su-Su akhirnya jatuh, terkuak bahwa “Razia Agustus” dilakukan sebagai balas budi terhadap Amerika atas bantuan yang diberikan, dan “aksi Tanjung Priok” hanya buatan mereka sendiri. Sebuah rekayasa yang memang digunakan untuk menghancurkan PKI yang tengah membangun organisasinya. Baca Selanjutnya

Selasa, 17 Mei 2016

Menolak Pelarangan dalam Mengakses Pengetahuan

PERNYATAAN SIKAP "LINGKAR MAHASISWA INDONESIA DI LUAR NEGERI": MENOLAK PELARANGAN DALAM MENGAKSES PENGETAHUAN

*siaran pers ini bebas untuk disebarkan, dikutip, dan diterbitkan ulang*

Peristiwa pelarangan diskusi, pemutaran film, dan pembubaran pementasan teater, yang berlanjut dengan penyisiran buku-buku oleh aparat keamanan, menjadi kabar yang santer terdengar belakangan dari tanah air. Secara masif, berpola, dan tiba-tiba, peristiwa-peristiwa tersebut juga dibarengi dengan penangkapan dan intimidasi terhadap individu dan kelompok yang menyimpan dan menggunakan atribut yang secara sepihak ditafsirkan sebagai promosi komunisme.

Untuk itu kami, Lingkar Mahasiswa Indonesia di Luar Negeri, menyatakan sikap menolak atas cara-cara yang ditempuh negara tersebut. Jejaring mahasiswa Indonesia yang tengah menempuh pendidikan di berbagai belahan dunia ini menyatakan dengan tegas bahwa peristiwa penggeledahan dan penyitaan buku oleh aparat keamanan, yang merampas hak orang untuk mengakses pengetahuan, adalah sebentuk sikap anti-intelektual. Atas praktik demikian, kami menilai negara sebenarnya sedang melakukan perbuatan melanggar hukum dan mengabaikan hak-hak sipil yang dilindungi oleh konstitusi di Republik Indonesia.

Kalau ini dibiarkan, cara-cara tersebut bisa diartikan sebagai operasi teror negara terhadap warganya.

Situasi ini jelas berpotensi menciptakan rasa tidak aman bagi warga negara untuk berpikir dan berpendapat, yang berimbas pada praktik-praktik swa-sensor pengetahuan dan kebuntuan gagasan. Padahal, rasa aman, terutama rasa aman mengakses pengetahuan, adalah prasyarat yang mutlak dibutuhkan bagi kemajuan suatu bangsa. Pengetahuan, menurut kami yang hingga siaran pers ini beredar terdiri dari 123 mahasiswa di 25 negara, adalah kunci untuk membebaskan keterjajahan, seperti yang sudah ditunjukkan oleh para pendiri bangsa ini. Hanya dengan begitu, cita-cita Indonesia untuk bisa berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa besar lain di dunia dapat dicapai. Baca Selanjutnya

Rayuan Pulau Palsu: Sebuah Dokumenter Perlawanan

Rayuan Pulau Palsu diputar tepat saat momen pro-kontra reklamasi pantai bergulir. Mengingatkan janji pemimpin terpilih.

Film dokumenter ini dibuka dengan janji-janji Joko Widodo usai resmi terpilih sebagai presiden ketujuh Indonesia berdampingan dengan Jusuf Kalla. 22 Juli 2014, saat menyampaikan pidato kemenangan di atas kapal pinisi bernama Hati Buana Setia di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara, Jokowi kembali menekankan tekadnya membangun sisi maritim Indonesia.

“Semangat gotong royong itulah yang akan membuat bangsa Indonesia bukan saja akan sanggup bertahan dalam menghadapi tantangan, tapi juga dapat berkembang menjadi poros maritim dunia, locus dari peradaban besar politik masa depan…”

Tiga bulan kemudian, dalam pidato pelantikan sebagai presiden di Gedung MPR, Jokowi lagi-lagi mengucapkan kalimat tentang pentingnya posisi Iaut bagi Indonesia, “Sebagai negara maritim, samudra, laut, selat dan teluk adalah masa peradaban kita. Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudra, dan memunggungi selat dan teluk. Ini saatnya kita mengembalikan semuanya sehingga ‘Jalesveva Jayamahe’, di laut justru kita jaya, sebagai semboyan kita di masa lalu bisa kembali.”

Faktanya, lewat setahun kepemimpinannya, laut Indonesia terluka. Film dokumenter garapan Watch Doc ini memaparkan detail reklamasi dan permasalahannya. Dari Muara Angke Jakarta sebagai angle utama, juga kawasan lain di Indonesia: Palu, Manado, Surabaya dan Bali. Baca Selanjutnya

Minggu, 15 Mei 2016

Standar Ganda

Yang Islamis seneng kalau tentara/polisi menindas kaum kiri dan liberal. Yang liberal dan kiri sorak-sorai ketika tentara/polisi menindas Islamis. Siapa diuntungkan dari standar ganda macam itu? Tentara/polisi! (Farid Gaban)

STANDAR GANDA. Yang Islamis seneng kalau tentara/polisi menindas kaum kiri dan liberal. Yang liberal dan kiri...
Dikirim oleh Farid Gaban pada 12 Mei 2016

Sabtu, 14 Mei 2016

Nikmatilah Liberalisme, Ekspresikan Tololmu!

Hanya dengan tiga kali twit, dia sudah bisa melakukan 3 kesalahan langsung.

"saya nggak heran kaum liberalis pada belain komunis, ya mereka itu sama-sama nggak suka agama, hati-hati bahaya komunisme dan liberalisme"

Kaum liberalis membela komunis? Apa yang dia maksud kaum liberalis itu?

"ramenya wacana komunisme sekarang setidaknya bisa menunjukkan, dan yang pro-komunisme, pemikirannya sudah pasti tidak Islami, siapapun dia"

Membela kelas tertindas, itu tidak Islami kah?

"dan penguasa sekarang memang lucu, sila pertama KETUHANAN tapi fobia Islam, tapi ketika ada ancaman komunisme, dianggap enteng."

Yang ribut2 itu bukannya Menhan, Koh? Dia bukan pemerintah?

*Note: sebagian yg ada di atas adalah reply saya pada ybs di Twitter*

(Abdul Gaffar Karim)

Pernyataan Sikap KontraS tentang “Rekayasa Operasi Anti Komunis”

KontraS mencatat bahwa maraknya operasi anti komunisme atau PKI merupakan rekayasa dan tindakan yang berlebihan. Kami mencatat bahwa apa yang terjadi dalam kurun waktu beberapa hari ini di bulan Mei, terutama pasca Simposium Masalah 1965 dan upaya pendataan kuburan massal peristiwa 1965, merupakan upaya menciptakan “musuh” dan situasi kegentingan atas kebangkitan komunisme atau PKI di berbagai tempat di Indonesia. Tindakan ini sungguh aneh karena PKI, yang merupakan Partai Komunisme Indonesia sudah dibubarkan. Komunisme pun harus dilihat sebagai pengetahuan umum di antara pengetahuan umum lainnya, yang dibaca dan dipelajari sebagai sebuah pengetahuan sosial. Lalu kenapa ada upaya menciptakan ketakutan pada pengetahuan ini? Jadi situasi ini merupakan musuh yang diciptakan.

Ketidakwarasan juga terlihat dari tindakan di lapangan yang terjadi dalam beberapa hari ini, ketakutan pada PKI atau komunisme diwujudkan dengan mengamankan, menangkap, menyita atau melarang pemakaian kaos yang ada gambar Palu, Arit, kaos berwarna merah, film yang membahas pelanggaran HAM, intimidasi ke penerbit buku. Semua tindakan ini tidak berhubungan dengan suatu tindak pidana apapun yang sudah terjadi. Situasi ini justru menunjukkan bahwa ada upaya membangun kembali peran intervensi militer di Indonesia untuk masuk merecoki kehidupan sipil demokratis di Indonesia, di mana tentara melakukan intimidasi (penerbit buku Resist di Yogyakarta, 11 Mei 2016), Menangkap seseorang di Ternate, 11 Mei 2016).

Apa yang terjadi saat ini adalah sebuah Operasi, bergaya Orde Baru dengan sedikit menggunakan peran teknologi informasi. Operasi ini memiliki pembagian peran:

Pertama, operasi tertutup, propaganda menyebarkan broadcast informasi atribut-atribut “PKI” atau “Komunis” seperti di Palembang beredar berbagai striker PKI. Penyebaran informasi perihal PKI juga banyak beredar di jejaring media sosial yang luas digunakan publik Indonesia seperti Facebook, Twitter, Instagram. Kami melihat ada beberapa motif: (a). Menunjukkan bahwa PKI masih ada, (b). Menyulut rasa ketidaksukaan kelompok sosial lainnya yang cenderung berada di garis konservatif. Baca Selanjutnya

Militerisme Menghadang Jalan Demokrasi, Ayo Bersatu Rebut Kembali

Konstitusi Indonesia dengan jelas menyatakan melindungi hak warga untuk berkumpul dan menyatakan pendapat serta berekspresi. Sebagaimana tertuang pada pasal 28, 28 E ayat (2) dan (3) serta pasal 28 F. Jaminan perlindungan tersebut merupakan fondasi bagi kehidupan demokrasi yang sehat dan negara hukum yang berdaulat

Namun melihat data pelanggaran atas hak berkumpul dan berpendapat serta berekspresi yang dicatat oleh organisasi pemantau seperti KontraS, Elsam, LBH Jakarta, SAFENET memperlihatkan paling tidak ada 41 kali diabaikannya hak sipil tersebut sejak Januari 2015 sampai Mei 2016 dalam bentuk pelarangan, intimidasi, pembubaran paksa, penangkapan sewenang-wenang, pembredelan, pencekalan, dan lain-lain.

Frekuensi pelarangan, intimidasi, pembubaran paksa, penangkapan sewenang-wenang, pembredelan, pencekalan, dan lain-lain cenderung meningkat, terutama pada tahun 2016 paling tidak ada 4-5 kali peristiwa per bulan (seminggu paling tidak ada 1 peristiwa).

Yang terbaru adalah penangkapan aktivis literasi Adlun Fiqri dan aktivis lingkungan Supriyadi Sawai dari Ternate Maluku Utara yang ditangkap 4 intel Kodim 1501 Ternate hanya karena memakai kaos bertuliskan Pecinta Kopi Indonesia. Penangkapan tersebut seperti penangkapan-penangkapan lainnya yang dicap sebagai bagian menangkap komunis sebenarnya adalah bentuk teror dan penyebaran ketakutan yang diciptakan agar warga bereaksi negatif pada para aktivis, gerakan rakyat, kelompok minoritas, sehingga mengaburkan upaya penyelesaian persoalan masa lalu Indonesia pada tahun 1965-1969 dan banyak pelanggaran HAM lainnya.

Tindakan penangkapan dan penggeledahan serta penyitaan sewenang-wenang atau perampasan kemerdekaan warga negara Indonesia di sejumlah wilayah ini sama sekali tidak berdasarkan hukum yang sah dan bahkan melawan hukum! Dalam hal ini Konstitusi, Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU HAM, dan Kovenan Intersnasional Hak-hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi oleh Indonesia tahun 2005 dan Peraturan Kapolri tentang Standart HAM. Tindakan melawan hukum ini dibungkus oleh negara dengan menggunakan landasan hukum usang TAP MPRS No. XXV Tahun 1996 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, yang sesungguhnya telah ditinjau ulang keberlakuannya melalui TAP MPR No. I Tahun 2003 yang menyatakan: Baca Selanjutnya

Rabu, 11 Mei 2016

PKS Bukan Lenin

Sudah terlalu sering kita temui mereka-mereka yang mencolek Marxisme dan Leninisme untuk menambal pemikiran mereka yang bolong-bolong, dengan harapan kalau kilau Marxisme-Leninisme bisa membuat pemikiran mereka yang dangkal dan membosankan semakin menarik, atau justru menyilaukan mata kita dari buruknya gagasan mereka. Eduard Bernstein, bapak Sosial Demokrasi dan Reformisme, adalah satu figur yang begitu pandainya bermain-main dengan Marxisme untuk membenarkan Reformismenya. Tidak berani secara terus terang mengedepankan gagasan Reformismenya, ia meminjam ujar Marx dan Engels.

Ragil Nugroho dalam “PKS dan Lenin”nya melakukan hal yang serupa, tetapi akan tidak adil bagi Bernstein bila kita menyandingkannya dengan Nugroho. Colekan Nugroho kasar dan vulgar, yang di lain pihak membuat tugas saya menjawabnya begitu mudah. Namun tidak akan saya anggap sepele tulisannya, karena di dalamnya terkandung banyak pelintiran dan jebakan yang bisa memerosokkan banyak orang yang belum pernah membaca – atau hanya membaca setengah-setengah – karya Marx, Engels, dan Lenin.

Apakah masalahnya begitu sepele seperti yang dikemukakan oleh Ragil? Bahwa ini hanya masalah antara mana yang bertahan dan mana yang tersungkur? Bila demikian, Marxisme telah tersungkur berkali-kali, dan bahkan mengalami kekalahan telak yang membuat tidak sedikit para pejuang rakyat menyerah dan menerima keabadian kapitalisme. Kita memegang teguh Marxisme dan perjuangannya bukan karena ia telah bertahan dan menang, tetapi justru karena pemahaman akan gerak sejarah. Ketika Uni Soviet jaya, tidak sedikit orang-orang yang menjunjung tinggi Marxisme setelah fakta kemenangannya, tetapi beramai-ramai meninggalkannya ketika Uni Soviet tersungkur. Mereka-mereka inilah yang menjadi tulang punggung kaum birokrasi Uni Soviet, yang sebelum Revolusi Oktober skeptis terhadap – dan bahkan menentang – revolusi sosialis, dan setelah kemenangan Revolusi Oktober membanjiri Partai Bolsheviknya Lenin dan negara buruh Uni Soviet. Dengan pemahaman dangkal mereka, yang hanya pintar menerima fakta setelah ia terjadi, Marxisme hanya jadi alat pembenaran prasangka-prasangka mereka dan bukan sebagai metode analisa gerak sejarah. Kebijakan kaum Stalinis yang zig-zag, yang banting stir ke kiri dan kanan, adalah hasil dari empirisisme vulgar mereka, yang menerima fakta hanya setelah ia terjadi, tanpa bisa menjelaskan apa-apa. Baca Selanjutnya

PKS Dan Lenin

PERSOALAN yang sepele: mana bertahan dan mana tersungkur.

Sedikit nostalgia. Tahun 1999, dua partai dari ideologi berbeda bertarung dalam Pemilu. Partai Rakyat Demokratik (PRD) berada di kiri. Di seberangnya, Partai Keadilan (PK) memilih posisi kanan. PRD mampu membangun tak kurang dari 14 cabang di tingkat provinsi dan 150-an cabang di level kabupaten. Hasilnya, sekitar 78.000 orang memberikan suara pada partai bernomor punggung 16 ini. Prestasi yang bagus.

Tapi, dari hari ke hari PRD semakin lingsir. Hingga pada satu titik: kita akan kesulitan menemukan di mana kuburannya karena tak ada batu nisan di atasnya. Sebaliknya, dengan modal tujuh kursi di Pemilu 1999, PKS tambah moncer.

Tentu ada racikan yang diramu PKS sehingga mereka bisa menjadi empat besar dalam Pemilu 2009—posisi yang sama dengan PKI dalam Pemilu 1955.

Tahun 1902 merupakan masa yang sulit bagi Lenin. Represi kekuasaan luar biasa. Ibaratnya, daun yang luruh dari tangkainya bisa dicurigai melawan kekuasaan. Ruang gerak sumpek. Mengatasi situasi ini, Lenin menulis risalah: What is to be Done?—Apa yang Harus Dilakukan?

Saat ini, di kalangan gerakan kiri Indonesia, risalah Lenin tersebut telah berdebu karena jarang dibuka. Disimpan rapi di rak keramat sebagai kitab suci. Tapi tak perlu trenyuh, risalah itu akan menemukan pembacanya di tempat lain.

Apa yang Harus Dilakukan? tak rumit. Hanya panduan ringan tentang membangun organisasi politik yang tak amatiran. Karena situasi tak bebas bernapas, maka organisasi harus ketat dengan disiplin yang tinggi. Tujuannya, agar penguasa tak mudah memukul. Ada sel-sel yang saling mengunci. Baca Selanjutnya

Selasa, 10 Mei 2016

Jumat, 06 Mei 2016

Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965

TULISAN ini merupakan catatan tentang politik kebudayaan liberal pasca 1965 dan peran yang dimainkan Goenawan Mohamad di dalamnya. Motivasi awalnya datang dari pembacaan atas penelitian Wijaya Herlambang dalam bukunya, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film. Dalam tulisan ini, saya akan (1) menguraikan data-data baru tentang tema terkait yang didapat dari buku Wijaya maupun dari penelusuran saya secara langsung ke Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, (2) menjelaskan bagaimana anatomi gagasan dari politik kebudayaan berbasis eksistensialisme Camus, (3) menunjukkan peran Goenawan Mohamad sebagai makelar kebudayaan dalam membentuk selera intelektual Indonesia, dan (4) memperlihatkan kaitannya dengan konsolidasi kapitalisme di Indonesia pasca 1965.

Liberalisme Borongan: Cicilan $50

Dalam bukunya, Wijaya menunjukkan keberadaan suatu lembaga filantropi bernama Congress for Cultural Freedom (CCF) hasil bentukan CIA pada tahun 1950 yang dimaksudkan sebagai covert action untuk ‘menciptakan dasar filosofis bagi para intelektual untuk mempromosikan kapitalisme Barat dan anti-komunisme.’[1] CCF ditempatkan di bawah kendali Office of Policy Coordination (OPC) yang diketuai oleh Frank Wisner, seorang pejabat CIA yang terlibat dalam perencaaan pemberontakan PRRI/Permesta 1957-1958.  Wijaya juga menunjukkan bahwa dari CCF itulah dibentuk yayasan Obor internasional yang diketuai Ivan Kats, seorang perwakilan CCF untuk Program Asia. Yayasan Obor internasional (Obor Incoporated) yang berkedudukan di New York inilah yang menjadi induk dari yayasan Obor Indonesia yang diketuai Mochtar Lubis.[2]  Melalui yayasan tersebut, ide-ide yang ‘secara filosofis’ mempromosikan kapitalisme Barat dan sikap anti-komunis disemai. Baca Selanjutnya

Derrida dan Pemaafan

Banyak kerancuan timbul dari pemahaman atas konsep Jacques Derrida tentang “pemaafan” (forgiveness). Itu tercermin, misalnya, dari “Maaf”, Catatan Pinggir Goenawan Mohamad (GM) yang baru-baru ini terbit. Tulisan itu mendemonstrasikan kerancuan penulisnya dalam memahami, dan mendudukkan secara “dekonstruktif”, konsep Derridean tentang “maaf”.

Esai Derrida tentang pemaafan yang kerap dikutip adalah “On Forgiveness” (1997), meski terdapat banyak teks lain yang ditulisnya menyinggung problematik itu, dalam satu dan lain cara—salah satunya, “Force of Law: The ‘Mystical Foundation of Authority’” (1990). Dengan membaca teks yang terakhir ini, kita bisa mengetahui mengapa Derrida ingin mengatasi Hukum dan mengejar ketakbersyaratan (unconditionality). Tanpa membaca, setidaknya, dua teks ini secara bersamaan, cara baca kita berisiko myopia, seperti Paktua Goen yang kian pikun.

1. Problematik pemaafan, dalam Derrida, tidak lepas dari problematik keadilan. GM melepas maaf dari pertanyaan tentang keadilan. Argumennya membebaskan Negara dari tuntutan keadilan dan permintaan maaf yang dialamatkan oleh para korban 1965, dan mendorong korban agar memaafkan secara tak bersyarat atas kejahatan Negara. Inilah konsekuensi dari melihat maaf secara terisolir dari problem keadilan. Pandangan ini sangat simplistik, dibandingkan dengan Derrida. Derrida melihat maaf dan keadilan sekaligus sebagai sesuatu yang paradoksal dan kontradiktif, namun harus sama-sama dihitung. Inilah logika “aporia”. Logika ini berlaku baik bagi pelaku maupun korban.

Bagi pelaku: mungkinkah dia meminta maaf, tanpa mengorbankan keadilan yang harus dipenuhinya kepada korban? Bagaimana memenuhi keadilan itu, di hadapan korban yang kehidupannya tak tergantikan dan kebebasannya telah ia renggut? Kritik Derrida, dalam “On Forgiveness”, menyoroti permintaan maaf dari pelaku yang selama ini bersifat seremonial dan basa-basi belaka. Pelaku meminta maaf—dan terkadang memaksa korban untuk memaafkan—namun ia tidak mampu memenuhi tuntutan keadilan. Inilah model permintaan maaf “transaksional”, yang sering dipraktikkan oleh negara-negara untuk mendukung impunitas. Jawab Derrida: tidak mungkin dia meminta maaf; dan kalaupun ia meminta maaf, permintaan maaf itu tak pernah cukup untuk mengganti kerugian yang diderita oleh korban. Inilah ketidakbersyaratan, dari sisi pelaku. Permintaan maaf harus didorong sampai pada batasnya yang mustahil dan “tak bersyarat”, karena, di hadapan korban, pelaku bukan subjek yang berdaulat. Ia harus tunduk pada imperatif korban, yang tak terbatas, yang tak bersyarat. Baca Selanjutnya

Rabu, 04 Mei 2016

Antara AADC2 dan Rayuan Pulau Palsu

Kini, kehebohan kembali terjadi saat AADC2 tayang di bioskop dalam ruang dan waktu yang berbeda setelah 14 tahun kemunculan pertamanya. Kini bioskop semakin banyak di Lampung. Namun penulis menduga bahwa faktor romantisme sejarahlah yang menyebabkan film ini begitu heboh. Terlebih secara cerdik produsernya telah mengunggah traile film ini melalui youtube sejak akhir 2015 lalu kalo tidak salah.

Seorang rekan mengunggah tiket nonton AADC1 dan AADC2 bersama kekasihnya yang kelak menjadi istrinya di akun Facebook. Wow, romantis dan keren juga sampe masih menyimpan tiketnya. Pastinya film AADC menyimpan kenangan tersendiri bagi kawan tersebut. Meski tak melakukan riset, penulis memprediksi faktor romantisme sejarah inilah yang membuat film AADC 2 ini sukses dipasaran.

Nah ketika AADC2 mulai tayang , penulis sempat berpikir untuk menontonnya. Terlebih di grup jurnalis hampir semuanya  membicarakan film tersebut. Ada yang bersedia ngantri hingga ngajak nobar, dahsyat bukan? Ya iyalah, secara itu film legend bro. Pastinya ada banyak kenangan,romatisme dan bla bla bla.

Bahkan saat Konferkot AJI Bandar lampung yang kebetulan dihelat pada Sabtu yang notabene akhir pekan, banyak peserta sudah kasak-kusuk ingin nonton AADC2. Diam-diam dalam hati saya berucap, Wah mesti nonton juga film ini. Meski demikian, karena saya yakin film AADC2 akan lama tayangnya di bioskop maka bisa ditunda saat sudah sepi. Kalo baru tayang kan ramainya pasti sudah bisa kita bayangkan.

Sayangnya saat baru saja merencanakan, sebuah kalimat dari WatchdoC Documentary muncul di Facebook. Tulisannya agak panjang tapi bagian akhirnya kira-kira begini  Layar dan gedung yang megah tak akan berarti apa-apa, jika setelah film selesai lalu kita pulang ke rumah masing-masing dengan hati riang. Baca Selanjutnya

Media Nasional

Di hadapan pemasang iklan, banyak yang mengaku sebagai "media nasional" dengan jangkauan distribusi dari Sabang sampai Merauke.

Namun tiba saatnya memberitakan, bahkan peristiwa sebesar ini pun tidak ada di halaman depan atau segmen utama?
Poster: LBH Jakarta

Selasa, 03 Mei 2016

Quraish Shihab Menjawab Berbagai Pertanyaan tentang Agama Islam dan Masalah-Masalah di Sekitar Kita

Berikut ini jawaban-jawaban M. Quraish Shihab atas berbagai pertanyaan tentang agama Islam dan masalah-masalah di sekitar kita:
  1. Apakah Pacaran Dibenarkan Agama?
  2. Bagaimana Bila Terlanjur Memakan Makanan yang Dicurigai sebagai Daging Babi?
  3. Sumbangan Non-Muslim untuk Masjid
  4. Meminta Maaf kepada Orang yang Sudah Meninggal
  5. Doa “Sapu Jagat”
  6. Ibadah dan Pengeras Suara
  7. Ancaman bagi orang yang memutuskan tali silaturahmi
  8. Shalat baru disyariatkan Allah pada saat peristiwa Isra’ dan Mi’raj?
  9. Tentang Langgam Jawa dalam Membaca al-Qur’an
  10. Dari Mana dan Bagaimana Allah?
  11. Tentang Qurban dan Akikah
  12. Sikap Terhadap Kekejaman Israel
  13. Bolehkah Memakai Tato?
  14. Bolehkah Shalat Tarawih Sendirian?
  15. Mengenai Haji yang Mabrur
  16. Agar Shalat Lebih Khusyu'
  17. Ruh orang yang baru meninggal akan berada di rumahnya selama empat puluh hari?
  18. Apa Perbedaan Sedekah dan Infak?
  19. Puasa di bulan Ramadhan bagi wanita hamil dan menyusui
  20. Dasar Hukum Khitan bagi Perempuan
  21. Semuanya Ada Di Quran and Answers

Kumpulan Roso Daras

Situs Belanja Ubah Harga Sesuai Riwayat Pembelian

Pernah berbelanja online? Pernah memperhatikan harga yang cenderung tidak konsisten bahkan mungkin suatu waktu lebih mahal daripada pertama kali dilihat? Online shopper harus berhati-hati karena online shop atau situs jual-beli online mengubah harga produk tergantung kepada riwayat pembelian konsumen, bahkan lokasi tempat tinggal konsumen.

Senin, 02 Mei 2016

Kumpulan Gustaaf Kusno

Rayuan Pulau Palsu

POLISI-TENTARA dengan radio genggam, ada di baris belakang. Saat film "Rayuan Pulau Palsu" diputar, tepuk tangan pecah pada adegan-adegan yang menguatkan sikap mereka menolak reklamasi Teluk Jakarta.

Sudah lama saya tak berada di tengah layar tancap seperti ini, sejak masa kecil silam di mana Departemen Penerangan membawa film keliling untuk penyuluhan program KB atau pertanian.

Agustus 2014, seribuan orang juga memenuhi lapangan Museum Fatahilah, Jakarta, untuk menyaksikan layar tancap "Yang Ketu7uh".

Bedanya, semalam di Muara Angke, cemooh dan makian dilontarkan begitu saja saat gambar-gambar menunjukkan hal-hal yang tak mereka sukai. Sebagian bahkan cenderung kasar.

Tapi inilah forum rakyat. Saya tak berharap reaksinya seperti kaum ningrat terpelajar yang "tertib", atau menutup mulutnya saat seharusnya tertawa ngakak.

Nama-nama pejabat publik diteriakkan di antara makian.

Anak-anak duduk tertib di baris depan. Tak ada yang ribut atau berlarian. Orang dewasa berdiri selama 60 menit durasi film diputar.

Orang tak peduli lagi menonton dari sisi layar yang salah, sehingga semua teks akan terbaca terbalik.

Dua jam mereka menunggu. Sebab layar diempas angin dan terlepas. Tapi orang-orang bergegas memanjat bambu, mengikatnya lebih erat, dan melubangi kainnya. Layar 6x4 meter ini hasil gotong royong kawan-kawan aktivis dan relawan yang menjahit sendiri. Baca Selanjutnya
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Cobalah Tengok

Dartar Isi